Kamis, 15 Oktober 2009

KONSEP AL-NAZHAR FI MA`ĀLĀT AL-AF’ĀL DALAM FATWA MUI TENTANG PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA

Pendahuluan

Al-Syatibi adalah salah seorang tokoh yang dikenal dengan kitabnya al-Muwafaqat yang monumental. Akan tetapi, tidak semua konsep yang diungkap dalam kitab ini diungkap dan dibahas secara komprehensif dalam sebagian besar kajian tentang tokoh ini. Salah satu konsep klasik peninggalannya yang sering kali lepas dari perhatian adalah konsep tentang Al-Na§ar Fi Ma`âlāt Al-Af’āl yang tidak kalah pentingnya dari konsep-konsep yang banyak dikaji.

Tulisan ini berusaha menyajikan hal tersebut dan mengkaji kemungkinan penggunaannya dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Konsep Al-Na§ar Fi Ma`âlāt Al-Af’āl

Suatu perbuatan yang dibenarkan dalam hukum Islam untuk dilakukan, bisa saja berujung pada kebalikan akibat yang hendak dituju, baik karena alasan maslahat yang mungkin dicapai, ataupun karena alasan mafsadah yang mungkin ditinggalkan. Dengan kata lain, maslahat yang pada mulanya ingin dicapai melalui perbuatan itu, justeru berakibat mafsadah yang bisa saja setara kadarnya atau bahkan lebih. Hal ini tentunya bisa saja menjadi penghalang bagi kondisi perbuatan itu yang pada mulanya boleh dilakukan.

Demikian juga sebaliknya, bisa saja sebuah perbuatan yang pada mulanya tidak diperkenankan oleh hukum untuk dilakukan berbalik menjadi sesuatu yang diperbolehkan, disebabkan alasan mafsadah yang mungkin timbul atau maslahat yang ingin dicapai, berakhir pada situasi sebaliknya. Dengan kata lain, mafsadah yang diperkirakan akan muncul sebagai akibat perbuatan itu, justeru berbalik membawa maslahat yang kadarnya setara atau mungkin lebih. Hal ini, tentunya, mempengaruhi boleh tidaknya suatu perbuatan.

Upaya untuk mencermati hasil akhir dari sebuah perbuatan yang mungkin timbul, baik kemungkinan maslahat maupun kemungkinan mafsadah menjadi suatu metode tersendiri untuk mendapatkan makna representatif dari maqā¡id al-syarī’ah. Dalam teori yang diungkap oleh al-Syā¯ibi, hal semacam ini disebut dengan al-na§ar fi ma`ālāt al-af’āl[2] (Mencermati akibat/hasil akhir sebuah perbuatan). Hasil akhir ini bisa berupa maslahat dan bisa juga berupa mafsadah. Dalam hal ini, perbuatan seorang mukallaf merupakan sarana yang mengantar menuju maslahat, sehingga bisa disebut sebagai sabab. Sementara maslahat adalah tujuan yang hendak dicapai melalui perbuatan itu, sehingga dapat diistilahkan dengan ma`ālāt al-asbāb yang memiliki pengertian sama dengan ma`ālāt al-af’āl.

Dalam hukum Islam, taklīf (pembebanan hukum) ditujukan untuk merealisasikan maslahat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat[3]. Untuk maslahat di akhirat, maka tujuannya adalah agar mukallaf dapat menjadi ahli sorga, bukan ahli neraka. Sedangkan untuk maslahat di dunia, maka bila dicermati, setiap perbuatan sesungguhnya merupakan proses menuju maslahat. Maslahat atau ma`ālāt al-asbāb pada hakekatnya merupakan representasi dari maqā¡id al-syari’ah yang dikehendaki oleh al-Syāri’ (pembuat syariah) dari asbāb (perbuatan) mukallaf. Sementara mujtahid adalah orang yang memiliki kapasitas untuk menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf, sehingga salah satu hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah mencermati ma`ālāt al-asbāb atau dengan kata lain ma`ālāt al-af’āl.

Untuk melihat betapa pentingnya peran seorang mujtahid dalam menetapkan hukum atas sebuah perbuatan mukallaf dengan menggunakan pertimbangan ma`ālāt al-af’āl, salah satunya dengan mencermati QS. Al-An'ām [6]: 108[4]. Ayat ini menjelaskan bahwa memaki berhala sembahan kaum musyrik adalah tindakan menghina diri mereka, kaum musyrik itu, dan merendahkan perbuatan mereka, perbuatan syirik. Akan tetapi, perbuatan mencaci maki mereka akan berakibat pada tindakan balik mereka mencaci dan memaki Allah swt, sebagai sembahan kaum mukmin. Padahal, perbuatan mereka menghina Allah swt sekali saja tidak sebanding dengan cacian kepada sesembahan mereka meskipun ribuan kali. Artinya, balasan yang mereka lakukan berupa cacian terhadap Allah swt lebih besar dari cacian terhadap sembahan mereka. Oleh karena itu, perbuatan mencaci patung berhala dan sesembahan kaum musyrik dilarang agama. Sebab, sekalipun terkandung maslahat dalam perbuatan itu sehingga boleh dilakukan pada mulanya, tetapi dengan melihat pada ma`āl (dampak/akibat), maka larangan itu ada kemudian.[5]

Rasulullah saw pun banyak memberikan contoh penggunaan pertimbangan ma`āl dalam memberikan putusan hukum tertentu. Di antaranya adalah keputusan Rasulullah untuk menolak saran Umar ibn Khattab yang mengusulkan agar Abdullah ibn Ubay ibn Salul dibunuh saja, karena meskipun dia mengaku muslim, ternyata banyak merugikan kaum muslimin saat itu. Keputusan itu dilandaskan pada pertimbangan situasi yang sangat mungkin bukan menjadi lebih baik, tetapi malah lebih runyam, karena sangat dimungkinkan, tuduhan miring orang kafir terhadap apa yang dilakukan, bila pembunuhan ibn Salul tersebut dilakukan.[6]

Riwayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan Umar melakukan pembunuhan terhadap orang yang sudah pasti munafik dengan pertimbangan akibat dari pembunuhan itu. Jawaban beliau yang mengkhawatirkan pembicaraan orang-orang nantinya merupakan pemikiran cerdas tentang ma`āl (akibat/hasil akhir) dari perbuatan itu.

Contoh lain berkaitan dengan pertimbangan ma`āl yang telah dilakukan Rasulullah saw adalah kasus orang yang buang air seni di dalam masjid. Saat itu, Rasul membiarkan saja, bahkan melarang sahabat lain yang hendak menghentikan orang tersebut dari perbuatannya, buang air kecil di dalam masjid. Setelah selesai, barulah Rasul memberitahukan bahwa hal itu tidak layak dilakukan di dalam masjid, tempat umat Islam bersujud.[7]

Begitu bijak tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Tindakan bijak beliau ini tidak lepas dari pertimbangan ma`āl. Sebab, bila saat itu Beliau menghentikan orang itu dari perbuatannya, mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak sehat pada diri yang bersangkutan, terutama pada kemungkinan menimbulkan penyakit pada saluran kencing, di samping kemungkinan akan tertempelnya najis pada pakaiannya dan tentunya juga di masjid itu.

Masih banyak contoh lain berkaitan dengan pelarangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap hal-hal yang boleh diperbuat tetapi dilarang untuk orang tertentu karena sebab tertentu. Perbuatan qiyām al-lail, puasa, dan tidak menikah, bukan merupakan perihal yang diharamkan, tetapi kemudian Rasulullah saw mengharamkannya saat nampak situasi yang menuju sesuatu yang merusak.[8]

Beberapa contoh di atas mengisyaratkan bahwa suatu perbuatan boleh jadi pada mulanya boleh dilakukan, tetapi kemudian dilarang karena dikhawatirkan timbulnya dampak negatif di balik perbuatan itu. Beberapa hal menjadi sarana untuk sampai pada pertimbangan ma`al ini, di antaranya kaidah-kaidah tentang sadd al-©arī’ah, raf’ al-haraj, dan daf’ al-«arar.

Bagi al-Syā¯ibī, kaidah dasar pada konsep ma`ālāt al-af’āl mencakup beberapa hal inti, di antaranya : kaidah al-©arā`i’, kaidah al-hiyal, dan kaidah murāāt al-khilāf.[9] Berikut adalah perincian dari kaidah-kaidah di atas:

a. kaidah al-©arā`i’

Secara bahasa, kata al-©arā`i’ (الذرائع) bentuk plural dari kata الذريعة yang berarti الوسيلة والسبب إلى الشئ[10] (jalan dan sebab menuju sesuatu). Secara terminologis, Badrān Abul ‘Ainain Badrān mendefinisikannya dengan : الموصل إلى الشيء الممنوع المشتمل على مفسدة (hal yang menyampaikan kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadah) seperti melihat aurat wanita lain dapat menyebabkan zina, maka pelarangan terhadap melihat aurat wanita merupakan sadd al-©arī’ah. Ia juga bisa didefinisikan dengan pernyataan ""الموصل إلى الشيء المشروع المشتمل على مصلحة (hal yang menyampaikan kepada sesuatu yang dibolehkan yang mengandung maslahat) seperti upaya untuk sampai ke Baitullah adalah merupakan ©arī'ah untuk sampai kepada sesuatu yang disyariatkan juga, yakni ibadah haji.[11]

Berbeda dengan Badrān, Sya’bān lebih dulu menjelaskan penggunaan kata sadd sebelumnya atau tidak. Penggunaan kata sadd dilakukan oleh fuqaha yang mendefinisikannya hanya pada sesuatu yang dilarang saja, tetapi bagi yang berpendapat bahwa ©arī’ah berlaku juga untuk sesuatu yang dibolehkan, maka mereka tidak menggunakan kata sadd. Oleh karena itu, ia mendefinisikannya dalam dua model. Pertama, jalan menuju sesuatu, baik yang dibolehkan maupun yang dilarang. Definisi ini dikemukakan oleh al-Qarāfī (wafat 684 H) dalam al-Furūq dan Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) dalam I’lām al-Muwaqqi’īn. Dalam kaitan ini, ©arī’ah memiliki empat kemungkinan, perintah yang menjadi sarana sampai ke perintah lain seperti upaya untuk menuju shalat Jum’at; atau perintah yang menjadi sarana untuk sesuatu yang dilarang, seperti jual beli terkadang sampai pada jual beli yang dilarang; larangan yang berakibat pada larangan yang lain, seperti perbuatan adu domba menyebabkan pada adanya pembunuhan; dan larangan berakibat pada sesuatu yang dibolehkan, seperti kesaksian palsu untuk mendapatkan suatu hak. Kedua, ia hanya merupakan jalan menuju sesuatu yang dihindari. Kelompok ini mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tampaknya membawa maslahat tetapi berakibat pada adanya mafsadah. Definisi semacam ini di antaranya diungkap oleh al-Syā¯ibi, Ibn Rusyd (wafat 520 H), al-Qur¯ūbī (wafat 671 H), Ibn Najjār dan lainnya.[12] Bagi kelompok kedua ini, ©arī’ah hanya berkaitan dengan sesuatu yang berakibat pada mafsadah, sehingga selalu dikaitkan dengan kata sadd.

Sya’bān juga menambahkan bahwa Ibn Taimiyah (wafat 728 H) mencoba memberikan pilihan ketiga dengan menggabungkan dua pendapat sebelumnya dengan menyatakan bahwa yang pertama mengungkap kata tersebut secara mutlak sehingga bisa mengarah pada sadd (menutup) dan fath (membuka).[13]

Tampaknya, Ibn Taimiyah hendak menyatakan bahwa dalam definisi pertama yang menyatakan zarī’ah secara mutlak, hendaknya dibawa pada sadd, bukan fath. Oleh karena itu, Sya’ban kemudian mencoba menggabungkan ketiganya dan menyatakan bahwa perbedaan yang muncul dari ketiga definisi sesungguhnya hanyalah perbedaan kata saja. Karena mereka sesungguhnya sependapat bahwa jalan menuju haram adalah haram dan jalan menuju wajib adalah wajib. Hal ini sejalan dengan kaidah ما لايتم الواجب إلا به فهو واجب (sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban tanpanya adalah wajib).[14]

Mencermati beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa zarī’ah adalah suatu jalan menuju sesuatu, baik itu maslahat maupun mafsadah. Bila yang dituju adalah sebuah jalan maslahat maka hal itu harus dibuka dan tidak boleh ditutup, tetapi bila jalan menuju mafsadah, maka harus ditutup dan tidak boleh diberi kesempatan untuk mencapai mafsadah itu.

Hasil penelitian ulama terdahulu menunjukkan bahwa segala hal yang dilarang selalu saja termasuk berbagai jalan menuju ke sana juga dilarang. Demikian juga dengan sebuah perintah, maka jalan menuju ke perbuatan yang diperintahkan itu juga diperintahkan. Zina adalah sebuah perbuatan yang diharamkan dan melihat aurat wanita lain dapat menjadikan orang berbuat zina, maka hal itu juga dilarang. Salat Jumat adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan. Meninggalkan jual beli sebagai bentuk upaya menuju salat Jumat juga menjadi wajib.

b. kaidah al-hiyal

Kaidah lain yang dapat digunakan dalam ijtihād ta¯bīqī adalah kaidah al-hiyal. Secara bahasa, al-hiyal merupakan bentuk jama’ dari dari kata الحيلة yang berarti الحِذْقُ وجَوْدَةُ النظر والقدرةُ على دِقَّة التصرُّف[15] (kecerdikan, kepandaian menganalisa, dan kemampuan merespons dengan tajam). الحيلة juga berarti الرُّوَيْغَة[16] (alasan yang dibuat-buat untuk melepaskan diri[17]). Ibrāhīm Unais menambahkan makna kata ini dengan وسيلة بارعة تحيل الشيء عن ظاهره ابتغاء الوصول إلى المقصود[18] (jalan cerdas yang mengalihkan sesuatu dari tampaknya untuk sampai ke tujuan). Di antara ulama, ada juga yang menggunakan istilah ihtiyāl[19] (mencari hilah).

Dalam terminologi usul fiqh, kata ini memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan maknanya secara etimologis. Ibnu Taymiyah memaknai kata ini dengan “suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke tujuan, yang baik ataupun yang buruk. Akan tetapi, seringkali kata ini diungkap untuk mengupayakan agar yang haram menjadi halal”[20]. Ibn al-Qayyim memahaminya sebagai “penipuan dengan menunjukkan sesuatu yang diperbolehkan untuk sampai kepada sesuatu yang diharamkan”[21]. Menurut al-Syā¯ibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian : mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan mengalihkannya ke hukum lain. Dalam hal ini, konsep al-ma`āl-nya adalah mencari celah untuk menyiasati syari’ah.[22]

Salah satu contoh al-hiyal adalah menghibahkan sebagian harta menjelang haul untuk menyiasati agar tidak terkena zakat karena tidak sampai nisab. Pada dasarnya, hibah hukumnya adalah boleh. Andaikata hibah itu dimaksudkan untuk menghindarkan hukum zakat dalam arti berniat untuk menyiasati hukum, maka hibah itu menjadi upaya menuju kerusakan dan menjadi sesuatu yang diharamkan.

Dalam penjelasan tentang al-hiyal dan al-tahayyul, al-Syā¯ibi menjelaskan bahwa sesuatu yang tampaknya boleh dialihkan ke hukum yang lain menjadi tidak boleh atau sebaliknya. Dalam penjelasannya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah swt telah mewajibkan dan mengharamkan sesuatu, terkadang secara mutlak, terkadang terikat dengan syarat atau sebab tertentu. Shalat, puasa, haji, dan hal-hal seperti ini diwajibkan. Sementara zina, riba, membunuh dan sejenisnya diharamkan. Di samping itu, Allah juga mewajibkan dan mengharamkan sesuatu terikat dengan sebab-sebab tertentu seperti kewajiban kafarat disebabkan na©ar dan keharaman memanfaatkan harta karena harta itu hasil curian. Bila ada suatu sebab yang menjadikan sebuah kewajiban sebagai sesuatu yang tidak lagi wajib; seperti salat empat rakaat bagi musafir bisa menjadi dua rakaat dan melakukan safar agar dapat berbuka puasa. Atau yang menjadikan sesuatu yang haram sebagai sesuatu yang halal secara lahir; seperti menghibahkan sebagian harta agar tidak wajib membayar zakat. Inilah yang disebut al-hīlah dan al-tahayyul ; menjadikan yang wajib menjadi tidak wajib, bahkan yang haram menjadi halal, atau yang halal menjadi haram.[23]

Bagi al-Syā¯ibi, al-hilah seperti digambarkan di atas adalah sesuatu yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Banyak ayat dan hadis yang diungkap sebagai dalil pengharaman atas al-hīlah seperti di atas. Salah satu ayat yang menunjukkan pengharamannya adalah ayat talaq dalam QS. Al-Baqarah (2): 229[24]. Ayat ini membatasi talaq hanya dua kali. Sebelumnya, talaq dilakukan untuk menyiksa kaum wanita dengan melakukan talaq, lalu dirujuknya kembali saat iddahnya menjelang selesai, kemudian ditalaq lagi, lalu rujuk dan seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa ada batasan.[25]

Dalam hadis, ditemukan banyak hal yang ditinggalkan Rasulullah saw berkaitan dengan pengharaman al-hilah ini. Salah satu contohnya adalah pengharaman melakukan rekayasa pencampuran atau pemisahan harta untuk menyiasati kewajiban zakat.[26] Hadis ini menegaskan bahwa merekayasa jumlah harta agar dapat, atau tidak dapat berzakat, atau agar zakatnya sedikit, atau sebaliknya adalah termasuk perbuatan yang diharamkan. Perbuatan lain yang termasuk dalam kategori ini yang diungkap oleh al-sunnah adalah perbuatan suap menyuap[27] dan pernikahan sela (nikāh muhallil)[28].

Meskipun demikian, bagi al-Syā¯ibi, tidak semua al-hīlah tidak boleh dilakukan. Sebab, pada dasarnya setiap hukum yang disyariatkan adalah untuk kepentingan maslahat manusia. Maka, bila al-hīlah itu bertentangan dengan maslahat, maka ia tidak boleh dilakukan. Berbeda halnya bila ia tidak bertentangan dengan maslahat, maka tentunya hal itu sangat mungkin dilakukan. Bahkan, syariah pun dengan tegas memperbolehkannya.

Oleh karena itu, al-Syā¯ibi mengelompokkan al-hīlah menjadi tiga kelompok, antara lain:

1. al-hīlah yang disepakati tidak boleh, bila menyebabkan yang wajib tampak seperti tidak wajib atau yang haram tampak halal, seperti minum obat tidur saat masuk waktu shalat agar tidak shalat karena hilang akal disebabkan tertidur. Juga, menghibahkan sebagian harta agar tidak terkena kewajiban haji;

2. al-hīlah yang disepakati kebolehannya dilakukan, bila untuk membela hak, mencegah kebatilan, selamat dari haram, dan menuju ke halal. Cara yang digunakan pun bisa yang dibolehkan, bisa juga yang diharamkan; hanya, bila cara itu diharamkan, maka ia berdosa menggunakannya meskipun tujuannya tidak diharamkan. Dalam situasi perang, hal ini sangat diperlukan, karena perang adalah siasat. seperti pernyataan “kafir” dalam desakan dan ancaman keterpaksaan;

3. al-hīlah yang menjadi perdebatan kebolehan atau ketidakbolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang pasti baik terkait dengan kelompok pertama, ataupun kelompok kedua; juga tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa ada maksud tertentu dari al-Syāri’ dalam hal itu atau ada hal yang bertentangan dengan maslahat. Sebagian fuqaha menyatakan bahwa ihtiyāl tidak bertentangan dengan maslahat, maka menurut mereka hal itu dibolehkan; sebagian lain menyatakan sebaliknya, maka ihtiyāl menurut mereka tidak boleh dilakukan.

Menyikapi al-hiyal, para fuqaha memiliki pandangan yang berbeda. Al-Syā¯ibi menyebutkan bahwa di antara yang membolehkannya adalah Abu Hanifah. Dia membolehkan hal ini hanya pada hukum individu. Sesuatu yang dilakukan terhadap harta dengan tujuan apapun, termasuk yang menyebabkannya tidak wajib zakat, seperti hibah, membayar hutang, dan sebagainya adalah boleh, karena di dalamnya terdapat maslahah bagi pelakunya, dengan syarat tidak bermaksud untuk menentang hukum dengan menolak membayar zakat. Hal ini disebabkan karena penentangan secara terang-terangan terhadap hukum berarti melawan al-Syāri’. Akan tetapi, bila hal itu tidak secara langsung, tetapi merupakan efek dari sebuah perbuatan, maka hal itu dianggap tidak menentang hukum dan diperbolehkan.[29]

Mencermati pembahasan di atas, sangat tampak bahwa al-hiyal al-syar’iyyah (yang boleh) atau ghair al-syar’iyyah (yang tidak boleh) sangat tergantung kepada ma`āl atau dampak yang dihasilkannya. Apabila kenyataan akhirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ atau maslahat yang dituju syara’ maka ia menjadi hīlah ghair syar’iyyah (yang tidak boleh dilakukan). Tetapi, bila sebaliknya, tidak dituju meskipun dengan itu gugur juga kewajiban zakat umpamanya, maka hal seperti ini dianggap sebagai hīlah syar’iyyah (yang boleh dilakukan).

c. kaidah murāāt al-khilāf

Secara bahasa, murāāt al-khilāf berarti mempertimbangkan perbedaan pendapat. Secara terminologis, ‘Allāl al-Fāsi mendefinisikannya sebagai إعطاء كل واحد من الدليلين حكمه[30] (memberikan hukum bagi masing-masing dalil dari dua dalil yang berbeda). Al-Syā¯ibi menjelaskan hal ini bahwa: sesuatu yang dilarang oleh syara’ bila terjadi, maka kejadian itu tidak harus menjadi sebab untuk dibolehkannya berbuat aniaya kepadanya dengan melebihkan hukuman dari apa yang telah ditetapkan syara’. Gha¡b (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin) umpamanya, secara syara’ adalah perbuatan yang terlarang, tetapi bila sudah terjadi, maka orang yang haknya di-gha¡b, berhak untuk mendapatkan haknya, tetapi orang yang telah melakukan ghasb tidak harus mendapatkan balasan melebihi apa yang telah dilakukannya. Maka, bila pelaku dituntut untuk mengganti yang di-gha¡b-nya sesuai nilainya, maka hal itu adalah sebuah bentuk keadilan. Tetapi bila melebihi itu maka hal itu tidak benar.[31]

Al-Fāsi menyebutkan bahwa konsep ini diakui oleh Mālik sebagai bagian dari konsep istihsān dan dianggap oleh al-Qabbāb dari kalangan Mālikiyyah sebagai salah satu konsep terbaiknya.[32] Pernikahan tanpa wali adalah salah satu hal yang diperselisihkan keabsahannya. Dalam pandangan Mazhab Maliki, pernikahan semacam ini termasuk salah satu yang harus dinyatakan faskh[33] (batal). Argumen yang digunakan dalam hal ini adalah hadis riwayat al-Tirmizi yang menjelaskan bahwa nikah tanpa wali adalah batil, atau dinyatakan tidak sah.[34]

Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa nikah tanpa izin walinya adalah batal. Akan tetapi, Mazhab Maliki berpendapat bahwa bila nikah ini telah terjadi, maka faskh harus dilakukan dengan talak, wanita berhak atas mahar, dan bahkan berhak atas waris. Hal ini merupakan bentuk perhatian ulama mazhab Maliki terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan para fuqaha. Adanya perbedaan pendapat dalam hal status hukum wanita yang menikah tanpa wali menjadi bahan pertimbangan bagi mazhab Maliki dalam kasus ini, sehingga meskipun menurut pendapatnya nikah semacam ini dianggap faskh, tapi tetap memberikan hak atas mahar dan waris pada wanita yang telah terlanjur menikah tanpa wali. Inilah yang dimaksud dengan murāāt al-khilāf.

Pendirian semacam ini tampak sekali dibangun di atas konsep ma`ālāt al-af’āl dengan memperhatikan dampak negatif yang sangat mungkin terjadi bila harus mempertahankan pendapat lain yang dianggap lebih kuat, padahal pernikahan tanpa wali telah terjadi. Bila hanya berpegang pada satu pendapat saja dan tidak mempertimbangkan apakah kasus itu telah terjadi atau belum, tentu akan timbul mafsadah yang lebih besar lagi.

Oleh karenanya, nikah yang semula dinilai sebagai nikah yang fāsid dan harus di-faskh, setelah terjadi, ia diposisikan sebagai nikah yang sah dalam akibat hukumnya. Bila tidak demikian, maka hukumnya adalah zina, padahal para ulama sepakat bahwa kasus ini tidak termasuk dalam kasus zina.[35]

Di samping contoh di atas, al-Syā¯ibi juga mengungkap banyak contoh lain, di antaranya: al-qar«, sesungguhnya ia asalnya adalah riba, karena merupakan tukar menukar dirham dengan dirham pada masa yang akan datang. Tetapi, ia dihalalkan karena di dalamnya terdapat kemudahan dan keluasan bagi orang-orang yang memerlukan itu. Begitu juga dengan berbagai hal yang diberikan hukum rukh¡ah, seperti salat jama’, qasr, salat khauf, berbuka puasa bagi musafir, dan sebagainya; pada hakekatnya adalah sekumpulan hukum yang ada dengan mempertimbangkan konsep ma`āl dalam mencapai maslahah dan menghindari mafsadah.

Dari contoh di atas, sangat tampak bahwa seorang mujtahid dapat saja mengalihkan suatu hukum dari yang kuat kepada hukum yang lebih lemah disebabkan pertimbangan ma`āl, bila dipandang lebih memenuhi maslahat. Cara demikian ini merupakan salah satu kaidah dalam ijtihād ta¯bīqī.

Tampaknya dalam konsep al-Syā¯ibi, ijtihād ta¯bīqī dengan mempertimbangkan konsep ma`ālāt al-af’āl dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah tentang ©arī’ah, al-hiyal, dan murāāt al-khilāf. Tiga kelompok kaidah di atas adalah sarana untuk menuju istihsān untuk mencapai maqā¡id syarī’ah yang telah disepakati, yakni bahwa syari’ah Islam diturunkan untuk menuju kemaslahatan umat.

Fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme agama

Fatwa ini diawali dengan kegelisahan sebagian umat Islam di Indonesia akibat berkembangnya paham tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, serta paham-paham sejenis lainnya. Sebagai khadimul ummah, MUI berupaya untuk meredam kegelisahan itu dengan memberikan pedoman terkait dengan permasalahan yang menggelisahkan ini.

Fatwa ini terdiri dari dua bagian, yakni ketentuan umum yang mengenalkan tentang paham-paham tersebut. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang ketentuan hukum paham-paham itu.

Dalam ketentuan umum dijelaskan bahwa pluralisme adalah cara pandang seseorang terhadap kebenaran suatu agama. Menurut paham ini, semua agama adalah sama. Kebenaran yang dimilikinya adalah relatif. Oleh karenanya, setiap pemeluk agama tidak dibenarkan mengklaim bahwa hanya agamanya yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Menurut paham ini juga, surga adalah milik semua agama, sehingga tidak hanya dimonopoli oleh satu agama saja, tetapi setiap pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama semacam ini merupakan sebuah fenomena yang nyata yang bisa didapati di banyak negara dan daerah tertentu, bahkan tampak merata.

Liberalisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa teks agama harus sesuai dengan akal pikiran. Mereka memahami teks agama dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, bila tidak sesuai maka akal tidak bisa menerimanya.

Sedangkan sekularisme agama merupakan paham yang mengajarkan pemisahan antara urusan dunia dari agama; agama hanya mengatur urusan pribadi dengan tuhannya, sedangkan hubungan antarmanusia diatur hanya berdasarkan kesepakatan sosial.

Tiga paham di atas banyak berkembang akhir-akhir ini di kalangan masyarakat dan telah menimbulkan keresahan dengan berbagai perlakuan yang kurang diterima oleh kebanyakan umat Islam. Pernyataan-pernyataan yang menghina Allah swt, Rasulullah saw, al-Quran, dan simbol-simbol agama yang dilakukan beberapa orang dari kelompok ini sudah sampai dalam taraf yang meresahkan. Sehingga, MUI merasa perlu memberikan arahan berupa fatwa dalam hal ini.

Fatwa ini memberikan arahan bahwa tiga paham di atas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, umat Islam haram mengikuti ketiga paham tersebut. Dalam hal akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, haram mencampur-adukkannya dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Dalam hal pergaulan sosial dalam suatu komunitas yang plural, dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat inklusif sepanjang tidak saling merugikan.

Analisa Metodologis

Banyak ayat yang menjadi landasan fatwa ini, antara lain: al-Quran surat Ali Imran [3]: 85[36] dan 19[37] yang menjelaskan bahwa hanya Islamlah agama yang diterima di sisi Allah; al-Kafirun [109]: 6[38] yang mengemukakan prinsip dasar dalam beragama, yakni masing-masing berada pada agamanya; al-Ahzab [33]: 36[39] yang menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi seorang mukmin bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu; al-Mumtahanah [60]: 8 – 9[40] yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara bergaul dengan orang yang berbeda agamatelah bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan sesuatu;g ___________________________________________________________________________; al-Qasas [28]: 77[41] yang merupakan perintah untuk hidup seimbang dunia dan akhirat; al-An’am [6]: 116[42] yang memerintahkan untuk melakukan penyaringan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh manusia, dan al-Mu’minun [23]: 71[43] yang menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh berdasar pada hawa nafsu.

Tampaknya, MUI menggunakan ayat-ayat di atas untuk menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang harus dipilih dalam kehidupan, bila menginginkan keuntungan dan kemenangan. Bila sudah memilih Islam sebagai jalan kehidupan, maka di antara sikap yang harus dimiliki adalah sikap tegas dan tidak toleran dalam hal keyakinan dan ibadah; tidak memilih pilihan lain bila sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal pergaulan sosial, ekonomi, dan hal-hal lain selain aqidah dan ibadah, Allah telah memberi petunjuk dalam melaksanakannya dengan meneladani sikap Rasulullah dalam hal ini. Pada prinsipnya, Islam mengajarkan keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi. Ajaran ini sudah dipaparkan dalam al-Quran dan al-Sunnah secara lengkap. Oleh karena itu, bila ada pendapat orang dalam berbagai hal, maka kewajiban seorang muslim adalah melakukan penyaringan. Sebab, kebenaran tidak boleh disandarkan kepada hawa nafsu. Kebenaran harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Selain ayat-ayat di atas, fatwa ini juga mengemukakan beberapa hadis yang dijadikan sebagai landasan melengkapi beberapa ayat di atas. Hadis pertama menjelaskan bahwa orang yahudi dan nasrani yang sudah mendengar ajaran Islam, lalu meninggal sebelum ia beriman, maka ia masuk neraka[44]. Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa hanya Islam sajalah agama yang diakui Allah swt. Selain Islam, dinyatakan tidak diakui. Hal ini senada dengan QS. Ali Imran : 19 dan 85 di atas.

Hadis kedua berkaitan dengan riwayat tentang upaya Rasul melakukan sosialisasi ajaran Islam kepada para penguasa di beberapa daerah sekitar, yakni Romawi, Persia, Mesir, dan lain-lain yang diungkap dalam kitab al-Tabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’d. Namun, tampaknya karena riwayat tentang hal ini cukup panjang, maka tidak ditulis secara lengkap dalam fatwa ini.[45]

Beberapa riwayat lain juga menceritakan pergaulan Rasulullah dengan umat lain secara baik. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai riwayat yang diungkap oleh al-Bukhari[46] maupun Muslim[47]. Sama dengan riwayat sebelumnya, fatwa ini juga tidak mengungkap hadis-hadis itu, karena memang terlalu banyak untuk diungkap, tetapi dengan mengungkap referensi yang ada sudah cukup memadai untuk bisa ditelusuri dan dikonfirmasi.

Tampaknya, fatwa ini pun lebih bersifat informasi yang disampaikan khususnya untuk umat Islam sebagai tuntunan bagi kehidupan mereka. Sebab, pada era informasi ini, tiga paham yang berasal dari Barat tersebut begitu banyak muncul dalam berbagai media. Dalam kesempatan-kesempatan seperti diskusi, seminar, dialog, dan sejenisnya, kaum pluralis, liberal, dan sekuler ini begitu lantang menyuarakan mereka dengan retorika dan cara berfikir mereka yang seakan merekalah yang paling benar. Padahal, bila ditelusuri lebih jauh, maka bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya.

Beberapa ayat dan hadis yang digunakan dalam fatwa ini secara umum menggambarkan apa yang harus dipegangi dalam kehidupan dan bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap terhadap sesama manusia dengan keyakinan berbeda. Selain itu, digambarkan pula bahwa mengikuti hawa nafsu dalam menyikapi permasalahan hidup dan menetapkan pilihan, hanya akan merusak alam dan kehidupan ini. Dalam kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulullah terdapat banyak hal yang dapat dicontoh berkaitan dengan kehidupan yang heterogen.

Dalam kehidupan sebagian manusia Indonesia saat ini, tampaknya tiga paham ini adalah paham yang benar, karena dianggap sesuai dengan logika. Oleh karena itu, MUI memberikan arahan berkaitan dengan hal ini sesuai dengan ajaran Islam.

Permasalahan tentang tiga faham ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa Rasulullah, pandangan seperti diungkap di atas telah ada dan dianut oleh orang-orang semacam Abdullah ibn Ubay ibn Salul[48]. Dalam penjelasan tentang sikap kelompok Abdullah ibn Ubay ibn Salul ini, Abdullah al-Fauzan mengemukakan bahwa mereka memiliki sikap mendustakan Rasul dan apa yang dibawanya, membenci Rasul dan syariah yang dibawanya, dan tidak suka melihat Islam menang.[49] Sikap seperti yang dikemukakan al-Fauzan sering sekali tampak pada sikap orang yang memiliki pemahaman dengan tiga paham ini.

Kesimpulan

Dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode ijtihād ta¯bīqī dengan memperhatikan konsep mura'at al-khilaf, yakni dengan menempatkan dan memberlakukan semua dalil dalam hal ini. Hal ini ditunjukkan dengan menetapkan bahwa menggunakan tiga faham ini dalam kehidupan sosial dan ekonomi boleh saja dilakukan. Tetapi dalam hal aqidah, keyakinan, dan ibadah, ketiganya tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, fatwa ini menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, faham ini memang pada awalnya adalah terkait dengan aqidah dan ibadah. Akan tetapi pada poin selanjutnya, fatwa menunjukkan bahwa umat Islam boleh bergaul dengan umat lain dalam kaitan sosial yang tidak berkaitan dengan masalah ibadah.


DAFTAR PUSTAKA

Ābādi, Al-Fairūz, al-Qāmūs al-Muhīt, http://al-warraq.com

Fāsi, ‘Allāl al-, Maqā¡id al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā

Fauzan, Salih ibn Fauzan ibn Abdillah al-, Kitab al-Tauhid, Saudi Arabia: Wizarat al-Syu`un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa al-Da'wah wa al-Irsyad, 1423 H

Ibn Taymiyah, al-Fatāwa

Jauziyyah, Ibn Qayyim al-, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamin, Beirut: Dar al-Fikr, 2003

Jauziyyah, Ibn Qayyim al-, Zad al-Ma'ad fi Hady Khair al-'Ibad, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986

Masrī, Muhammad ibn Mukarram ibn Man§ūr al-Ifrīqī al-, Lisān al-‘Arab, Beirut: Dar Sadir, tth.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Sāwi, Ahmad Ibn Muhammad al-, Hāsyiyat al-¢āwi li al-Syarh al-¢aghir

¢ahīh al-Bukhāri

¢ahīh Muslim

Sunan al-Tirmi©i

Sunan Ibn Mājah

Syā¯ibi, Abu Ishaq al-, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darraz, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1425 H/2004 M

Umar, Abu, al-Maus­’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait: Wizarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, tth

Unais, Ibrāhīm dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯, Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972

Zuhri, Muhammad Ibn Sa’d Abu Abdillah al-Basri al-, al-Tabaqat al-Kubra, Beirut: Dar Sadir, 1968



[1] Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

[2] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darraz, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1425 H/2004 M), Juz 4, h. 552

[3] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, h. 553

[4] وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...

[5] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, h. 555

[6] حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كُنَّا فِي غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَسَمَّعَهَا اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ قَالَ جَابِرٌ وَكَانَتْ الْأَنْصَارُ حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ ثُمَّ كَثُرَ الْمُهَاجِرُونَ بَعْدُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَوَقَدْ فَعَلُوا وَاللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 4527)

[7] حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَهُوَ عَمُّ إِسْحَقَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ (¢ahīh Muslim, hadis no. 429)

[8] ¢ahīh Muslim, hadis no. 2487

[9] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡ūl al-Syarī’ah, h. 556 - 566

[10] Sa’di Abu Habib, Al-Qāmus al-Fiqhi, (Damaskus: dar al-Fikr, 1993), cet 2, Juz 1, h. 136. Lihat juga, Muhammad Rawwās Qal’ahji, Mu’jam Lughat al-Fuqahā, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1988), cet 2, juz 1, h. 214

[11] Badrān Abul ‘Ainain Badrān, U¡ūl al-Fiqh al-Islāmī, (Iskandariah: Muassasah Syabab al-Jami’ah, tth.), h. 241

[12] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dar al-Kitab al-Jami’i, 1994), h. 125 – 126

[13] الذَّرِيعَةُ مَا كَانَ وَسِيلَةً وَطَرِيقًا إلَى الشَّيْءِ ، لَكِنْ صَارَتْ فِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ عِبَارَةً عَمَّا أَفَضْت إلَى فِعْلٍ مُحَرَّمٍ ، وَلَوْ تَجَرَّدَتْ عَنْ ذَلِكَ الْإِفْضَاءِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مَفْسَدَةٌ (Ibn Taymiyah, al-Fatāwa al-Kubrā, Juz 9, h. 235)

[14] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh al-Muyassar, h. 128

[15] Muhammad ibn Mukarram ibn Man§ūr al-Ifrīqī al-Masrī, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 11, h. 184

[16] Al-Fairūz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīt, (http://al-warraq.com), Juz 2, h. 348

[17] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 311

[18] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯, (Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972), h. 209

[19] Abu Umar, al-Maus­’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wizarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, tth), h. 438

[20] Ibn Taymiyah, al-Fatāwa, Juz 3, h. 256

[21] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz 2, h. 122

[22] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, h. 558

[23] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, Juz 2, h. 655 – 656

[24] الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

[25] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, Juz 2, h. 658

[26] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَة (¢ahīīh al-Bukhāri, hadis no. 1358)

[27] عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 1336)

[28] عن ابن عباس قال : - لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المحلل والمحلل له (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 1934)

[29] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 558

[30]‘Allāl al-Fāsi, Maqā¡id al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, , h. 140

[31] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 559

[32]‘Allāl al-Fāsi, Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h. 140

[33]Ahmad Ibn Muhammad al-Sāwi, Hāsyiyat al-¢āwi li al-Syarh al-¢aghir, , Juz 4, h. 497

[34] عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (Sunan al-Tirmizi, hadis no. 1021)

[35] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡­l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 561

[36] وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران: 85)

[37] إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران: 19)

[38] لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(الكافرون:6)

[39] وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب:36)

[40] لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ۩ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (الممتحنة: 8 – 9)

[41] وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص:77)

[42] وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (الأنعام:116)

[43] ف_______________________________________________________________________________________________________________________________ وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون:71)

[44] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (Sahih Muslim, hadis no. 218)

[45] Muhammad Ibn Sa’d Abu Abdillah al-Basri al-Zuhri, al-Tabaqat al-Kubra, (Beirut: Dar Sadir, 1968), h. 259 – 269

[46] Sahih al-Bukhari, hadis no. 2081, 2163, 2170, dan 4029

[47] Sahih Muslim, hadis no. 2897 dan 4444

[48] Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Abdullah ibn Ubay ibn Salul adalah kepala kaum munafiq. Hal ini diungkap salah satunya oleh Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma'ad fi Hady Khair al-'Ibad, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986), juz 3, h. 114

[49] Salih ibn Fauzan ibn Abdillah al-Fauzan, Kitab al-Tauhid, (Saudi Arabia: Wizarat al-Syu`un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa al-Da'wah wa al-Irsyad, 1423 H), h. 23