Senin, 01 Februari 2010

Bab I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan ijtihad[1] dalam hukum Islam senantiasa menarik untuk dikaji dan diteliti, terutama pada masa modern ini yang kehidupannya begitu berkembang pesat dan penuh dengan hal-hal baru yang sangat inovatif. Hal-hal baru yang muncul dan ditemui dalam kehidupan seringkali menuntut identifikasi hukum yang dapat ditentukan kepastiannya melalui metode ijtihad ini.

Dalam kajian usul fiqh, pelaksanaan ijtihad dilakukan untuk istinbā¯ al-hukm (penyimpulan hukum) dan ta¯bīq al-hukm (mencocokkan hukum ke dalam realitas kehidupan).[2] Dalam hal ijtihad yang pertama, sebagian besar ulama, menyatakan bahwa ijtihad dalam bentuk ini dianggap sudah sempurna dengan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para fuqaha berkaitan dengan berbagai hukum aplikatif yang bersumber dari dalil-dalilnya.[3] Sedangkan yang kedua, para ulama sependapat bahwa setiap masa tidak boleh luput dari ulama tingkat ini. Ulama pada tingkat ini bertugas untuk mentakhrij dan melakukan konfirmasi hukum-hukum yang telah disimpulkan oleh ulama terdahulu berupa fiqh ke dalam kenyataan hidup dengan berbagai situasi yang berbeda.

Berkaitan dengan hal ijtihad ini, telah banyak buku yang ditulis dan penelitian dilakukan dengan mencermati berbagai sisi dan berbagai lembaga yang menjalankan perannya sebagai lembaga fatwa. Berbagai buku tentang usul fiqh telah banyak membahas tentang metode berijtihad secara lengkap dan rinci. Ditambah lagi dengan perhatian serius para pakar setingkat Yusuf al-Qara«āwi[4] yang telah menulis tentang pentingnya ijtihad masa kontemporer dengan metodenya yang diformulasikan secara mutakhir.

Para peneliti di tanah air juga tidak ketinggalan. Dalam bentuk buku, karya-karya Ahmad Hasan[5], Amir Syarifuddin[6], A. Qodri Azizi[7], Munawwir Syadzali[8] dan beberapa penulis lain turut mewarnai perhatian para cendekiawan muslim dalam masalah ijtihad. Dalam bentuk penelitian disertasi, baik telah dicetak dalam bentuk buku maupun masih berupa koleksi perpustakaan, juga telah banyak dilakukan dalam hal ini. Muhammad Amin Suma, umpamanya, telah membahas tentang ijtihad Ibnu Taymiyah dalam bentuk disertasi yang telah dibukukan[9]. Fathurrahman Djamil juga telah mencermati dan meneliti tentang metode ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah[10]. Dede Rosyada telah menulis metode ijtihad PERSIS[11]. Rifyal Ka'bah telah meneliti keputusan ijtihad jama'i di Indonesia yang difokuskan pada keputusan Bahtsul Masail dan Majlis tarjih[12]. Ahmad Zahro juga telah meneliti dan melakukan studi kritik terhadap Bahtsul Masail NU[13]. Begitu juga Helmi Karim yang telah meneliti dan menulis disertasinya tentang metode ijtihad Majelis Ulama Indonesia[14].

Di samping permasalahan ijtihad, perhatian para akademisi juga tercurah pada lembaga fatwa yang disebut terakhir ini. Selain metode ijtihad MUI, peranan lembaga dalam kancah sosial politik pun menjadi perhatian[15]. Bahkan, sampai pada perannya terhadap pembentukan undang-undang[16] juga menjadi perhatian. Hal sejenis juga mendapat perhatian M.B. Hooker saat membahas Islam di Indonesia berkaitan dengan perubahan sosial melalui fatwa kontemporer[17].

Berbagai permasalahan tentang ijtihad dan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang telah dibahas oleh banyak peneliti dan akademisi, baik dalam maupun luar negeri, yang sebagiannya dipaparkan sebelum ini, masih menyisakan banyak hal yang perlu mendapat perhatian para peneliti. Salah satu hal yang menarik untuk diteliti adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia ditinjau dari perspektif konsep ijtihad ta¯bīqī al-Sya¯ibi yang terungkap dalam bukunya yang monumental, al-Muwāfaqāt fī U¡ūl al-Syarī’ah.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dalam istilah para fuqaha, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum aplikatif yang merupakan hasil simpulan dari dalil-dalilnya[18]. Fiqh merupakan buah ijtihad yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan. Permasalahannya adalah bahwa fiqh yang disebut-sebut sebagai hukum aplikatif, ternyata seringkali tidak bisa diaplikasikan secara seragam dan sama untuk setiap individu, disebabkan perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda. Fiqh lebih banyak berupa teori-teori yang bila diaplikasikan secara seragam akan menimbulkan ekses-ekses yang justru bertentangan dengan cita syari’ah.

Syariah diturunkan dengan salah satu hal yang dijadikan prinsip utamanya yakni رفع الحرج (menghilangkan kesulitan). Bila fiqh diterapkan secara seragam, maka sangat mungkin justeru menimbulkan kesulitan baru yang seharusnya dihilangkan oleh fiqh. Atas dasar inilah kemudian kaidah bahwa تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة (hukum berubah dengan perubahan masa dan tempat) menjadi sesuatu yang sangat logis. Kaidah ini, tampaknya menjadi kaidah yang sangat efektif untuk membuktikan bahwa syariat Islam adalah jalan hidup yang sangat fleksibel dan lentur sehingga dapat sesuai dengan segala masa dan tempat. Berdasarkan kaidah ini pula, seseorang tidak bisa menerapkan satu hukum fiqh untuk setiap individu dengan hasil simpulan sama.

Nikah, umpamanya, hukumnya adalah mustahab[19]. Akan tetapi, ketika diimplementasikan kepada individu yang berlainan, bisa jadi ia berubah menjadi wajib, bila individu tersebut dikhawatirkan jatuh ke lembah zina; tetapi bisa jadi berubah menjadi haram bila ia menikah dengan tujuan balas dendam atau menjadi muhallil[20] (nikah sela setelah talak tiga); atau bisa juga berubah menjadi makruh atau mubah sesuai dengan kondisi individu yang mengalaminya.

Dalam teori al-Sya¯ibi, syariah diturunkan untuk merealisasikan ma¡lahah secara mutlak, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan yang dimaksud bukanlah kemaslahatan dengan mengikuti hawa nafsu saja, tetapi kemaslahatan duniawi yang mengarah kepada kemaslahatan ukhrawi sesuai dengan tuntunan Ilahi.[21]

Dalam teori ini, tampak sekali bahwa kemaslahatan adalah hal yang menjadi tujuan diturunkannya syariat ini. Permasalahannya adalah bahwa kemaslahatan manusia dari satu masa ke masa lainnya dan dari satu tempat ke tempat lainnya mengalami perubahan, sesuai dengan situasi dan kondisi masa dan tempat itu. Oleh karenanya, sebuah produk fiqh yang dihasilkan pada masa tertentu belum tentu bisa diaplikasikan pada masa yang berbeda dengan masa itu; demikian juga bila sebuah produk dihasilkan di suatu tempat belum tentu pula bisa diaplikasikan di tempat lain.

Berdasarkan ini, tampaknya ijtihad ta¯bīqī menjadi sesuatu yang niscaya dan harus dilakukan oleh setiap fuqaha atau bahkan oleh setiap individu dalm lingkup lebih sempit, di setiap tempat dan pada setiap masa. Bila ini tidak dilakukan, maka tujuan utama syariah dalam merealisasikan maslahat duniawi untuk kepentingan ukhrawi sangat mungkin mendapatkan kendala serius.

Dalam khazanah usul fiqh, di samping metode ijtihad istinbā¯ī yang ditinggalkan oleh para ulama, juga telah dirumuskan pula metode ijtihad ta¯bīqī yang diungkap dalam berbagai referensi peninggalan mereka.

Berkaitan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, tampaknya lembaga ini telah menetapkan prosedur penetapan fatwa[22] yang di antaranya menyebutkan bahwa dalam hal yang tidak ditemukan dalam pendapat mazhab, fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jamā’i (kolektif) melalui metode bayāni, ta’līli, istislāhi dan sadd al-©arī’ah.[23] Prosedur penetapan fatwa ini, tampaknya merupakan upaya MUI untuk melakukan ijtihad dengan menggunakan metode yang telah mereka rumuskan.

Disertasi ini berupaya menguji hasil upaya mereka, fatwa, apakah fatwa-fatwa itu mengandung unsur-unsur atau menerapkan konsep ijtihad ta¯bīqī yang dikemukakan oleh al-Sya¯ibi, untuk kemudian dikritisi dan dianalisis.

2. Pembatasan Masalah

Dalam kenyataannya, permasalahan ijtihad ta¯bīqī memiliki cakupan yang begitu luas, meskipun sudah dibatasi dengan hanya membahas permasalahan metodologis pada fatwa MUI saja. Oleh karena itu, pembahasan masalah ini dibatasi hanya pada fatwa MUI yang difatwakan sejak tahun 1997 sampai tahun 2007 saja, karena fatwa-fatwa yang sebelum itu sudah pernah dikaji, meskipun dalam fokus pembahasan yang berbeda[24]. Disertasi ini difokuskan pada fatwa MUI terutama dari sisi metodologisnya, kemudian disoroti dengan konsep ijtihad ta¯bīqī yang telah dirumuskan oleh al-Syā¯ibi.

3. Perumusan Masalah

Dari pemaparan di atas, telah jelas bahwa permasalahan pokok yang akan dibahas dalam disertasi ini adalah menguji apakah fatwa-fatwa MUI mengandung unsur-unsur atau menerapkan konsep ijtihad ta¯bīqī al-Sya¯ibi. Paling tidak, ada tiga pertanyaan pokok terkait dengan hal ini, yaitu :

  1. Bagaimana konsep ijtihad ta¯bīqī al-Sya¯ibi?
  2. Bagaimana konsep ijtihad MUI ?
  3. Apakah fatwa MUI mengandung unsur-unsur atau menerapkan konsep ijtihad ta¯bīqī al-Sya¯ibi ?

C. Tinjauan Pustaka

Permasalahan ijtihad ta¯bīqī belum banyak dibahas oleh akademisi di Indonesia. Kalaupun ada, masih merupakan bagian-bagian kecil yang terpisah-pisah, sehingga bukan merupakan metode ijtihad ta¯bīqī sebagaimana yang dibahas dalam disertasi ini. Berkaitan dengan hal MUI, Lembaga ini memang merupakan obyek yang menarik untuk diteliti dari berbagai seginya, sehingga sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan menyangkut berbagai hal tentang lembaga ini. Berikut ini, adalah sebagian kecil dari buku-buku atau penelitian yang membahas tentang dua hal di atas dengan karakter pembahasan dan spekifikasi masing-masing :

a. Literatur berbahasa Arab

1. Yūsuf al-Qaradāwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir baina al-Indibā¯ wa al-Infirā¯, Cairo : Dar al-Tauzī’ wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 1994. Buku ini membahas berbagai permasalahan ijtihad pada masa modern ini. Pembahasan diawali dengan mengurai pentingnya ijtihad pada masa kini, terutama pada hal-hal baru, khususnya dalam lapangan interaksi keuangan dan ekonomi, serta masalah ilmu pengetahuan dan kedokteran. Ijtihad pada masa sekarang ini, menurutnya, bisa dilakukan dalam tiga bentuk: pengundangan, fatwa, dan penelitian. Paling tidak, menurutnya, ada enam hal yang menjadikan ijtihad masa kini terperosok dalam kesesatan: melupakan teks, kurang memahami teks, berpaling dari ijma, analogi yang tidak tepat, lalai terhadap kenyataan, dan menggunakan konsep maslahat yang berlebihan. Setelah membahas tentang beberapa kekeliruan ijtihad masa kini, buku ini kemudian memberikan solusi agar tidak terjadi lagi kekeliruan itu. Solusi itu berupa penyeimbangan antara sempit dan luas, antara ketat dan berlebihan, serta memberikan prinsip-prinsip bagi ijtihad modern, di antaranya: ijtihad harus dilakukan dengan kesungguhan, ijtihad tidak dilakukan dalam masalah qa¯’i, §anni tidak boleh dijadikan qa¯’i, menghubungkan fiqh dengan modernitas, bisa menerima hal baru yang bermanfaat, bisa menerima kesalahan mujtahid, dan lain sebagainya. Di bagian akhir, buku ini menjelaskan posisi Sayyid Qu¯b dalam hal ijtihad pada zaman modern ini.

2. Ahmad Baw’ud, Fiqh al-Wāqi’: U¡ūl wa ¬awābi¯, Doha: Dar al-Kutub al-Qa¯ariyyah, 2000. Buku ini adalah salah satu buku yang diterbitkan oleh Markaz al-Buhū£ wa al-Dirāsāt pada Departemen Wakaf dan Agama Islam di Qatar. Buku ini mencoba membangkitkan kesadaran bahwa apa yang telah disimpulkan ulama bukanlah sesuatu yang suci dan tidak bisa berubah. Sebab, apa yang mereka kemukakan, bagaimanapun, adalah merupakan hasil ijtihad manusia, yang mungkin salah dan mungkin juga benar; oleh karenanya, pendapat mereka senantiasa dapat dikritisi dan disesuaikan dengan situasi kondisi saat simpulan itu akan diberlakukan. Selanjutnya, buku ini juga menjelaskan bahwa pembebanan hukum dalam Islam senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kemampuan. Banyak hal yang telah dicontohkan oleh syariat Islam berkaitan dengan hal ini. Asbab nuzul suatu ayat, penurunan syariat secara bertahap, dan jawaban Rasul terhadap pertanyaan sahabat merupakan contoh dari pemahaman terhadap situasi dan penyesuaian pembebanan sebuah hukum dengan situasi manusia yang dibebani.

3. ’Allāl al-Fāsi, Maqā¡id al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, Rabāt: Dār al-Gharb al-Islāmi, 1993. Salah satu hal yang dipaparkan buku ini adalah asal-usul konstitusi dan perkembangannya. Secara umum, peraturan yang dibuat oleh manusia memiliki tujuan yang sama, yakni keadilan. Akan tetapi, setiap peraturan memiliki caranya sendiri untuk sampai ke tujuannya. Buku ini membandingkan cara yang dilakukan oleh peraturan langit dan peraturan buatan manusia. Kemudian, mengemukakan keunggulan-keunggulan syariat Islam dari peraturan lainnya, terutama realisasi maqā¡id syarī'ah yang terkandung dalam setiap hukum dalam Islam. Buku ini banyak mengutip pemikiran al-Syā¯ibi yang diutarakan dalam kitabnya, al-Muwāfaqāt.

4. Jamāluddin 'Atiyyah, Nahwa Taf'īl Maqāsid al-Syarī'ah, Damaskus: Dār al-Fikr, 2003. Buku ini mengkritisi konsep maqāsid al-syarī'ah lama yang membatasinya hanya dalam lima hal saja. Buku ini mencoba menggambarkan pemahaman baru dalam maqasid. Menurutnya, maqasid terbagi menjadi dua, yaitu : maqāsid al-khalq (tujuan penciptaan), yakni untuk 'ibādatullāh (mengabdi kepada Allah) dan maqāsid al-syar'i yang dalam konsep al-Syātibi diungkap dengan istilah al-darūriyyāt al-khams. Pada bagian akhir buku ini mengungkap suatu model ijtihad yang digagas oleh penulisnya dan diberinya istilah ijtihad maqāsidī. Ijtihad ini sesungguhnya tidak terlalu jauh berbeda dengan sebelumnya, meskipun menggunakan istilah baru. Empat langkah ijtihad yang dikemukakan sudah ditemukan pada konsep-konsep sebelumnya. Empat langkah itu adalah: mencari di dalam teks dan maqasid-nya; melakukan kompromi antara al-kulliyyāt dengan dalil-dalil khusus; mencari maslahat dan mencegah bahaya; dan memperhatikan al-ma`āl.

b. Literatur berbahasa Indonesia

1. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing House, 1995. Buku ini awalnya adalah disertasi penulis yang berjudul Ijtihad Muhammadiyah dalam Masalah-Masalah Fiqih Kontemporer: Studi tentang Penerapan Teori Maqashid al-Syari’at. Dalam pembahasannya, penulis mengemukakan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid dalam arti modernisasi menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah kontemporer, organisasi ini mencoba menggali tujuan hukum Islam dengan cara menelusuri aspek maslahat yang merupakan inti dari maqasid al-syari’ah. Sehingga, metode-metode istinbath hukum yang digunakan oleh para imam madzhab, diterima oleh Muhammadiyah sebagai metode yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer.

2. Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988, Jakarta : INIS, 1993. Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi dalam bahasa Inggris yang kemudian dibukukan dalam edisi dwibahasa, Inggris dan Indonesia. Penelitian mengkaji fatwa-fatwa MUI sejak dibentuknya sampai tahun 1988 dengan kajian metodologis (usul fiqh) dan sosiologis. Dalam salah satu kesimpulannya dikemukakan bahwa meskipun perumusan metodologi fatwa tidak mengikuti suatu pola tertentu, MUI secara teoritis meyakini bahwa fatwa tidak dapat dikeluarkan kecuali setelah mempelajari keempat sumber hukum Islam secara mendalam; walaupun dalam prakteknya prosedur semacam ini tidak selalu digunakan.[25]

3. A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, Jakarta: Teraju, 2003. Buku ini menawarkan model ijtihad yang menurut penulisnya adalah baru yang diberinya naman al-ijtihad al-‘ilmi al-‘asri atau modern scientific ijtihad. Paling tidak, ada sebelas hal yang menjadi prasyarat bagi ijtihad yang ditawarkan, di antaranya : mendahulukan sumber primer dalam bermazhab; mengkaji pemikiran hukum Islam tidak sebagai doktrin dan dogma; hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan, dimungkinkan untuk diuji dan dikaji ulang; tidak apriori; responsif terhadap masalah yang muncul; penafsiran aktif dan progresif; ajaran al-ahkām al-khamsah agar dapat dijadikan konsep etika sosial; menjadikan ilmu fiqh sebagai bagian dari ilmu hukum umum; kajian fiqh tidak hanya kajian secara deduktif, tetapi juga induktif dan empiris; kemaslahatan umum hendaknya jadi landasan penting; dan menjadikan nash sebagai kontrol terhadap hasil ijtihad. Bagi penulis, ijtihad tidak harus dilakukan oleh manusia super seperti para pendiri mazhab itu; baginya, persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh kebanyakan ilmuwan kontemporer tidak perlu dipaksakan. Dengan konsep ijtihad yang diusulkan ini, penulis buku ini mengharapkan munculnya individu-individu yang melakukan ijtihad sebagaimana dalam tradisi akademik; kemudian, ijtihad individual itu dapat dibawa ke forum ijtihad (ijtihad jamā’i), bahkan dapat pula diangkat dalam forum lebih besar lagi menjadi ijmā kontemporer.

4. Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Peraturan Perundang-Undangan 1975 – 1997, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002. Disertasi ini menjelaskan bahwa fatwa dan nasehat MUI telah banyak diserap oleh peraturan perundang-undangan dalam berbagai tahap, baik merupakan koreksi atas sebuah peraturan perundang-undangan maupun berupa masukan bagi pembuat peraturan perundang-undangan. MUI juga turut berperan dalam memberikan fatwa dan nasehat dalam pembuatan RUU, seperti RUU Kesehatan, RUU Narkotika, dan RUU Perlindungan anak. Menurut Penulis disertasi ini, penyerapan fatwa MUI dalam berbagai RUU tidak lepas dari upaya MUI dalam melakukan lobi-lobi dengan fraksi-fraksi di DPR sebagai Badan Legislatif. Pada tahap persiapan pembentukan RUU juga MUI telah turut berperan dalam mengupayakan lobi di tingkat menteri sampai Presiden, sehingga fatwa dan nasehatnya turut mewarnai berbagai RUU dan produk peraturan lainnya.

5. Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1993. Disertasi ini membahas tentang metode ijtihad MUI yang dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa secara metodologis, MUI hanya mengikuti manhaj yang sudah ada, sehingga tidak bisa disebut sebagai mujtahid mustaqill. Dalam hal martabat ijtihad, MUI dinyatakan sebagai lembaga fatwa yang mengikatkan diri pada pendapat mazhab terdahulu, karena tidak ada fatwa yang berbeda dari yang sudah ada pada fiqh masa lalu. Di samping itu, MUI juga melakukan ijtihad tarjīh. Dalam hal ini ia tidak terikat pada mazhab tertentu. Standar yang digunakan dalam hal ini adalah memilih pendapat yang paling relevan dengan kemajuan zaman dan lebih maslahat.

6. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masail 1926 – 1999, Yogyakarta: LKiS, 2004. Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi Doktor di IAIN (sekarang: UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Lajnah Lajnah Bahtsul Masail 1926 – 1999 (Telaah Kritis terhadap Keputusan Hukum Fiqh). Salah satu hal yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini adalah pembahasan tentang metode istinbat hukum dan kitab-kitab yang dijadikan rujukan lembaga ini. Dalam kesimpulannya, di antaranya mengemukakan bahwa metode istinbat hukum lajnah ini adalah metode qauly (langsung merujuk pada teks suatu kitab), metode ilhaqy (analogi), dan metode manhajy (mengikuti manhaj yang digunakan oleh mazhab empat). Tiga metode tersebut digunakan sesuai urutannya, dengan pendekatan mazhaby (berorientasi pada mazhab empat) dalam forum ijtihad jama'i (kolektif) dengan teknik diskusi dan tanya jawab[26].

7. Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta : Universitas Yarsi, 1999. Buku ini juga merupakan hasil penelitian disertasi doktor di Universitas Indonesia tahun 1998. Salah satu fokus pembahasan dalam buku ini adalah metode ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masail NU sebagai dua lembaga ijtihad jama'i di Indonesia. Dalam kesimpulannya, di antaranya Penulis mengemukakan bahwa metode yang digunakan Majlis Tarjih tidak terbatas pada metode usul fiqh saja, tetapi juga menggunakan metode-metode formulasi modern seperti induksi, deduksi, komparasi dan lain-lain. Hal ini dicermati dari sumber yang digunakan dalam keputusan-keputusannya. Rujukan utama yang digunakan adalah al-Quran dan al-Sunnah, baru kemudian merujuk pada rujukan sekunder berupa ijma', qiyas, dan lain-lain. Di samping itu, konstitusi, Undang-Undang, dan berbagai peraturan yang berlaku juga dijadikan rujukan pada sebagian putusannya. Berbeda dengan Majlis Tarjih, Lajnah Bahsul Masail NU secara teoritis mempunyai empat langkah dalam mengambil keputusan hukum, yaitu: mencari jawaban masalah dalam kitab-kitab fiqh mazhab, terutama Syafi'i; bila ada lebih dari satu pendapat, maka ditetapkan dengan melalui taqrir jama'i untuk menentukan yang dianggap paling kuat; bila tidak ditemukan jawaban, maka dilakukan ilhaq al-masa`il binaza`iriha (menganalogikan dengan kasus serupa) secara bersama; dan bila langkah terakhir ini juga tidak dimungkinkan, maka dilakukan ijtihad jama'i sesuai dengan metode istinbat empat mazhab[27].

8. Ali Mufrodi, Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru: Studi tentang Perkembangan Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,1994. Disertasi ini membahas tentang perkembangan MUI sejak mulai terbentuknya sampai periode ketiga. Pembahasan dilakukan dengan mencermati peranan ulama dalam hal sosial politik.

Penelusuran pustaka yang dilakukan, memang sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan pembahasan tentang ijtihad yang dilakukan oleh para pendahulu, terutama yang difokuskan pada metode ijtihad dan produk yang dihasilkannya. Memang, tampaknya para peneliti dan penulis sepakat akan perlunya ijtihad dalam mengantisipasi berbagai pergerakan dan perubahan zaman. Sebagian mereka telah meneliti metode ijtihad beberapa lembaga fatwa yang terdapat di Indonesia, termasuk di antaranya MUI. Penelitian ini hendak melanjutkan apa yang telah dilakukan sebelumnya dengan menguji sebagian fatwanya menggunakan konsep ijtihad ta¯bīqī al- Syā¯ibi.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ingin mengurai berbagai hal berkaitan dengan ijtihad yang selama ini dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Juga, mengurai tentang pemahaman ijtihad yang diurai oleh para ulama terdahulu. Setelah itu, penulis mengupayakan adanya pemahaman baru tentang ijtihad, terutama ijtihad ta¯bīqī yang merupakan kristalisasi dari pemahaman ijtihad dalam paradigma para ulama terdahulu yang disinergikan dengan pemahaman ijtihad dalam paradigma modern. Dengan demikian, diharapkan akan muncul pemahaman akan ijtihad yang sesuai dengan masa kini dan dapat diformulasikan konsep ijtihad yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang memerlukan realisasi hukum-hukum yang tampak masih sangat teoritis. Sehingga, fiqh yang selama ini masih banyak yang bersifat wacana dan tidak dapat diaplikasikan bisa berubah dan dapat menyentuh semua lapisan umat Islam dari para akademisi yang memahami konsep fiqh sampai lapisan yang paling bawah yang kurang paham terhadap konsep fiqh.

Oleh karenanya, penelitian ini memiliki tujuan spesifik sebagai berikut:

1. mengetahui konsep ijtihad ta¯bīqī yang sudah dirumuskan oleh al-Sya¯ibi sebagai alat untuk mengukur ijtihad pada fatwa MUI;

2. mengetahui konsep ijtihad yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya; dan

3. mengetahui apakah unsur-unsur konsep ijtihad ta¯bīqī al-Syā¯ibi terkandung dalam fatwa MUI.

E. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini akan menambah kekayaan khazanah keilmuan Islam terutama yang berkaitan dengan masalah ijtihad. Diharapkan dengan kekayaan akademis ini, fiqh semakin dekat dengan umat Islam dan dapat direalisasikan dalam kehidupan mereka, terutama dalam memberikan pilihan-pilihan mudah bagi masyarakat muslim yang mendapati kesulitan dalam kehidupan mereka.

Dalam kehidupan umat Islam, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk menjadi fasilitator yang dapat merealisasikan syariat Islam sebagai rahmat bagi bagi seluruh alam. Hal ini bisa dilakukan, salah satunya dengan cara melakukan sosialisasi tentang ijtihad ta¯bīqī yang dapat dilakukan oleh siapapun yang mengaku dirinya umat Islam sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian pustaka yang dilakukan dengan mengkaji berbagai sumber kepustakaan, baik berupa buku maupun sumber lain yang bisa diakses oleh penulis. Pengumpulan data untuk menjawab berbagai permasalahan yang dirumuskan dilakukan dengan penelusuran pustaka. Sumber data utama yang akan dikaji adalah al-Quran, al-sunnah dan berbagai kitab fiqh serta ushul fiqh yang begitu banyak didapat di berbagai perpustakaan, baik di Indonesia, maupun di luar Indonesia. Sumber sekunder penelitian ini adalah berbagai buku dan arsip lain yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Untuk data tentang MUI, penulis mencarinya dari MUI baik Pusat maupun Daerah, dilengkapi dengan data dari internet.

Penelitian berawal dari penelusuran tentang ijtihad ta¯bīqī yang telah dikonsepkan oleh para ulama terdahulu dalam berbagai khazanah peninggalan mereka, terutama yang diungkap oleh al-Syā¯ibi. Berbagai konsep yang dikemukakan oleh para ulama diupayakan untuk diformulasikan menjadi satu format yang bisa dijadikan sebagai alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian berikutnya.

Selanjutnya, perhatian difokuskan pada fatwa-fatwa MUI yang difatwakan antara tahun 1997 sampai tahun 2007. Setiap fatwa diurai dan dianalisis dari sisi metode penyimpulan hukumnya, terutama pada konsideran pertimbangan-pertimbangan hukum dan dalil-dalil yang dijadikan dasar pengambilan fatwa. Hasil penguraian itu kemudian dihubungkan dengan konsep ijtihad ta¯bīqī yang telah dirumuskan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melihat apa yang telah dilakukan oleh MUI penyimpulan fatwanya, kemudian dicocokkan dengan konsep ijtihad ta¯bīqī yang telah dirumuskan oleh al-Syatibi. Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan konsistensi MUI dalam menggunakan metode ijtihad .

Penulisan disertasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006.

F. Teknik Penulisan

Untuk runtunnya pembahasan dalam disertasi ini, penulis menyusunnya dalam urutan sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya membahas latar belakang, identifikasi masalah, perumusan dan pembatasan masalah, kajian pustaka, dan metode penelitian.

Bab II membahas konsep ijtihad ta¯bīqī al-Syā¯ibi, yang meliputi: pengertian ijtihad ta¯bīqī, perbedaan ijtihad ta¯bīqī dan ijtihad istinba¯i, beberapa elemen pokok dalam konsep ijtihad ta¯bīqī al-Syā¯ibi, dan persamaan perbedaannya dengan konsep ijtihad ta¯bīqī ulama lain;

Bab III membahas Profil Majelis Ulama Indonesia. Bab ini membahas berbagai hal tentang kondisi Majelis Ulama Indonesia sejak masa pembentukannya, kedudukannya dalam masyarakat pada masa orde baru, kedudukannya pada era reformasi, dan Metode ijtihad MUI;

Bab IV membahas tentang penerapan konsep Tahqīq al-Manā¯ dalam fatwa MUI, meliputi penerapat Tahqīq al-Manā¯ dalam fatwa bidang faham keagamaan, ibadah, sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi;

Bab V membahas tentang penerapan konsep Ma`ālāt al-Af’āl dalam fatwa MUI, meliputi penerapat Ma`ālāt al-Af’āl dalam fatwa bidang faham keagamaan, ibadah, sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi;

Bab VI adalah penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.



[1] Definisi ijtihad menurut ulama di antaranya : mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’. Lihat di antaranya dalam Abū Ishāq Ibrahim ibn Ali ibn Yūsuf al-Syairāzi al-Fairuzābādi, al-Luma’ fi U¡ūl al-Fiqh, (Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad Nabhan wa Auladuh, tth.) h. 70, Al-Āmidi, al-Ihkām fī U¡ūl al-Ahkām, (ttp. : Ma¯ba’ah ¢abih, 1347 H), Juz 3, h. 139, Abu Hāmid al-Ghazāli, al-Musta¡fā min 'Ilm al-U¡ūl, (ttp: Ma¯ba’ah Mus¯afa Muhammad, 1356 H), Juz 2, h. 101, Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’i, al-Risālah, Tahqīq oleh Ahmad Muhammad Syākir, (ttp: tanpa penerbit, tth), h. 477, Muhammad al-Amīn ibn Muhammad al-Mukhtār al-Syanqī¯i, Mu©akkirah fi U¡ūl al-Fiqh, (Iskandaria: Dar al-Ba¡irah, tth), h. 270, Jamāluddin Abdurrahmān ibn Hasan al-Isnawi, Nihāyat al-Sūl fi Syarh Minhāj al-Wu¡ūl Ilā ‘Ilm al-U¡ūl li al-Qā«i al-Bai«āwi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420 H), Juz. 2, h. 1025.

[2] Muhammad Abū Zahrah, U¡ūl al-Fiqh, (ttp: Dār al-Fikr al-Arabi, 1958), h. 379

[3] Ijtihad semacam ini merupakan ijtihad khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Bagi sebagian besar ulama, bisa saja suatu zaman tidak memiliki mujtahid dalam tingkat ini. Dalam hal tingkatan mujtahid, lihat di antaranya dalam Muhammad Abū Zahrah, U¡ūl al-Fiqh, (t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H/1985 M), h. 379 dan Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fi U¡ūl al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darrāz, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1425 H/2004 M), Juz 4, h. 463 – 464

[4] Yūsuf al-Qara«āwi, al-Ijtihād al-Mu’ā¡ir baina al-In«ibā¯ wa al-Infirā¯, (Cairo : Dār al-Tauzī’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1994)

[5] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung : Pustaka, 1994)

[6] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)

[7] A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, (Jakarta: Teraju, 2003)

[8] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997)

[9] Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibnu Taymiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)

[10] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995)

[11] Dede Rosyada, Metode Ijtihad PERSIS, (Jakarta: Logos, )

[12] Penelitian ini merupakan disertasi Doktor yang kemudian dibukukan dengan judul Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU. Lihat Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1998)

[13] Penelitian ini adalah disertasi Doktor dengan judul Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama 1926 – 1999 (Telaah Kritis terhadap Keputusan Hukum Fiqh), yang telah dibukukan dengan judul Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masail 1926 – 1999. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masail 1926 – 1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004)

[14] Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1993)

[15] Lihat umpamanya: Ali Mufrodi, Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru: Studi tentang Perkembangan Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1994), lihat juga: Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975 – 1988, (Jakarta: INIS, 1993)

[16] Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Peraturan Perundang-Undangan 1975 – 1997, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002)

[17] M.B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change Through Contemporary Fatawa, (Australia: Allen & Unwin, 2003)

[18] Dalam definisi fuqaha yang dikutip oleh Abdul Karīm Zaidān, fiqh diartikan sebagai العلم بالأحكام العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية lihat Abdul Karīm Zaidān, al-Wajīz fī U¡ūl al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), h. 8. Ini berarti bahwa fiqh sebenarnya bukan sebuah teori, tetapi ia lebih merupakan hasil dari sebuah upaya menerjemahkan suatu doktrin menjadi sebuah norma hukum yang langsung bisa diaplikasikan dalam kehidupan tanpa kendala.

[19] Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Sahl al-Sarkhasi, al-Mabsū¯, (http://www.al-islam.com), juz 5, h. 451

[20] Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa suatu saat Rasulullah saw menyatakan: لعن الله المحلل والمحلل له (Allah melaknat orang yang melakukan “nikah sela” dan orang yang menyuruhnya). Lihat Sunan Abi Dāud hadits nomor 1778, Sunan Ibn Mājah hadis nomor 1924, al-Sunan al-Kubrā li al-Nasā`i hadis nomor 5535, al-Mustadrak ‘ala al-Sahīhain li al- Hākim hadis nomor 2755, al-Mu’jam al-Kabīr li al-Tabarāni hadis nomor 14242.

[21] Abu Ishāq Al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fi Usūl al-Syarī’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2004), juz II, h. 350 – 351

[22] Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 385

[23] Metode bayāni adalah upaya menemukan hukum dalam teks dengan kajian kebahasaan; metode ta’līli disebut juga qiyāsi adalah upaya menemukan hukum melalui penemuan ’illat dan mengaitkannya dengan hukum yang ada dalam teks; dan metode isti¡lāhi adalah upaya menemukan hukum dengan mempertimbangkan unsur kemaslahatan di dalamnya. Lebih lanjut, lihat Wahbah al-Zuhaili, U¡ūl al-Fiqh al-Islāmi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1426 H/2005 M), Juz 2, h. 330

[24] Di antaranya telah dilakukan oleh Muhammad Atho Mudzhar yang membatasi penelitiannya sampai fatwa tahun 1988 dengan fokus pembahasan dari sisi metodologis (usul fiqh) dan sosiologis. Wahiduddin Adams juga telah melakukan penelitian fatwa yang dibatasi sampai fatwa tahun 1997 dengan fokus pembahasan pada pola penyerapan fatwa MUI ke dalam Undang-Undang.

[25] Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 139

[26] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masail 1926 – 1999, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 269

[27] Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta : Universitas Yarsi, 1999, h. 265 – 266

Tidak ada komentar:

Posting Komentar