Jumat, 09 Oktober 2009

APLIKASI KONSEP HILAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH

APLIKASI KONSEP HILAH

DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH

(Analisa terhadap Fatwa tentang Syariah Charge Card)

Oleh: H. Muhammad Taufiki

Abstrak

Pengembangan produk perbankan syariah tidak bisa lepas dari metode penemuan hukum peninggalan masa lalu. Salah satu hal yang menjadi kontroversi di kalangan ulama adalah hilah. Dalam perkembangannya, konsep ini ternyata masih eksis dan dipakai oleh para ulama untuk menyimpulkan hukum sesuatu. Dalam berfatwa, umpamanya, DSN-MUI meskipun tidak secara tegas mengungkapnya secara eksplisit, ternyata ditemukan menggunakan konsep ini. Fatwa tentang Syariah Charge Card adalah salah satu dari fatwa-fatwa lain yang tampak menggunakan konsep ini.

The development of syaria banking products can not be devided with old law finding method. One of its is the controversial method named hilah. In the development this concept is exist and used by ulama as one of istinbath methods. Ini making fatwa, DSN-MUI do not say it in their methods of fatwas, but we can find that this method is used in their fatwas as an istinbath method. Fatwa about syariah charge card is one of fatwas that we find use this concept.

Keywords

Hilah, syariah charge card, kafalah, ijarah

Pendahuluan

Perbankan Syariah adalah aset umat Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia, market share Perbankan Syariah masih terhitung sangat kecil bila dibandingkan dengan perbankan non-syariah. Memperhatikan hal ini, tampaknya Pemerintah tidak tinggal diam, sehingga sejak tahun 2007 lalu telah mencanangkan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah (PAPBS)[1].

Perhatian Pemerintah terhadap Perbankan Syariah tidak akan berpengaruh banyak bila tidak diimbangi dengan pengembangan produk Perbankan Syariah, terutama yang terkait erat dengan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi. Dengan tujuan mengoptimalkan fungsi perbankan syariah, DSN MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sebagai dasar dari prinsip syariah sebagaimana diamanat oleh UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah melakukan pengembangan produk perbankan syariah dengan menggunakan berbagai metode yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para ulama terdahulu.

Salah satu metode yang dianggap kontroversial adalah penggunaan konsep hilah dalam pengambilan kesimpulan dalam fatwa-fatwa yang terkait dengan produk-produk perbankan syariah, meskipun hal tersebut tidak secara eksplisit disebutkan dalam reasoning dan konsideran pengambilan fatwa.

Konsep Hilah dalam Hukum Islam

Secara bahasa, al-hiyal merupakan bentuk jama’ dari dari kata الحيلة yang berarti الحِذْقُ وجَوْدَةُ النظر والقدرةُ على دِقَّة التصرُّف[2] (kecerdikan, kepandaian menganalisa, dan kemampuan merespons dengan tajam). الحيلة juga berarti الرُّوَيْغَة[3] (alasan yang dibuat-buat untuk melepaskan diri[4]). Ibrāhīm Unais menambahkan makna kata ini dengan وسيلة بارعة تحيل الشيء عن ظاهره ابتغاء الوصول إلى المقصود[5] (jalan cerdas yang mengalihkan sesuatu dari tampaknya untuk sampai ke tujuan). Di antara ulama, ada juga yang menggunakan istilah ihtiyāl[6] (mencari hilah).

Dalam terminologi usul fiqh, kata ini memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan maknanya secara etimologis. Ibnu Taymiyah memaknai kata ini dengan “suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke tujuan, yang baik ataupun yang buruk. Akan tetapi, seringkali kata ini diungkap untuk mengupayakan agar yang haram menjadi halal” oleh karenanya, secara tegas ia menyatakan bahwa hilah adalah batal dan tidak dapat dijadikan sebagai cara mendapatkan hukum. Paling tidak, ia mengemukakan dua puluh empat alasan mengapa demikian[7]. Ibn al-Qayyim memahaminya sebagai “penipuan dengan menunjukkan sesuatu yang diperbolehkan untuk sampai kepada sesuatu yang diharamkan”[8]. Menurut al-Syāthibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian : mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan mengalihkannya ke hukum lain. Dalam hal ini, konsep al-ma`āl[9]-nya adalah mencari celah untuk menyiasati syari’ah.[10]

Salah satu contoh al-hiyal adalah menghibahkan sebagian harta menjelang haul untuk menyiasati agar tidak terkena zakat karena tidak sampai nisab. Pada dasarnya, hibah hukumnya adalah boleh. Andaikata hibah itu dimaksudkan untuk menghindarkan hukum zakat dalam arti berniat untuk menyiasati hukum, maka hibah itu menjadi upaya menuju kerusakan dan menjadi sesuatu yang diharamkan.

Dalam penjelasan tentang al-hiyal dan al-tahayyul, al-Syathibi menjelaskan bahwa sesuatu yang tampaknya boleh dialihkan ke hukum yang lain menjadi tidak boleh atau sebaliknya. Dalam penjelasannya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah swt telah mewajibkan dan mengharamkan sesuatu, terkadang secara mutlak, terkadang terikat dengan syarat atau sebab tertentu. Shalat, puasa, haji, dan hal-hal seperti ini diwajibkan. Sementara zina, riba, membunuh dan sejenisnya diharamkan. Di samping itu, Allah juga mewajibkan dan mengharamkan sesuatu terikat dengan sebab-sebab tertentu seperti kewajiban kafarat disebabkan na©ar dan keharaman memanfaatkan harta karena harta itu hasil curian. Bila ada suatu sebab yang menjadikan sebuah kewajiban sebagai sesuatu yang tidak lagi wajib; seperti salat empat rakaat bagi musafir bisa menjadi dua rakaat dan melakukan safar agar dapat berbuka puasa. Atau yang menjadikan sesuatu yang haram sebagai sesuatu yang halal secara lahir; seperti menghibahkan sebagian harta agar tidak wajib membayar zakat. Inilah yang disebut al-hīlah dan al-tahayyul ; menjadikan yang wajib menjadi tidak wajib, bahkan yang haram menjadi halal, atau yang halal menjadi haram.[11]

Bagi al-Syathibi, al-hilah seperti digambarkan di atas adalah sesuatu yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Banyak ayat dan hadis yang diungkap sebagai dalil pengharaman atas al-hīlah seperti di atas. Salah satu ayat yang menunjukkan pengharamannya adalah ayat talaq dalam QS. Al-Baqarah (2): 229[12]. Ayat ini membatasi talaq hanya dua kali. Sebelumnya, talaq dilakukan untuk menyiksa kaum wanita dengan melakukan talaq, lalu dirujuknya kembali saat iddahnya menjelang selesai, kemudian ditalaq lagi, lalu rujuk dan seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa ada batasan.[13]

Dalam hadis, ditemukan banyak hal yang ditinggalkan Rasulullah saw berkaitan dengan pengharaman al-hilah ini. Salah satu contohnya adalah pengharaman melakukan rekayasa pencampuran atau pemisahan harta untuk menyiasati kewajiban zakat.[14] Hadis ini menegaskan bahwa merekayasa jumlah harta agar dapat, atau tidak dapat berzakat, atau agar zakatnya sedikit, atau sebaliknya adalah termasuk perbuatan yang diharamkan. Perbuatan lain yang termasuk dalam kategori ini yang diungkap oleh al-sunnah adalah perbuatan suap menyuap[15] dan pernikahan sela (nikāh muhallil)[16].

Meskipun demikian, bagi al-Syathibi, tidak semua al-hīlah tidak boleh dilakukan. Sebab, pada dasarnya setiap hukum yang disyariatkan adalah untuk kepentingan maslahat manusia. Maka, bila al-hīlah itu bertentangan dengan maslahat, maka ia tidak boleh dilakukan. Berbeda halnya bila ia tidak bertentangan dengan maslahat, maka tentunya hal itu sangat mungkin dilakukan. Bahkan, syariah pun dengan tegas memperbolehkannya.[17]

Oleh karena itu, al-Syathibi mengelompokkan al-hīlah menjadi tiga kelompok, antara lain:

1. al-hīlah yang disepakati tidak boleh, bila menyebabkan yang wajib tampak seperti tidak wajib atau yang haram tampak halal, seperti minum obat tidur saat masuk waktu shalat agar tidak shalat karena hilang akal disebabkan tertidur. Juga, menghibahkan sebagian harta agar tidak terkena kewajiban haji;

2. al-hīlah yang disepakati kebolehannya dilakukan, bila untuk membela hak, mencegah kebatilan, selamat dari haram, dan menuju ke halal. Cara yang digunakan pun bisa yang dibolehkan, bisa juga yang diharamkan; hanya, bila cara itu diharamkan, maka ia berdosa menggunakannya meskipun tujuannya tidak diharamkan. Dalam situasi perang, hal ini sangat diperlukan, karena perang adalah siasat. seperti pernyataan “kafir” dalam desakan dan ancaman keterpaksaan;

3. al-hīlah yang menjadi perdebatan kebolehan atau ketidakbolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang pasti baik terkait dengan kelompok pertama, ataupun kelompok kedua; juga tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa ada maksud tertentu dari al-Syāri’ dalam hal itu atau ada hal yang bertentangan dengan maslahat. Sebagian fuqaha menyatakan bahwa ihtiyāl tidak bertentangan dengan maslahat, maka menurut mereka hal itu dibolehkan; sebagian lain menyatakan sebaliknya, maka ihtiyāl menurut mereka tidak boleh dilakukan.

Menyikapi al-hiyal, para fuqaha memiliki pandangan yang berbeda. Al-Syathibi menyebutkan bahwa di antara yang membolehkannya adalah Abu Hanifah. Dia membolehkan hal ini hanya pada hukum individu. Sesuatu yang dilakukan terhadap harta dengan tujuan apapun, termasuk yang menyebabkannya tidak wajib zakat, seperti hibah, membayar hutang, dan sebagainya adalah boleh, karena di dalamnya terdapat maslahah bagi pelakunya, dengan syarat tidak bermaksud untuk menentang hukum dengan menolak membayar zakat. Hal ini disebabkan karena penentangan secara terang-terangan terhadap hukum berarti melawan al-Syāri’. Akan tetapi, bila hal itu tidak secara langsung, tetapi merupakan efek dari sebuah perbuatan, maka hal itu dianggap tidak menentang hukum dan diperbolehkan.[18]

Mencermati pembahasan di atas, sangat tampak bahwa al-hiyal al-syar’iyyah (yang boleh) atau ghair al-syar’iyyah (yang tidak boleh) sangat tergantung kepada ma`āl atau dampak yang dihasilkannya. Apabila kenyataan akhirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ atau maslahat yang dituju syara’ maka ia menjadi hīlah ghair syar’iyyah (yang tidak boleh dilakukan). Tetapi, bila sebaliknya, tidak dituju meskipun dengan itu gugur juga kewajiban zakat umpamanya, maka hal seperti ini dianggap sebagai hīlah syar’iyyah (yang boleh dilakukan). Dalam kaitan ini, Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, seorang mufti Republik Arab Mesir, menyebutnya dengan al-hiyal al-masyru'ah dan al-hiyal ghair masyru'ah.[19]

Aplikasi Konsep Hilah dalam fatwa DSN MUI

Dalam berbagai fatwa yang telah diterbitkan oleh DSN MUI, penggunaan konsep hilah tergambar dalam beberapa fatwa, di antaranya tampak dalam fatwa no. 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card.

a. Anatomi Fatwa Syariah Charge Card

Fatwa ini diawali dengan pertimbangan bahwa penggunaan kartu sebagai alat untuk melakukan transaksi adalah penting untuk keamanan dan kenyamanan penggunanya[20]. Hanya saja, kartu yang ada, dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karenanya, dipandang perlu untuk mengeluarkan fatwa terkait dengan hal tersebut.

Tidak kurang dari sepuluh ayat yang digunakan sebagai dasar pengambilan fatwa ini. Ayat-ayat itu adalah ayat tentang perintah memenuhi aqad (QS. 5:1); penjaminan (QS. 12:72); tolong menolong dalam kebaikan (QS. 5:2); anjuran berperlaku sederhana dalam belanja (QS. 25:67); larangan berperilaku boros (QS. 17:26 – 27); pertanggungjawaban janji (QS. 17:34); kebolehan ijarah (QS. 28:26); riba (QS. 2:275), pencatatan hutang (QS.2:282); dan kemudahan membayar hutang (QS. 2: 280).

Hadis yang dijadikan landasan fatwa ini juga berjumlah sepuluh. Hadis tentang kebolehan membuat perjanjian[21]; ketidakbolehan membahayakan orang lain[22]; kebolehan menjamin hutang orang lain[23]; penjamin adalah orang yang menanggung[24]; kebolehan menyewakan tanah[25]; perintah membuat kesepakatan upah kerja[26]; keutamaan menolong orang[27]; keharaman menunda pembayaran hutang bagi yang mampu[28]; sanksi bagi penunda pembayaran hutang[29]; dan pujian bagi yang membayar hutang lebih dari yang seharusnya[30].

Setelah ayat dan hadis, fatwa juga mengungkap lima kaidah fiqh terkait dengan hal ini. Kaidah itu menjelaskan hukum asal muamalat adalah boleh; kesulitan dapat menarik kemudahan; keperluan dapat dianggap menjadi darurat; sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan sebagaimana ditetapkan oleh syara'; dan meninggalkan kerusakan lebih didulukan dari pada mencari maslahat. [31]

Di samping itu, fatwa ini juga mengemukakan pendapat ulama yang diungkap di antaranya dalam kitab I'anat al-Thalibin, Mughni al-Muhtaj, dan Fiqh al-Sunnah. Tiga kitab ini dianggap cukup mewakili pendapat ulama yang lain, terutama dalam memberikat penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Apalagi ditambah dengan pendapat yang diungkap oleh Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah, Mei 2001: al-Mi’yar al-Syar’iy, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan

Setelah merasa mantap dengan landasan hukum yang dikemukakan, fatwa ini kemudian menetapkan hal-hal terkait dengan hukum dan berbagai ketentuan yang harus diberlakukan dalam penerbitan kartu semacam itu.

b. Analisa Dasar Hukum

Beberapa ayat yang digunakan dalam fatwa ini merupakan prinsip-prinsip umum dalam interaksi antar sesama manusia. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut banyak ditemukan dalam fatwa-fatwa yang terkait dengan permasalahan mu'amalat (interaksi antar sesama manusia). Hal ini tentunya sangat mudah dipahami, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang dengan pola dan kecepatan yang berbeda antara satu komunitas sosial dengan komunitas yang lain. Pada masa penurunan wahyu zaman Rasulullah saw, permasalahan perbankan dan kartu semacam ini belum ada sama sekali, bahkan mungkin belum terbayangkan. Meskipun demikian, problema yang muncul dalam satu masyarakat, baik masa lalu maupun masa kini, tampaknya tidak jauh berbeda, seperti adanya wanprestasi, mengkhianati kesepakatan akad, kecurangan, dan hal-hal lain yang masih banyak ditemui pada masa modern ini. Al-Quran telah membimbing kita dengan prinsip-prinsip universal yang sebagiannya diungkap dalam fatwa ini.

Hadis pun senada dengan itu, dalam arti bahwa hadis lebih memperkuat dan mempertegas apa yang disampaikan oleh ayat dengan menyebutkan spesifikasi perbuatan yang dianjurkan dan dicegah terjadi dalam interaksi itu. Hal seperti penundaan membayar hutang bagi si mampu dan membahayakan diri sendiri maupun orang lain adalah dilarang; sedangkan, memberi upah kerja setimbang, membayar hutang dengan memberi kelebihan, menolong orang, dan menjamin atau menanggung hutang orang lain adalah hal-hal yang dianjurkan. Inipun merupakan prinsip-prinsip universal yang diungkap untuk menguatkan bahwa penggunaan kartu semacam ini adalah boleh selama tidak ada hal-hal yang melanggar prinsip-prinsip itu.

Penggunaan kaidah fiqh dan kutipan pernyataan dari kitab klasik mu'tabar merupakan upaya untuk lebih mendekatkan jarak antara ayat dan hadis yang telah turun lebih dari empat belas abad lalu dengan permasalahan aktual. Hal ini tentunya perlu dilakukan agar lebih mudah diikuti logika sehingga dapat sampai pada kesimpulan yang dituju. Meskipun demikian, penggunaan referensi modern, bahkan fatwa ulama modern yang telah ada di negara lain, adalah cara yang lebih efektif lagi untuk sampai pada kesimpulan fatwa. Apa lagi dengan ditambahkan fatwa lembaga ini yang terkait erat dengan fatwa ini lebih mempermudah lagi jalan itu.

c. Konsep Hilah dalam Fatwa ini

Fatwa ini dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan kartu charge card dinyatakan kebolehannya dengan syarat harus mengikuti ketentuan syariah yang secara detail diungkap pada beberapa hal yang dijabarkan point berikutnya.

Pada ketentuan umum, fatwa menjelaskan tentang pengertian kata-kata kunci dalam fatwa ini. Hal ini tentunya dilakukan untuk menghindari salah pengertian dan dapat menimbulkan kesalahpahaman antar para pihak terkait. Tampaknya, melalui ketentuan umum ini, fatwa sudah mulai mengarah pada penerapan hilah pada point-point selanjutnya.

Dalam masalah akad, fatwa ini memberikan ketentuan dua macam transaksi dengan masing-masing menggunakan dua akad sekaligus. Akad pertama adalah akad dalam transaksi pemegang kartu melalui merchant saat belanja barang tertentu. Dalam kaitan ini, akad yang ditentukan adalah akad kafalah[32] wa al-ijarah[33]. Dalam akad ini, sangat tampak penggunaan hilah untuk menetapkan kebolehannya. Sebab, dalam hadis yang dijadikan salah satu landasan fatwa ini, tegas disebutkan bahwa kafalah boleh dilakukan pada hutang yang sudah terjadi. Hal ini juga disebutkan dalam banyak penjelasan terkait dengan kafalah, salah satunya dalam kutipan pernyataan yang diungkap dalam kitab I'anat al-Thalibin sebagaimana dikemukakan dalam fatwa.

Dalam transaksi pengambilan tunai, fatwa ini menentukan jenis akadnya dengan menggunakan akad al-qardh[34] wa al-ijarah. Dalam akad ini pun demikian jelas penggunaan hilah-nya. Dalam tradisi fiqh, al-Qardh adalah peminjaman sesuatu, termasuk uang, untuk dimanfaatkan dan dikembalikan seperti semula. Ini berarti tanpa ada tambahan apapun. Akan tetapi, ketika akad ini digabungkan dengan al-ijarah, yang berarti peminjaman itu harus dikembalikan dengan tambahan uang sewa sebagai jasa peminjaman. Dalam logika transaksi modern, hal ini tentunya suatu hal yang sangat biasa dilakukan, terutama dalam berbagai transaksi yang dilakukan dengan menggunakan kartu perbankan. Pembayaran uang sewa inilah yang seakan mempersamakan pengguna kartu syariah dengan kartu lain yang tidak berbasis syariah. Ini juga yang membuat orang berasumsi bahwa sesungguhnya tidak ada beda antara syariah dan non-syariah, hanya berbeda nama saja.

Dalam akad transaksi yang ditetapkan dalam fatwa ini, tampaknya menggunakan multi akad, yakni akad al-kafalah wa al-ijarah dan al-qardh wa al-ijarah. Dalam kenyataannya, sesungguhnya akad yang digunakan adalah akad tunggal, yakni al-kafalah dalam penggunaan kartu untuk belanja dan al-qardh untuk pengambilan tunai. Sedangkan akad al-ijarah dalam dua macam transaksi di atas adalah akad sewa terhadap segala fasilitas yang digunakan untuk kepentingan transaksi masing-masing. Dalam transaksi belanja, fasilitas yang digunakan adalah pelayanan, pemasaran, dan penagihan. Sedangkan dalam penarikan tunai, fasilitas yang disewa adalah segala fasilitas untuk pengambilan uang tunai.

Tampaknya, dari sisi akad, fatwa ini lebih mementingkan pihak perusahaan penerbit kartu dari pada kepentingan pemegang kartu. Sebab, paling tidak, ada lima sumber fee yang harus dibayar oleh pemegang kartu kepada perusahaan penerbit kartu, antara lain: iuran keanggotaan, merchant fee, jasa penggunaan fasilitas pengambilan tunai, denda keterlambatan, dan denda overlimit. Dalam hal iuran keanggotaan, tentunya merupakan sebuah kewajaran bila seseorang menjadi anggota perkumpulan tertentu dan mendapat fasilitas tertentu, untuk membayar iuran keanggotaan. Merchant fee diambil karena melibatkan pihak lain dalam melakukan transaksi yang nilainya ditanggung oleh perusahaan, yang kemudian dibayar oleh pemegang kartu dalam batas waktu tertentu. Dalam hal jasa penggunaan fasilitas pengambilan tunai, memang hal ini adalah sangat logis untuk diberikan, sebab pengadaan fasilitas dan biaya pemeliharaannya cukup besar, sehingga harus ditanggung oleh para penggunanya. Adapun pembayaran denda, baik denda keterlambatan maupun denda overlimit, merupakan pembelajaran yang positif bagi para pemegang kartu. Khusus untuk denda ini, fatwa menegaskan bahwa ia bukan merupakan pendapatan perusahaan, tapi merupakan dana yang digunakan untuk kepentingan sosial

Hanya saja, fatwa ini tidak menentukan besaran persentase logis yang dapat diambil perusahaan untuk kepentingan fee, baik iuran keanggotaan, merchant fee, maupun jasa penggunaan fasilitas. Demikian juga dalam hal pengambilan denda-denda. Hal ini tentunya sangat membuka peluang bagi perusahaan untuk menentukan hal-hal di atas, yang bisa saja ditentukan secara sepihak dan semaunya. Ini tentunya merupakan peluang bagi terjadinya ketidakadilan bagi pemegang kartu.

Mencermati fatwa ini, tampaknya memang secara sepintas tidak ada hal yang tampak berbeda antara kartu syariah dan non-syariah. Akan tetapi, bila diteliti lebih mendalam, maka perbedaan sangat tampak pada kejelasan akad yang ditawarkan oleh fatwa ini, sehingga tidak menyebabkan adanya kemungkinan penipuan atau hal sejenisnya, yang dapat menimbulkan kerugian dan ketidakpuasan pemegang kartu. Hal lain yang sangat membedakan adalah pembatasan penggunaan kartu ini hanya pada hal-hal yang halal saja, tidak digunakan untuk maksiat, tidak boleh menimbulkan riba, tidak mendorong untuk berperilaku berlebihan, dan tidak menimbulkan hutang yang tidak pernah lunas. Di samping itu, fatwa ini juga membatasi kepemilikan kartu hanya bagi orang yang memiliki penghasilan yang dapat melunasi tagihan tepat pada waktunya.

Bagaimanapun, fatwa ini adalah landasan bagi dunia perbankan syariah untuk mengembangkan produknya dan melayani nasabahnya dengan segala hal yang dapat menjadikan kemudahan dalam kehidupannya dengan mengurangi kemungkinan ancaman bahaya. Meskipun demikian, kejujuran perusahaan dalam transaksinya bersama nasabah dan sebaliknya merupakan kunci terlaksananya berbagai ketentuan yang disepakati antara kedua pihak.

Pada akhirnya, para pengguna kartu pun harus jujur terhadap dirinya sendiri, terutama dalam menetapkan kemampuan dirinya dalam hal membayar berbagai kewajiban sebagai akibat dari terbitnya kartu yang dipegangnya dengan berbagai kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini sangat penting, agar tidak menimbulkan sifat konsumtif dan perilaku berlebihan yang dapat timbul dari kemudahanan yang didapatnya dari penggunaan kartu itu. Tentunya, hal ini dikembalikan kepada motivasi para pemegang kartu.

Kesimpulan

Fatwa ini merupakan upaya kongkrit para ulama Indonesia untuk memberikan landasan hukum bagi sebuah perilaku manusia modern, terutama dalam bertransaksi menggunakan kartu perbankan. Dalam penetapan fatwa ini – tampaknya – para ulama menggunakan konsep hilah yang merupakan hasil kreativitas ulama masa lalu.

Hilah hanya salah satu dari banyak cara yang dapat digunakan untuk menemukan hukum dan mengembangkan berbagai hal, terutama yang terkait dengan cara dan perilaku kehidupan. Hal inilah yang menjadikan hukum Islam dapat menjangkau semua sisi kehidupan, tidak ada yang tertinggal.

Dalam fatwa ini, konsep hilah tampak pada penggunaan dua akad dalam satu transaksi yang terealisasi dalam penggunaan kartu, baik dalam belanja maupun dalam penarikan uang tunai.



[1] Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia

[2] Muhammad ibn Mukarram ibn Mandhūr al-Ifrīqī al-Masrī, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 11, h. 184

[3] Al-Fairūz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīt, (http://al-warraq.com), Juz 2, h. 348

[4] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 311

[5] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasīt, (Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972), h. 209

[6] Abu Umar, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wizarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, tth), h. 438

[7] Taqiyyuddin Ibn Taymiyah, al-Fatāwa al-Kubra, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.), Juz 6, h. 17 – 19

[8] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz 2, h. 122

[9] Dalam konsep al-Syathibi, hal ini disebut al-nadhar fi ma`ālāt al-af’āl, yakni Mencermati akibat/hasil akhir sebuah perbuatan, baik berupa maslahat maupun mafsadat. Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, h. 552

[10] Abu Ishāq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, h. 558

[11] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, Juz 2, h. 655 – 656

[12] الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

[13] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, Juz 2, h. 658

[14] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَة Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhāri, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987/1407), hadis no. 1358

[15] عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmizi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tth.), hadis no. 1336

[16] عن ابن عباس قال : - لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المحلل والمحلل له Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid (Ibn Majah) al-Qazwaini, Sunan Ibn Mājah, (http://www.al-islam.com), hadis no. 1934

[17] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, Juz 4, h.

[18] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah, Juz 4, h. 558

[19] Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, Fatawa A'lam al-Muftin li Dar al-Ifta` al-Mishriyyah, (Kairo: Dar al-Ifta` al-Mishriyyah, 1980), Juz 7, h. 357

[20] Hal yang sama juga disampaikan oleh banyak akademisi dalam hal perlunya penggunaan kartu semacam ini. Salah satunya dikemukakan oleh Dr. Abdussattar Abu Ghuddah. Di antara pernyataannya, ia mengungkap bahwa penggunaan kartu semacam ini merupakan hal yang sangat urgen dalam masyarakat modern yang mungkin belum terjadi di negara-negara muslim. Menurutnya, faktor keamanan dan kemudahan menjadi alasan yang sangat penting yang menjadikan kartu semacam ini sangat diminati oleh para penggunanya. Lebih lengkap, Abdussattar Abu Ghuddah, "Bithaqat al-I`timan wa Takyifuha al-Syar'iy", dalam Majallat al-Majma' al-Islamiy, (Jeddah: Munadhdhamah al-Mu`tamar al-Islamiy, 1991), Jilid 7, h. 280

[21] حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا أبو عامر العقدي حدثنا كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا أو حل حراما Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 1352

[22] حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِىُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ Abu al-Hasan Ali ibn Umar ibn Ahmad ibn Mahdi ibn Mas'ud ibn al-Nu'man ibn Dinar al-Baghdadiy al-Daraquthniy, Sunan al-Daraquthniy, (http://www.islamic-council.com), hadis no. 3124

[23] حدثنا أبو عاصم عن يزيد بن أبي عبيد عن سلمة بن الأكوع رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم أتي بجنازة ليصلي عليها فقال ( هل عليه من دين ) . قالوا لا فصلى عليه ثم أتي بجنازة أخرى فقال (هل عليه من دين) . قالوا نعم قال (صلوا على صاحبكم). قال أبو قتادة علي دينه يا رسول الله فصلى عليه Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 2173

[24] حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَالْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الزَّعِيمُ غَارِمٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid (Ibn Majah) al-Qazwaini, Sunan ibn Majah, hadis no. 2396

[25] حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِكْرِمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَبِيبَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ كُنَّا نُكْرِي الْأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنْ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّة Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy'ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, (http://www.al-islam.com), hadis no. 2943

[26] حدثنا أبو بكر قال حدثنا وكيع عن سفيان عن حماد عن إبراهيم عن ابي هريرة وأبي سعيد قالا من استأجر اجيرا فليعلمه أجره Abu Bakr Abdullah ibn Muhammad ibn Abi Syaibah al-Kufi, Musnad ibn Abi Syaibah, (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 1409), hadis no. 21109

[27] حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ الْهَمْدَانِىُّ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى - قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, tth), hadis no. 7028

[28] حدثنا مسدد حدثنا عبد الأعلى عن معمر عن همام بن منبه أخي وهب بن منبه أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( مطل الغني ظلم ) Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 2270; Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, hadis no. 4085; Ahmad ibn Syu'aib ibn Abdirrahman al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, (Halab: Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, 1986), hadis no. 4691; Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 1308; Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid (Ibn Majah) al-Qazwaini, Sunan ibn Majah, hadis no. 2404; dan lain-lain.

[29] حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ وَبْرِ بْنِ أَبِي دُلَيْلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy'ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, hadis no. 3144

[30] حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 2140 dan Ahmad ibn Syu'aib ibn Abdirrahman al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, hadis no. 4539

[31] Kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut: الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على خلافها، المشقة تجلب التيسير، الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة، الثابت بالعرف كالثابت بالشرع، درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

[32] Akad kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (al-makfuul 'anhu). (Fatwa DSN MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah)

[33] Disebutkan dalam fatwa DSN MUI no. 09/DSN-MUI/IV/2000 bahwa: Akad ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu.

[34] Pemberian sesuatu kepada seseorang untuk diambil manfaatnya dan mengembalikannya sebagaimana yang ia terima. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 5, h. 437; Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Juz 2, h. 113

1 komentar:

  1. Sayangnya mas, kok mereka gak menyinggung -dalam fatwanya- tentang larangan salaf dan bay', yang oleh para ulama diqiyaskan termasuk di antaranya adalah penggabungan al qardh dan al ijaarah.
    Kita harus jujur dan sampeyan telah jujur ketika menulis : "Tampaknya, dari sisi akad, fatwa ini lebih mementingkan pihak perusahaan penerbit kartu dari pada kepentingan pemegang kartu."
    Semoga saja kata tampaknya di situ tidak bermakna "seakan-akan tetapi tidak seperti itu".
    Saya juga mau jujur, "Saya pun merasakan hal yang sama dalam kebanyakan fatwa DSN MUI yang saya temui, yaitu muyuulnya yang kuat kepada pemilik modal".
    Bukankah fatwa harus memihak kebenaran yang arjah?
    Lebih parahnya, bola fatwa itu kemudian dimainkan pihak lembaga keuangan syariah secara serampangan, keras dan ngawur. Dalam hal ini anggota DSN tidak bisa berkelit dengan mengatakan, "Oh itu salah mereka, bukan salah fatwa!"
    Mengapa? Karena para anggota DSN itu juga adalah DPS lembaga keuangan syariah itu sendiri. Mereka melihat sendiri. Namun bola sudah terlanjur dimainkan serampangan, DSN pun kewalahan ikut bermain, meskipun mereka juga wasit dan panitia pertandingan.
    Hiilah memang membawa "berkah".
    Mohon maaf atas kelancangan saya.

    BalasHapus