Senin, 01 Februari 2010

Bab VI

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan pada bab-bab terdahulu membuktikan bahwa metode istinbat hukum Majelis Ulama Indonesia searah dengan konsep ijtihad ta¯bīqī al-Sya¯ibi. Hal ini melanjutkan apa yang telah disimpulkan oleh M. Atho Mudzhar (Disertasi, 1990) yang menyimpulkan bahwa meskipun perumusan metodologi fatwa tidak mengikuti suatu pola tertentu, MUI secara teoritis meyakini bahwa fatwa tidak dapat dikeluarkan kecuali setelah mempelajari keempat sumber hukum Islam secara mendalam; walaupun dalam prakteknya prosedur semacam ini tidak selalu digunakan.

Hal ini sangat tampak saat fatwa-fatwa yang diterbitkan MUI, paling tidak dari tahun 1997 sampai 2007, dicermati dan dicocokkan dengan konsep ijtihād tatbīqī al-Syātibi yang telah dirumuskan jauh sebelum MUI terbentuk.

Al-Syatibi merumuskan konsep ijtihād tatbīqī-nya dalam dua hal, yakni konsep ijtihād tatbīqī dengan menggunakan tahqīq al-manāt dan konsep ijtihād tatbīqī dengan al-nazar ilā ma`ālāt al-af'āl. Dalam konsep pertama, al-Syātibi membaginya menjadi dua macam, yakni tahqīq al-manāt al-'āmm dan tahqīq al-manāt al-khās. Sedangkan pada konsep kedua, al-Syātibi membaginya ke dalam tiga macam, sadd al-zarī'ah, al-hiyal, dan murā'āt al-khilāf.

Dalam konsep ijtihad Majelis Ulama Indonesia memang tidak didapati satupun istilah ijtihād tatbīqī. MUI hanya menyebutkan dalam pedoman fatwanya, bahwa dalam penetapan fatwa, MUI terlebih dahulu meninjau pendapat imam mazhab tentang masalah dengan seksama berikut dalil-dalilnya. Bila masalah itu qa¯'iy, maka fatwa hanya menyampaikan apa adanya, termasuk bila hukumnya sudah pasti. Bila terjadi perbedaan, maka akan diupayakan al-jam'u wa al-taufīq (kompromi dan sebisa mungkin memberlakukan semua), bila tidak mungkin, maka dilakukan al-tarjīh. Bila pendapat ulama terdahulu tidak ditemukan, maka akan dilakukan penyimpulan hukum dengan ijtihad jama'iy melalui metode bayāni, ta'līli, istislāhi, dan sadd al-zarī'ah.


Pada fatwa MUI yang diterbitkan sejak tahun 1997 sampai 2007, ditemukan sedikitnya 37 fatwa dalam berbagai bidang yang telah dibagi oleh MUI berdasarkan bidangnya. Dalam bidang faham keagamaan, MUI menerbitkan lima fatwa; bidang ibadah enam fatwa; bidang sosial kemasyarakatan 22 (dua puluh dua) fatwa; dan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi empat fatwa.


Meskipun MUI tidak menyebutkan istilah metode ijtihād tatbīqī dalam pedoman fatwanya, ditemukan bahwa apa yang dilakukan oleh MUI sejalan dengan konsep ijtihād tatbīqī yang telah dikemukakan oleh al-Syātibī. Bahkan, terkadang MUI menggunakan dua konsep sekaligus.

Dalam hal ijtihād tatbīqī dengan menggunakan tahqīq al-manāt, MUI telah melakukannya dalam banyak fatwa, sejumlah 27 (dua puluh tujuh) fatwa; lima fatwa MUI menggunakan ijtihād tatbīqī dengan sadd al-zarī'ah; tiga fatwa menggunakan al-hiyal; dan dua fatwa menggunakan murā'āt al-khilāf. Satu fatwa menggunakan dua metode sekaligus, yakni fatwa tentang perkawinan beda agama.

Metode tahqīq al-manāt dapat ditemukan dalam fatwa-fatwa yang terkait dengan permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama sebelumnya, tetapi masih memerlukan spesifikasi dalam menentukan kriteria dan menetapkan pemberlakuan hukumnya. Metode ini digunakan dalam menetapkan kebanyakan fatwa-fatwa tentang ibadah, faham keagamaan yang terkait erat dengan masalah aqidah, masalah sosial kemasyarakatan, dan juga masalah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam fatwa tentang Ibadah, MUI menerapkan tahqīq al-manāt dalam hal ibadah mahdah (ibadah ritual yang harus ada tuntunannya). Sedangkan dalam hal ibadah yang terkait dengan masalah sosial, MUI menerapkan ma`ālāt al-af'āl seperti dalam fatwa tentang wakaf tunai dan zakat penghasilan.

Dalam fatwa bidang faham keagamaan, tidak ditemukan penerapan metode al-hiyal sekalipun. Hal ini dapat dipahami, karena bidang ini terkait dengan aqidah yang segalanya harus berpegangan pada teks dan petunjuk yang representatif.

Dalam hal sosial kemasyarakatan, hanya sedikit saja fatwa yang tidak menerapkan metode tahqīq al-manāt. Hal ini ditemukan dalam fatwa tentang pemahaman jender, pengiriman TKW, kewarisan beda agama, dan pernikahan beda agama dalam hal pelarangan pelaksanaannya.

Berkaitan dengan fatwa tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditemukan penerapan metode tahqīq al-manāt dalam fatwa tentang pengharaman penggunaan enzim babi dalam bahan konsumsi; dalam hal ini produk ajinomoto dengan penggunaan mameno. Dalam hal kloning, MUI menerapkan metode sadd al-zarī'ah untuk mengharamkannya; dan metode al-hiyal diterapkan dalam fatwa tentang produk IPV (vaksin polio bagi anak penderita kelainan kekebalan tubuh) yang sulit diproduksi dengan bahan halal, kecuali dengan biaya mahal.

Fatwa yang dibahas dalam disertasi ini sebanyak 37 fatwa dengan rincian : fatwa bidang faham keagamaan sebanyak enam fatwa (16,2 %); bidang ibadah tiga fatwa (8,1 %); bidang sosial kemasyarakatan 26 fatwa (70,3 %); dan fatwa bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebanyak 2 fatwa (5,4 %). Dari sejumlah fatwa tersebut, ditemukan menggunakan konsep tahqīq al-manā¯ sebanyak 28 fatwa (65,7 %) dengan rincian: menggunakan tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ sebanyak 21 fatwa (56,8 %) dan tahqīq al-manā¯ al-'āmm sebanyak tujuh fatwa (18,9 %). Sementara penggunaan konsep al-nadhar ila ma`ālāt al-af'āl ditemukan dalam sembilan fatwa (24,3%) dengan rincian: penggunaan konsep sadd ©arī'ah ditemukan pada empat fatwa (10,8 %); penggunaan al-hiyal sebanyak tiga fatwa (8,1 %); dan murā'āt al-khilāf sebanyak dua fatwa (5,4 %).

Berdasarkan simpulan ini, dapat diprediksi bahwa pada masa yang akan datangpun, fatwa MUI akan memiliki pola kecenderungan penggunaan metode sebagaimana tergambar di atas, yakni lebih banyak menggunakan metode tahqīq al-manā¯, baru kemudian al-nadhar ila ma`ālāt al-af'āl.

B. Rekomendasi

1. Masih banyak hal yang memungkinkan untuk diteliti dari MUI sebagai lembaga fatwa. Salah satunya adalah berkaitan dengan metode ijtihad jama'i-nya sebagai sebuah lembaga fatwa dalam dunia modern. Beberapa model lembaga fatwa tingkat internasional memiliki konsep ijtihad jama'i tersendiri, demikian juga MUI, bisa saja memiliki konsep tersendiri dalam hal ini.

2. Berkaitan dengan materi fiqh mazhab yang digunakan, masih perlu diteliti dalam hal dominasi fiqh syafi'i dalam fatwa MUI. Sebab, sebagai lembaga fatwa modern, MUI dimungkinkan untuk memiliki corak fiqh tersendiri dengan memodifikasi pendapat yang dikemukakan oleh mazhab-mazhab dan merumuskan yang dianggap paling tepat untuk umat Islam Indonesia.

1 komentar: