BAB II
KONSEP IJTIHAD TA°BĪQĪ AL-SYĀ°IBĪ
A. Pengertian Ijtihad Ta¯bīqī
Kata ijtihād ta¯bīqī berasal dari dua kata berbahasa Arab, yakni kata “ijtihād” dan kata “ta¯bīqī”. Secara etimologis, kata ijtihad merupakan bentuk masdar dari kata اجتهد. Akar dari kata ini adalah الجهد yang berarti الوسع و الطاقة[1] (kekuatan, kemampuan, kesanggupan)[2]. Kata ijtihad berarti بذل ما في وسعه [3] (pengerahan seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan).
Secara terminologis, para ulama ahli usul fiqh mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H) mendefinisikan ijtihad sebagai استفراغ الوسع وبذل المجهود في طلب الحكم الشرعي [4] (mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H) mendefinisikan ijtihad sebagai استفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه [5] (mengerahkan seluruh kemampuan dalam menemukan suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi kemampuan untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H) mendefinisikan ijtihad sebagai بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة [6] (pengerahan seorang mujtahid akan seluruh kemampuannya untuk menemukan pengetahuan tentang hukum syara’).
Beberapa definisi di atas, masing-masing terdapat di dalamnya kelemahan yang sangat bisa dikritisi. Definisi pertama sangat membuka peluang untuk dilakukannya ijtihad oleh siapapun, meskipun ia bukan seorang ahli fiqh. Definisi kedua tampak sempurna, tetapi terdapat pengulangan yang kurang perlu. Pengulangan itu terdapat pada kalimat على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه . Kalimat ini sesungguhnya tidak perlu dimunculkan, karena maknanya sudah terangkum dalam kalimat استفراغ الوسع. Dan sebuah definisi seharusnya sesuatu yang sempurna lengkap dan tidak ada kata yang kurang bermanfaat. Definisi ketiga, kata ilmu digunakan untuk menggambarkan hasil dari sebuah ijtihad. Penggunaan term ini tampaknya kurang tepat, karena sesungguhnya sebagian besar hasil ijtihad adalah §ann (dugaan), bukan suatu kebenaran yang pasti.
Sebagian ulama menyamakan kata ijtihad dengan al-Qiyās, di antaranya adalah al-Syafi’ī (wafat 204 H)[7] dan al-Syanqīti (wafat 1393 H)[8]. Pendapat ini tidak seluruhnya benar, sebab ijtihad memiliki makna lebih luas dari al-Qiyās. Ijtihad mengandung semua cara berijtihad mulai dari penelusuran makna yang bisa dipahami dari pernik-pernik sebuah teks, al-qiyās (analogi), sampai pada hal-hal yang bahkan tidak diungkap oleh teks secara eksplisit, yang dipahami oleh seorang mujtahid untuk mencari kemaslahatan.
Definisi yang dianggap paling tepat adalah apa yang dikemukakan oleh al-Bai«āwī (wafat 685 H),استفراغ الجهد في درك الأحكام الشرعية [9] (mengerahkan seluruh kemampuan dalam upaya menggali hukum syara’). Tampaknya, definisi yang diungkap oleh ulama usul fiqh masa lalu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis lebih sepakat dengan definisi al-Bai«āwī karena definisi ini diungkap dengan pernyataan yang simpel dan mencakup semuanya. Pernyataan yang diungkap al-Bai«āwī “درك الأحكام” memiliki pemahaman yang mencakup apakah hukum itu didapat sebagai sesuatu yang qa¯’i atau §anni, naqli atau ‘aqli. Dengan kata lain, Ijtihad adalah suatu aktivitas menyimpulkan hukum syara’ dari dalil masing-masing dalam bidang syari’ah yang dilakukan oleh seorang mujtahid.
Akan tetapi, definisi yang diungkap oleh para ulama modern tampak lebih mengena dengan situasi saat ini. Di antara definisi itu disampaikan oleh Qutb Mustafā Sānu. Menurutnya, ijtihad adalah sebuah kegiatan ilmiah yang memiliki manhaj (metode) khusus yang dilakukan oleh sekelompok ulama yang memiliki kualifikasi ijtihad pada suatu masa untuk sampai pada keadaan terbaik sesuai kehendak Allah swt dalam sebuah masyarakat.[10] Definisi ini dianggap lebih bijak karena ijtihad pada masa ini memang akan cukup sulit bila dilakukan secara individual. Di samping karena begitu banyak dan kompleksnya permasalahan yang ada pada zaman modern ini, juga kapabilitas seseorang untuk mencapai tingkat mujtahid dengan berbagai kualifikasi dan persyaratannya sangat sulit terjadi. Sementara ijtihad untuk mengantisipasi dan memberi solusi atas berbagai permasalahan baru yang muncul harus ada yang melakukannya. Maka, sangat bijak bila ijtihad itu dilakukan oleh sebuah tim khusus yang memiliki kapasitas ilmiah pada bidang masing-masing yang saling melengkapi.
Kata “ta¯bīqī” berasal dari asal kata طبّق – يطبق – تطبيق [11] yang secara etimologis: إخضاع المسائل والقضايا لقاعدة علمية أو قانونية أو نحوها [12] (menundukkan permasalahan kepada suatu kaidah ilmiah, hukum, atau sejenisnya). Ahmad Warson Munawwir menerjemahkan kata di atas dengan kata “penyesuaian, pencocokan, pemraktekan”[13]. Dari beberapa pemaknaan bahasa di atas, tampaknya kata ini dapat berarti penyocokan sesuatu terhadap kaidah tertentu, di samping dapat juga berarti implementasi sesuatu dalam praktek.
Istilah ijtihād ta¯bīqī, di antaranya diungkap oleh Muhammad Abū Zahrah dalam bukunya U¡ūl al-Fiqh ketika mendefinisikan ijtihad. Bagi beliau, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan, baik untuk menyimpulkan (istinbā¯) hukum, maupun ta¯bīq-nya[14]. Dalam hal ini, Abū Zahrah membagi ijtihad dalam dua hal penting, yakni penyimpulan hukum dan ta¯bīq hukum. Lebih lanjut, Abu Zahrah menjelaskan bahwa ijtihad dalam bentuk istinbat hukum dianggap telah sempurna dengan upaya maksimal para fuqaha dalam memformulasikan hukum furū’ aplikatif dari dalil-dalilnya. Akan tetapi, dalam bentuknya yang kedua, setiap masa harus ada yang melakukannya. Yang melakukannya adalah para ulama takhrīj dengan menyesuaikan ‘illah yang telah disimpulkan ke dalam kasus yang muncul kemudian.[15] Hal senada juga disampaikan oleh Abdullah Darraz ketika melakukan tahqīq pada kitab al-Muwāfaqāt karya al-Syā¯ibi (wafat 790 H). Dalam penjelasannya, Beliau juga menyatakan setiap masa tidak boleh kosong dari ulama yang melakukan ijtihād ta¯bīqī ini.[16]
Dari beberapa ungkapan dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan sebuah definisi bahwa ijtihād ta¯bīqī yang dimaksud adalah upaya maksimal seorang faqih dalam mengimplementasikan hukum hasil istinbā¯ ke dalam realitas kehidupan. Istilah ini tentunya dibedakan dengan istilah ta¯bīq al-syarī’ah atau ta¯bīq al-ahkām. Sebenarnya, istilah ini juga dapat diartikan sebagai penerapan hukum yang telah disimpulkan ke dalam realitas kehidupan. Hanya saja, kedua istilah terakhir ini cenderung dimaknai sebagai penerapan hukum atau penegakan hukum yang lebih berkonotasi pada positivisasi hukum melalui pembentukan undang-undang dan atau sejenisnya yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Fathī al-Durayni, dalam “muqaddimah” bukunya al-Manāhij al-U¡ūliyyah bi al-Ra`y fī al-Tasyrī’ al-Islāmi, menyebutkan bahwa ijtihad dalam bentuk istinbā¯ hukum tidak lebih utama dari ijtihad dalam upaya ta¯bīq (implementasi hukum).[17] Pernyataan ini memperkuat apa yang dikemukakan sebelumnya bahwa ijtihad, baik dalam istinbā¯ hukum maupun dalam ta¯bīq-nya, memiliki kedudukan yang sama demi mencapai maqā¡id (cita[18]/tujuan) hukum.
B. Perbedaan Ijtihād Ta¯bīqī dan Ijtihād Istinbā¯ī
Telah dibahas sebelumnya bahwa ijtihād ta¯bīqī sama pentingnya dengan ijtihād istinbā¯ī. Meskipun demikian, tidak banyak referensi yang dapat ditemui membahas tentang ijtihād ta¯bīqī ini. Al-Syā¯ibi, umpamanya, ketika membahas tentang macam-macam ijtihad, secara tegas menyebut bahwa ijtihad ada dua macam, ijtihad yang tidak mungkin terputus sampai akhir dunia dan ijtihad yang bisa terputus sebelum kiamat.
Secara panjang lebar, al-Syā¯ibi memaparkan bahwa ijtihad yang tidak boleh terputus sampai akhir zaman adalah ijtihad yang terkait dengan tahqīq al-manā¯ yakni mencocokkan 'illah yang disepakati dengan apa yang ada dalam al-far'u[19]. Hal ini dilakukan karena hukum yang sudah ditetapkan syara' belum tentu dapat diberlakukan kepada semua individu. Akan tetapi, masih diperlukan perhatian cermat untuk menetapkan tempatnya sehingga hukum itu diberlakukan pada individu yang tepat.
Berbeda halnya dengan ijtihād istinbā¯ī yang dapat saja terhenti dan suatu zaman kosong dari mujtahid tingkat ini. Dalam kaitan ini, 'Abdullāh Darrāz ketika menjelaskan pernyataan al-Syā¯ibi dalam al-Muwāfaqāt-nya menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan pada segala sesuatu yang dalilnya adalah zanni, seperti penunjukan lafaz terhadap suatu hukum, seperti mencari sesuatu yang mengkhususkan lafaz umum, menetapkan makna dari sebuah lafaz musytarak, dan berbagai hal lain yang penunjukannya masih belum jelas.[20]
Mengenai perbedaan antara dua macam ijtihad ini, Abū Zahrah menjelaskan bahwa kelompok mujtahid yang harus selalu ada pada setiap zaman adalah para ulama takhrīj yang tugasnya adalah mencocokkan 'illah yang sudah disimpulkan oleh para ulama terdahulu pada tiap-tiap perbuatan secara parsial.[21]
Lebih jauh, al-Syā¯ibi menjelaskan bahwa syariah tidak menjelaskan setiap sesuatu untuk setiap individu secara spesifik, tetapi hanya bersifat umum yang mencakup segala sesuatu dalam jenisnya tanpa ada batas bilangan. Sehingga, segala sesuatu yang sudah ditentukan sekalipun mungkin saja ada kekhususan tertentu bila ditentukan pada suatu individu tertentu. Inilah yang dilakukan dalam tahqīq al-manā¯ yang menjadi tugas setiap peneliti, hakim, mufti, atau bahkan setiap individu mukallaf sendiri[22].
Perbedaan lain antara kedua bentuk ijtihad ini adalah bahwa dalam ijtihād istinbā¯ī, sudah barang tentu kita hanya mengikuti saja apa yang telah disimpulkan, karena sebagian besar ulama menyatakan bahwa ijtihad dalam bentuk ini sudah dianggap lengkap dengan upaya para mujtahid[23]. Berbeda halnya dengan ijtihād ta¯bīqī. Pada dasarnya, ijtihad dalam bentuk ini akan selalu berbeda pada setiap masa dan setiap tempat disebabkan adanya perbedaan situasi dan kondisi, baik situasi geografis maupun kondisi sosial di masing-masing tempat. Oleh karenanya, setiap tempat dan setiap zaman harus ada kelompok ulama yang melakukan ijtihad dalam upaya mencocokkan hukum yang sudah disimpulkan oleh ulama mujtahid ke dalam setiap individu sesuai dengan kondisi dan situasinya. Meskipun demikian, al-Syā¯ibi masih memungkinkan adanya taqlid dalam ijtihad model ini.[24]
Berkaitan dengan ulama yang dapat melakukan ijtihad, dalam ijtihād ta¯bīqī tampaknya tidak seketat persyaratan dalam ijtihād istinbā¯ī. Ketika menjelaskan tentang tingkatan mujtahid, Abū Zahrah menempatkan para mujtahid ini pada urutan ketiga setelah mujtahid fi al-Syar'i dan mujtahid muntasib[25]. Kelompok pertama memiliki kebolehan untuk berijtihad dalam berbagai masalah secara sempurna, mulai dari permasalahan u¡ūl maupun furū'. Kelompok kedua hanya boleh berijtihad dalam masalah furū' saja, tidak dalam masalah u¡ūl. Kelompok ketiga dibolehkan berijtihad pada hal yang lebih spesifik lagi, yakni tahqīq al-manā¯.
Memperhatikan hal di atas, dapat dimengerti bahwa kebolehan berijtihad bagi para pelaku ijtihād ta¯bīqī tidak seluas apa yang dibolehkan bagi mujtahid mustaqill. Tentunya, persyaratan yang harus dimilikipun lebih ringan dari pada persyaratan mujtahid pada dua tingkat di atasnya.
Dalam hal ijtihād ta¯bīqī yang dilakukan oleh individu mukallaf dalam kesehariannya untuk dirinya sendiri, tentunya tidak serumit permasalahan tingkatan mujtahid dan persyaratannya sebagaimana dipaparkan di atas. Hal ini dapat dicermati dari apa yang dipaparkan al-Syātibī dalam salah satu penjelasannya tentang tahqīq al-manā¯. Salat, misalnya, ucapan dan perbuatannya sudah dicontohkan dan diajarkan oleh syariah secara jelas dan sudah dapat dipraktekkan. Akan tetapi, bila ada tambahan perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja, baik karena lupa atau lainnya, maka hal ini perlu dilakukan ijtihad oleh individu yang melakukannya untuk menetapkan apakah tambahan perbuatan itu kemungkinan diampuni atau tidak, sehingga ia dapat menetapkan apakah harus mengulangi salatnya atau melanjutkannya dan menganggap bahwa kelebihannya itu diampuni.[26]
C. Elemen Pokok Ijtihād Ta¯bīqī Menurut al-Syā¯ibī
Di antara para ulama yang mengemukakan konsep ijtihād ta¯bīqī secara jelas dan rinci adalah al-Syā¯ibī. Menurutnya, konsep dasar ijtihād ta¯bīqī ada dua bentuk, yakni ijtihad dalam bentuk tahqīq al-manā¯[27] dan ijtihad yang menggunakan konsep ma`ālāt al-af’āl sebagai pertimbangan.
1. Tahqīq al-Manā¯
Menurut al-Syā¯ibī, tahqīq al-manā¯ adalah upaya implementasi hukum pada individu yang tepat[28]. Dengan kata lain, ia merupakan upaya untuk mencocokkan apa yang ada dalam hukum umum ke dalam individu yang terkait dengan hukum itu.
Ijtihad dalam bentuk ini menjadi sesuatu yang penting. Sebab, suatu hukum yang telah dihasilkan melalui proses penyimpulan hukum, belum tentu dapat diimplementasikan sampai ada upaya lain yang maksimal untuk memastikan adanya tambatan hukum, yang dalam hal ini disebut dengan manā¯. Kata “adil” dalam firman Allah swt QS. Al-¯alāq (65): 2,.... وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ .... (... dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu ...) misalnya, telah memiliki makna yang sudah cukup jelas disimpulkan oleh para ulama. Akan tetapi, pengertian itu masih perlu upaya lebih lanjut untuk menentukan kriteria apa saja yang harus dipenuhi agar sesuai dengan makna adil dimaksud. Sebab, kadar keadilan setiap orang itu berbeda; ada yang tergolong dalam peringkat atas, rendah, menengah, atau mungkin ada tingkatan lain. Hal inilah yang memerlukan kemampuan berijtihad untuk menentukan siapa yang memenuhi kriteria adil untuk menjadi saksi.[29]
Hal lain yang bisa pula memperjelas masalah adalah tentang kriteria faqir ketika ada orang mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang faqir. Dalam hal ini harus ada yang melakukan ijtihād ta¯bīqī untuk menentukan siapa saja yang masuk dalam kategori faqir ini. Demikian juga dalam hal ketentuan kewajiban memberi nafkah bagi isteri dan kerabat, diperlukan adanya ijtihād ta¯bīqī untuk menentukan wajib tidaknya dengan memperhatikan keadaan orang yang memberi nafkah dan pemberi nafkah. Begitu pula dengan kriteria ibn sabīl bagi penerima zakat. Hal-hal di atas memang belum diijtihadi, meskipun secara umum sudah ada simpulan hukum tentang itu. Al-Syā¯ibi berpendapat bahwa dalam hal-hal seperti di atas tidak cukup hanya sekedar taqlīd, karena al-manā¯ yang terdapat dalam beberapa contoh tersebut belum diijtihadi. Lagi pula, masing-masing kasus berdiri sendiri sebagai sesuatu yang memang memerlukan adanya ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk tahqīq al-manā¯. Bila sebelumnya sudah ada upaya ijtihād ta¯bīqī dalam kasus sejenis, maka dalam hal ini bisa saja dilakukan taqlīd.[30] Meskipun demikian, tetap saja ijtihād ta¯bīqī harus ada dan masih diperlukan, yakni dalam upaya menyatakan bahwa kasus yang terjadi belakangan sama dengan kasus sebelumnya yang sudah ada penetapan al-manā¯-nya.
Ijtihād ta¯bīqī dalam pengertian tahqīq al-manā¯[31] sebagaimana dijelaskan di atas merupakan upaya maksimal seorang mujtahid untuk menentukan kriteria umum dari sebuah simpulan hukum tertentu. Menentukan kriteria umum “adil”, umpamanya, adalah tugas seorang mujtahid yang kemudian dapat diberlakukan kepada setiap mukallaf yang memiliki standar sesuai dengan kriteria tersebut, sehingga ia dapat diambil kesaksiannya atau untuk kepentingan lain. Hal semacam ini, dalam pandangan al-Syātibī, dikategorikan sebagai tahqīq al-manā¯ al-‘āmm.[32] Pada bagian lain, al-Syātibī juga menyebutkan model kedua, yakni tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡. Model kedua ini merupakan hal yang lebih mendalam dari yang pertama, yakni mencermati segala hal yang mungkin paling sesuai bagi diri setiap mukallaf, orang per orang, pada setiap waktu dan situasi. Sebab, tidak setiap mukallaf dapat menerima sebuah ketentuan tertentu dengan kadar dan ukuran yang sama.[33] Pada bagian terakhir ini semakin tampak bahwa ijtihād ta¯bīqī adalah permasalahan yang cukup pelik sehingga tidak setiap orang memiliki kecakapan untuk melakukannya. Hanya orang-orang yang diberi anugerah Allah berupa hikmah[34] sajalah yang dapat melakukannya.
Di antara contoh dalam sunnah Rasul adalah jawaban berbeda dari Rasulullah saw terhadap pertanyaan yang sama dalam situasi yang berbeda. Beberapa riwayat berikut memberikan gambaran tentang tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ yang dilakukan Rasulullah saw.
a. Jawaban berbeda dari pertanyaan yang sama: Perbuatan apa yang terbaik ? beberapa riwayat memberikan gambaran bahwa Rasulullah seringkali memberikan jawaban berbeda tentang sebuah pertanyaan yang sama dalam situasi yang berbeda. Pertanyaan tentang "perbuatan terbaik", dijawab oleh Rasulullah sesuai dengan orang yang bertanya. Pada suatu kesempatan Rasulullah saw menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan bahwa perbuatan terbaik adalah iman kepada Allah dan rasul-Nya, Jihad fi sabilillah, dan haji mabrur.[35] Pada kesempatan lain, rasulullah menjawab pertanyaan yang sama dengan menyatakan bahwa perbuatan terbaik adalah salat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah.[36] Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih mulia selain berdoa.[37]
Beberapa riwayat di atas, menjelaskan jawaban berbeda dari pertanyaan atau tema yang sama. Pada hadis pertama, perbuatan terbaik adalah iman, jihad dan haji mabrur. Pada hadis kedua, salat pada waktunya, berbakti kepada orang tua dan jihad. Sedangkan pada hadis ketiga, perbuatan paling mulia adalah doa. Hal ini bukan berarti Rasulullah saw tidak punya pendirian, tetapi karena Beliau tahu persis siapa yang dihadapi dan mengajaknya bicara. Ini membuktikan bahwa Beliau sudah mencontohkan tahqīq al-manā¯.
b. Perintahkan kepadaku sesuatu. Menyikapi permintaan semacam ini Rasulullah saw memberikan reaksi yang berbeda, tergantung orang yang memintanya. Ketika Abū Umāmah mengemukakan pernyataan ini, Rasulullah menyuruhnya untuk berpuasa.[38] Dalam kesempatan lain, ketika ada orang yang menyatakan hal yang sama, Beliau menyuruhnya untuk tidak marah.[39] Pada kesempatan yang berbeda, Rasul menjawabnya dengan perintah untuk menyatakan keimanan lalu beristiqamah.[40]
Ketika Rasulullah saw dihadapkan pada permintaan agar memerintahkan sesuatu, sangat tampak jawaban beliau berbeda pada setiap orang yang memintanya. Berpuasa, larangan marah, beriman dan istiqamah, adalah jawaban yang berbeda sesuai dengan orang yang meminta Beliau untuk melakukan sesuatu. Ini juga tentunya didasarkan pada kondisi individu yang dihadapinya.
c. Jihad terbaik. Hal ini menjadi pertanyaan beberapa sahabat Rasul dalam kesempatan yang berbeda. Di antara jawaban rasul tentang jihad terbaik adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.[41] Rasulullah juga pernah menjawab pertanyaan yang sama darah tertumpah (dalam perang) dan kudanya mati.[42]
Berkaitan dengan jihad pun Rasulullah saw memberikan jawaban yang berbeda disesuaikan dengan orang yang mempertanyakannya. Dalam hal ini, tampaknya jihad memiliki dua makna, mengkritisi pemerintah zalim dan perang fi sabillillah secara fisik.
d. Manusia terbaik. Ketika Rasul ditanya tentang manusia terbaik, maka jawaban pun bervariasi. Salah satunya, Rasulullah menjawab bahwa orang yang banyak berzikir lebih baik bahkan dari orang yang berperang.[43] Dalam kesempatan lain, Beliau menjawab dengan menyatakan bahwa muslim terbaik adalah orang yang tidak menyakiti orang lain dengan perbuatan lidah dan tangannya.[44] Rasulullah juga pernah menjawabnya dengan menyatakan bahwa jihad fi sabilillah dengan jiwa dan hartanya adalah mukmin yang terbaik.[45] Terkadang, dijawab dengan pernyataan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang memiliki hati bersih dan jujur.[46] Pada kesempatan lain, Rasul menyatakan bahwa yang terbaik adalah manusia yang umurnya panjang dan perbuatannya baik.[47] Terkadang, beliau menjawab dengan menyatakan bahwa orang yang paling bertaqwalah yang terbaik.[48] Kali lain, beliau menyatakan bahwa yang terbaik adalah orang yang belajar dan mengajarkan al-Quran.[49]
Berkaitan dengan manusia terbaik, tampak sekali bahwa manusia terbaik yang dikehendaki memiliki beberapa standar. Ini bisa berarti bahwa bisa saja orang menjadi terbaik dalam berbagai hal yang digelutinya atau bahkan dengan berbagai perilaku yang diungkap dalam hadis-hadis di atas. Zikir, jihad, suci hati, takwa, mempelajari al-Quran dan sebagainya, sesungguhnya adalah upaya seseorang untuk menjadi dekat dengan Allah swt yang pada akhirnya menjadikannya orang terbaik yang nantinya menjadi sosok manusia yang dapat membawa misi rahmatan lil ‘ālamīn.
e. Beri aku wasiat. Menyikapi permintaan ini, Rasul saw juga memberikan sika yang berbeda sesuai dengan siapa yang dihadapinya. Salah satunya, beliau menjawab permintaan ini dengan melarang marah.[50] Terkadang menjawabnya dengan menyuruhnya bertaqwa kepada Allah swt.[51] Adakalanya beliau menjawabnya dengan perintah taqwa, jihad, dan zikir.[52] Pernah juga Beliau menjawabnya dengan perintah untuk berhati-hati dengan apa yang merusak telinga.[53] Terkadang, menjawabnya dengan menyuruh bertaqwa dan memilih majlis yang baik dalam bergaul.[54] Suatu kali, beliau menjawabnya dengan melarang untuk menjadi pelaknat.[55] Dan pernah juga mewasiatkan agar bertaqwa, mengikuti perbuatan buruk dengan yang baik, dan bergaul dengan akhlaq terpuji.[56]
Ketika Rasulullah saw dimintai wasiat oleh seseorang, maka beliaupun menjawab sesuai dengan kondisi orang yang meminta wasiat itu. Hal itu tergambar jelas dari jawaban-jawaban Rasul dalam beberapa riwayat di atas. Jangan marah, takwa, zikir, takbir, jihad, jangan melaknat, bergaul dengan akhlak yang baik, dan berbagai hal lain diungkap sebagai wasiat Rasul kepada orang yang memintanya.
Masih banyak lagi riwayat seperti di atas yang menunjukkan bahwa penyebutan suatu perbuatan atau sikap tertentu sebagai sesuatu yang dianggap utama bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi sangat tergantung dengan situasi dan kondisi, baik individu terkait maupun waktu tertentu. Jawaban atau komentar variatif Rasulullah saw sesuai dengan kondisi obyektif masing-masing orang yang dihadapi, mengisyaratkan kemampuan Beliau dalam mencermati solusi terbaik bagi setiap individu yang tentunya berbeda situasi dan kondisinya.[57]
Para sahabat juga memiliki pemahaman yang sangat baik dalam hal ijtihād ta¯bīqī dengan metode tahqīq al-manā¯ semacam ini. Para sahabat sangat mengerti dengan maqasid syari’ah, sehingga mereka tidak segan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasul. Banyak peninggalan berupa riwayat yang sampai kepada kita melalui para ulama terdahulu. Berikut adalah contoh-contoh ijtihād ta¯bīqī para sahabat dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯:
a. Ijtihad 'Umar ibn al-Khattāb
Beberapa kasus yang menjadi perhatian para intelektual muslim dan menganggapnya berani menyalahi teks adalah kasus-kasus muallaf, tidak memotong tangan pencuri, talak tiga dengan satu lafadh, tidak melakukan qisas terhadap massa atas pembunuhan seseorang, dan tidak membagikan ghanimah (rampasan perang).
Dalam hal muallaf, 'Umar menolak untuk memberikan bagian mereka. Hal ini dianggap bertentangan dengan QS. Al-Taubah [9]: 60. Ayat ini menjelaskan tentang delapan kelompok manusia yang berhak mendapat bagian zakat, salah satunya adalah mu`allaf, yakni orang yang diharapkan hatinya melunak. Bagi 'Umar, sifat “melunakkan hati” bukan merupakan hukum yang tetap, tetapi merupakan “al-manā¯” yang bila ia ada maka hukum berlaku, tetapi bila tidak ada maka hukum tidak berlaku. Oleh karenanya, ketika umat Islam tidak lagi memerlukan kelunakan hati mereka, maka bagian zakatpun tidak diberikan kepada mereka.[58]
Kasus lain, 'Umar tidak memotong tangan pencuri pada musim paceklik. Hal ini dianggap bertentangan dengan QS. Al-Maidah [5]: 38. Padahal 'Umar dengan kecerdasannya melakukan ijtihad dengan metode tahqīq al-manā¯ dengan melakukan konfirmasi al-manā¯ terhadap situasi yang terjadi[59]. Dalam hal ini, beberapa riwayat menyebutkan pengecualian terhadap pelaksanaan hadd, di antaranya adalah pernyataan Rasul untuk meninggalkan pelaksanaan hadd sebisa mungkin.[60]
Situasi paceklik yang terjadi pada sebagian besar masyarakat dianggap oleh 'Umar sebagai salah satu hal yang menyebabkan pelaksanaan hudd ditunda atau bahkan tidak dilakukan. Sehingga, dalam hal ini 'Umar tidak meninggalkan teks, tetapi justru melaksanakannya secara proporsional.
Demikian juga dengan tiga kasus lainnya, 'Umar telah meninggalkan hal yang sangat berharga untuk generasi berikutnya berupa contoh-contoh kasus dan penyelesaiannya dengan menggunakan tahqīq al-manā¯ sebagai metode ijtihād ta¯bīqī yang terkesan seolah meninggalkan teks, padahal sesungguhnya hal itu merupakan upaya implementasi hukum dengan kecerdasan ijtihadnya. Salah satu peninggalan 'Umar ibn al-Khattāb yang menjadi pedoman, bahkan sampai pada masa modern sekarang ini, adalah beberapa prinsip dalam peradilan.[61]
b. Ijtihad Mu’ā© ibn Jabal
Satu hal yang layak dijadikan contoh tahqīq al-manā¯ yang dilakukan Mu’ā© ibn Jabal adalah konversi zakat pertanian menjadi pakaian yang mudah di dapat di Yaman tetapi sangat berharga bagi penduduk Madinah yang sangat memerlukan pakaian.[62]
Konversi yang difatwakan oleh sahabat Mu’ā© ibn Jabal sangat kental dengan nuansa tahqīq al-manā¯ dengan menggantikan zakat pertanian dengan harga yang kemudian dikonversi lagi dalam bentuk pakaian.
Bukan hanya mereka berdua yang telah melakukan ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk tahqīq al-manā¯. Kasus-kasus seperti pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat, memerangi kelompok yang menolak membayar zakat, Abu Bakar mengangkat 'Umar sebagai khalifah penggantinya, pengumpulan sampai penulisan al-Quran, dan berbagai kasus lain yang telah dilakukan para sahabat merupakan contoh kongkrit ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk ini.
Dalam hal hukum, para ulama juga menempuh ijtihād ta¯bīqī dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ ini. Salah satu contoh untuk hal ini adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Maidah [5]: 33[63]. Ayat ini tegas menjelaskan perihal hukuman yang harus dijalankan terhadap para pelaku hirābah (pembegalan atau perampokan). Pemahaman langsung ayat ini, sebagaimana dipegangi oleh para ulama, menunjukkan pilihan hukuman yang harus dijalankan antara membunuh dan menyalib atau memotong tangan dan kaki, atau membuang para pelakunya ke pengasingan[64]. Akan tetapi, sebagian ulama memahami adanya isyarat dalam ayat tersebut yang menunjukkan adanya pembagian hukum yang harus disesuaikan dengan tingkat pidana pembegalan yang terjadi.[65] Tentunya hal ini memerlukan adanya ijtihād ta¯bīqī dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ untuk menentukan hukuman yang paling tepat untuk pelaku pembegalan tersebut.[66] Bila si pelaku membunuh dan mengambil harta korbannya, maka ia harus dibunuh dan disalib; bila ia hanya mengambil harta tanpa pembunuhan, maka hukumannya adalah potong tangan dan kaki secara menyilang; bila ia menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat akibat ulahnya, meskipun tanpa pembunuhan dan perampasan harta, maka ia harus diasingkan.[67]
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ijtihād ta¯bīqī dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯ harus dilakukan setiap masa dan di setiap tempat sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan situasi yang ada pada lingkungan dan tempat tertentu. Secara umum, ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk ini dilakukan untuk mendapatkan simpulan tentang standar dan ukuran sesuatu, yang kemudian dicocokkan secara khusus pada individu dengan penyesuaian tertentu.
2. Konsep ma`ālāt al-af’āl
Suatu perbuatan yang dibenarkan dalam hukum Islam untuk dilakukan, bisa saja berujung pada kebalikan akibat yang hendak dituju, baik karena alasan maslahat yang mungkin dicapai, ataupun karena alasan mafsadah yang mungkin ditinggalkan. Dengan kata lain, maslahat yang pada mulanya ingin dicapai melalui perbuatan itu, justeru berakibat mafsadah yang bisa saja setara kadarnya atau bahkan lebih. Hal ini tentunya bisa saja menjadi penghalang bagi kondisi perbuatan itu yang pada mulanya boleh dilakukan.
Demikian juga sebaliknya, bisa saja sebuah perbuatan yang pada mulanya tidak diperkenankan oleh hukum untuk dilakukan berbalik menjadi sesuatu yang diperbolehkan, disebabkan alasan mafsadah yang mungkin timbul atau maslahat yang ingin dicapai, berakhir pada situasi sebaliknya. Dengan kata lain, mafsadah yang diperkirakan akan muncul sebagai akibat perbuatan itu, justeru berbalik membawa maslahat yang kadarnya setara atau mungkin lebih. Hal ini, tentunya, mempengaruhi boleh tidaknya suatu perbuatan.
Upaya untuk mencermati hasil akhir dari sebuah perbuatan yang mungkin timbul, baik kemungkinan maslahat maupun kemungkinan mafsadah menjadi suatu metode tersendiri untuk mendapatkan makna representatif dari maqā¡id al-syarī’ah. Dalam teori yang diungkap oleh al-Syā¯ibi, hal semacam ini disebut dengan al-na§ar fi ma`ālāt al-af’āl[68] (Mencermati akibat/hasil akhir sebuah perbuatan). Hasil akhir ini bisa berupa maslahat dan bisa juga berupa mafsadah. Dalam hal ini, perbuatan seorang mukallaf merupakan sarana yang mengantar menuju maslahat, sehingga bisa disebut sebagai sabab. Sementara maslahat adalah tujuan yang hendak dicapai melalui perbuatan itu, sehingga dapat diistilahkan dengan ma`ālāt al-asbāb yang memiliki pengertian sama dengan ma`ālāt al-af’āl.
Dalam hukum Islam, taklīf (pembebanan hukum) ditujukan untuk merealisasikan maslahat bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat[69]. Untuk maslahat di akhirat, maka tujuannya adalah agar mukallaf dapat menjadi ahli sorga, bukan ahli neraka. Sedangkan untuk maslahat di dunia, maka bila dicermati, setiap perbuatan sesungguhnya merupakan proses menuju maslahat. Maslahat atau ma`ālāt al-asbāb pada hakekatnya merupakan representasi dari maqā¡id al-syari’ah yang dikehendaki oleh al-Syāri’ (pembuat syariah) dari asbāb (perbuatan) mukallaf. Sementara mujtahid adalah orang yang memiliki kapasitas untuk menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf, sehingga salah satu hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah mencermati ma`ālāt al-asbāb atau dengan kata lain ma`ālāt al-af’āl.
Untuk melihat betapa pentingnya peran seorang mujtahid dalam menetapkan hukum atas sebuah perbuatan mukallaf dengan menggunakan pertimbangan ma`ālāt al-af’āl, salah satunya dengan mencermati QS. Al-An'ām [6]: 108[70]. Ayat ini menjelaskan bahwa memaki berhala sembahan kaum musyrik adalah tindakan menghina diri mereka, kaum musyrik itu, dan merendahkan perbuatan mereka, perbuatan syirik. Akan tetapi, perbuatan mencaci maki mereka akan berakibat pada tindakan balik mereka mencaci dan memaki Allah swt, sebagai sembahan kaum mukmin. Padahal, perbuatan mereka menghina Allah swt sekali saja tidak sebanding dengan cacian kepada sesembahan mereka meskipun ribuan kali. Artinya, balasan yang mereka lakukan berupa cacian terhadap Allah swt lebih besar dari cacian terhadap sembahan mereka. Oleh karena itu, perbuatan mencaci patung berhala dan sesembahan kaum musyrik dilarang agama. Sebab, sekalipun terkandung maslahat dalam perbuatan itu sehingga boleh dilakukan pada mulanya, tetapi dengan melihat pada ma`āl (dampak/akibat), maka larangan itu ada kemudian.[71]
Rasulullah saw pun banyak memberikan contoh penggunaan pertimbangan ma`āl dalam memberikan putusan hukum tertentu. Di antaranya adalah keputusan Rasulullah untuk menolak saran Umar ibn Khattab yang mengusulkan agar Abdullah ibn Ubay ibn Salul dibunuh saja, karena meskipun dia mengaku muslim, ternyata banyak merugikan kaum muslimin saat itu. Keputusan itu dilandaskan pada pertimbangan situasi yang sangat mungkin bukan menjadi lebih baik, tetapi malah lebih runyam, karena sangat dimungkinkan, tuduhan miring orang kafir terhadap apa yang dilakukan, bila pembunuhan ibn Salul tersebut dilakukan.[72]
Riwayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan Umar melakukan pembunuhan terhadap orang yang sudah pasti munafik dengan pertimbangan akibat dari pembunuhan itu. Jawaban beliau yang mengkhawatirkan pembicaraan orang-orang nantinya merupakan pemikiran cerdas tentang ma`āl (akibat/hasil akhir) dari perbuatan itu.
Contoh lain berkaitan dengan pertimbangan ma`āl yang telah dilakukan Rasulullah saw adalah kasus orang yang buang air seni di dalam masjid. Saat itu, Rasul membiarkan saja, bahkan melarang sahabat lain yang hendak menghentikan orang tersebut dari perbuatannya, buang air kecil di dalam masjid. Setelah selesai, barulah Rasul memberitahukan bahwa hal itu tidak layak dilakukan di dalam masjid, tempat umat Islam bersujud.[73]
Begitu bijak tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Tindakan bijak beliau ini tidak lepas dari pertimbangan ma`āl. Sebab, bila saat itu Beliau menghentikan orang itu dari perbuatannya, mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak sehat pada diri yang bersangkutan, terutama pada kemungkinan menimbulkan penyakit pada saluran kencing, di samping kemungkinan akan tertempelnya najis pada pakaiannya dan tentunya juga di masjid itu.
Masih banyak contoh lain berkaitan dengan pelarangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap hal-hal yang boleh diperbuat tetapi dilarang untuk orang tertentu karena sebab tertentu. Perbuatan qiyām al-lail, puasa, dan tidak menikah, bukan merupakan perihal yang diharamkan, tetapi kemudian Rasulullah saw mengharamkannya saat nampak situasi yang menuju sesuatu yang merusak.[74]
Beberapa contoh di atas mengisyaratkan bahwa suatu perbuatan boleh jadi pada mulanya boleh dilakukan, tetapi kemudian dilarang karena dikhawatirkan timbulnya dampak negatif di balik perbuatan itu. Beberapa hal menjadi sarana untuk sampai pada pertimbangan ma`al ini, di antaranya kaidah-kaidah tentang sadd al-©arī’ah, raf’ al-haraj, dan daf’ al-«arar.
Bagi al-Syā¯ibī, kaidah dasar pada konsep ma`ālāt al-af’āl mencakup beberapa hal inti, di antaranya : kaidah al-©arā`i’, kaidah al-hiyal, dan kaidah murā’āt al-khilāf.[75] Berikut adalah perincian dari kaidah-kaidah di atas:
a. kaidah al-©arā`i’
Secara bahasa, kata al-©arā`i’ (الذرائع) bentuk plural dari kata الذريعة yang berarti الوسيلة والسبب إلى الشئ[76] (jalan dan sebab menuju sesuatu). Secara terminologis, Badrān Abul ‘Ainain Badrān mendefinisikannya dengan : الموصل إلى الشيء الممنوع المشتمل على مفسدة (hal yang menyampaikan kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadah) seperti melihat aurat wanita lain dapat menyebabkan zina, maka pelarangan terhadap melihat aurat wanita merupakan sadd al-©arī’ah. Ia juga bisa didefinisikan dengan pernyataan ""الموصل إلى الشيء المشروع المشتمل على مصلحة (hal yang menyampaikan kepada sesuatu yang dibolehkan yang mengandung maslahat) seperti upaya untuk sampai ke Baitullah adalah merupakan ©arī'ah untuk sampai kepada sesuatu yang disyariatkan juga, yakni ibadah haji.[77]
Berbeda dengan Badrān, Sya’bān lebih dulu menjelaskan penggunaan kata sadd sebelumnya atau tidak. Penggunaan kata sadd dilakukan oleh fuqaha yang mendefinisikannya hanya pada sesuatu yang dilarang saja, tetapi bagi yang berpendapat bahwa ©arī’ah berlaku juga untuk sesuatu yang dibolehkan, maka mereka tidak menggunakan kata sadd. Oleh karena itu, ia mendefinisikannya dalam dua model. Pertama, jalan menuju sesuatu, baik yang dibolehkan maupun yang dilarang. Definisi ini dikemukakan oleh al-Qarāfī (wafat 684 H) dalam al-Furūq dan Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) dalam I’lām al-Muwaqqi’īn. Dalam kaitan ini, ©arī’ah memiliki empat kemungkinan, perintah yang menjadi sarana sampai ke perintah lain seperti upaya untuk menuju shalat Jum’at; atau perintah yang menjadi sarana untuk sesuatu yang dilarang, seperti jual beli terkadang sampai pada jual beli yang dilarang; larangan yang berakibat pada larangan yang lain, seperti perbuatan adu domba menyebabkan pada adanya pembunuhan; dan larangan berakibat pada sesuatu yang dibolehkan, seperti kesaksian palsu untuk mendapatkan suatu hak. Kedua, ia hanya merupakan jalan menuju sesuatu yang dihindari. Kelompok ini mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tampaknya membawa maslahat tetapi berakibat pada adanya mafsadah. Definisi semacam ini di antaranya diungkap oleh al-Syā¯ibi, Ibn Rusyd (wafat 520 H), al-Qur¯ūbī (wafat 671 H), Ibn Najjār dan lainnya.[78] Bagi kelompok kedua ini, ©arī’ah hanya berkaitan dengan sesuatu yang berakibat pada mafsadah, sehingga selalu dikaitkan dengan kata sadd.
Sya’bān juga menambahkan bahwa Ibn Taimiyah (wafat 728 H) mencoba memberikan pilihan ketiga dengan menggabungkan dua pendapat sebelumnya dengan menyatakan bahwa yang pertama mengungkap kata tersebut secara mutlak sehingga bisa mengarah pada sadd (menutup) dan fath (membuka).[79]
Tampaknya, Ibn Taimiyah hendak menyatakan bahwa dalam definisi pertama yang menyatakan zarī’ah secara mutlak, hendaknya dibawa pada sadd, bukan fath. Oleh karena itu, Sya’ban kemudian mencoba menggabungkan ketiganya dan menyatakan bahwa perbedaan yang muncul dari ketiga definisi sesungguhnya hanyalah perbedaan kata saja. Karena mereka sesungguhnya sependapat bahwa jalan menuju haram adalah haram dan jalan menuju wajib adalah wajib. Hal ini sejalan dengan kaidah ما لايتم الواجب إلا به فهو واجب (sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban tanpanya adalah wajib).[80]
Mencermati beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa zarī’ah adalah suatu jalan menuju sesuatu, baik itu maslahat maupun mafsadah. Bila yang dituju adalah sebuah jalan maslahat maka hal itu harus dibuka dan tidak boleh ditutup, tetapi bila jalan menuju mafsadah, maka harus ditutup dan tidak boleh diberi kesempatan untuk mencapai mafsadah itu.
Hasil penelitian ulama terdahulu menunjukkan bahwa segala hal yang dilarang selalu saja termasuk berbagai jalan menuju ke sana juga dilarang. Demikian juga dengan sebuah perintah, maka jalan menuju ke perbuatan yang diperintahkan itu juga diperintahkan. Zina adalah sebuah perbuatan yang diharamkan dan melihat aurat wanita lain dapat menjadikan orang berbuat zina, maka hal itu juga dilarang. Salat Jumat adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan. Meninggalkan jual beli sebagai bentuk upaya menuju salat Jumat juga menjadi wajib.
b. kaidah al-hiyal
Kaidah lain yang dapat digunakan dalam ijtihād ta¯bīqī adalah kaidah al-hiyal. Secara bahasa, al-hiyal merupakan bentuk jama’ dari dari kata الحيلة yang berarti الحِذْقُ وجَوْدَةُ النظر والقدرةُ على دِقَّة التصرُّف[81] (kecerdikan, kepandaian menganalisa, dan kemampuan merespons dengan tajam). الحيلة juga berarti الرُّوَيْغَة[82] (alasan yang dibuat-buat untuk melepaskan diri[83]). Ibrāhīm Unais menambahkan makna kata ini dengan وسيلة بارعة تحيل الشيء عن ظاهره ابتغاء الوصول إلى المقصود[84] (jalan cerdas yang mengalihkan sesuatu dari tampaknya untuk sampai ke tujuan). Di antara ulama, ada juga yang menggunakan istilah ihtiyāl[85] (mencari hilah).
Dalam terminologi usul fiqh, kata ini memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan maknanya secara etimologis. Ibnu Taymiyah memaknai kata ini dengan “suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke tujuan, yang baik ataupun yang buruk. Akan tetapi, seringkali kata ini diungkap untuk mengupayakan agar yang haram menjadi halal”[86]. Ibn al-Qayyim memahaminya sebagai “penipuan dengan menunjukkan sesuatu yang diperbolehkan untuk sampai kepada sesuatu yang diharamkan”[87]. Menurut al-Syā¯ibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian : mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan mengalihkannya ke hukum lain. Dalam hal ini, konsep al-ma`āl-nya adalah mencari celah untuk menyiasati syari’ah.[88]
Salah satu contoh al-hiyal adalah menghibahkan sebagian harta menjelang haul untuk menyiasati agar tidak terkena zakat karena tidak sampai nisab. Pada dasarnya, hibah hukumnya adalah boleh. Andaikata hibah itu dimaksudkan untuk menghindarkan hukum zakat dalam arti berniat untuk menyiasati hukum, maka hibah itu menjadi upaya menuju kerusakan dan menjadi sesuatu yang diharamkan.
Dalam penjelasan tentang al-hiyal dan al-tahayyul, al-Syā¯ibi menjelaskan bahwa sesuatu yang tampaknya boleh dialihkan ke hukum yang lain menjadi tidak boleh atau sebaliknya. Dalam penjelasannya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah swt telah mewajibkan dan mengharamkan sesuatu, terkadang secara mutlak, terkadang terikat dengan syarat atau sebab tertentu. Shalat, puasa, haji, dan hal-hal seperti ini diwajibkan. Sementara zina, riba, membunuh dan sejenisnya diharamkan. Di samping itu, Allah juga mewajibkan dan mengharamkan sesuatu terikat dengan sebab-sebab tertentu seperti kewajiban kafarat disebabkan na©ar dan keharaman memanfaatkan harta karena harta itu hasil curian. Bila ada suatu sebab yang menjadikan sebuah kewajiban sebagai sesuatu yang tidak lagi wajib; seperti salat empat rakaat bagi musafir bisa menjadi dua rakaat dan melakukan safar agar dapat berbuka puasa. Atau yang menjadikan sesuatu yang haram sebagai sesuatu yang halal secara lahir; seperti menghibahkan sebagian harta agar tidak wajib membayar zakat. Inilah yang disebut al-hīlah dan al-tahayyul ; menjadikan yang wajib menjadi tidak wajib, bahkan yang haram menjadi halal, atau yang halal menjadi haram.[89]
Bagi al-Syā¯ibi, al-hilah seperti digambarkan di atas adalah sesuatu yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Banyak ayat dan hadis yang diungkap sebagai dalil pengharaman atas al-hīlah seperti di atas. Salah satu ayat yang menunjukkan pengharamannya adalah ayat talaq dalam QS. Al-Baqarah (2): 229[90]. Ayat ini membatasi talaq hanya dua kali. Sebelumnya, talaq dilakukan untuk menyiksa kaum wanita dengan melakukan talaq, lalu dirujuknya kembali saat iddahnya menjelang selesai, kemudian ditalaq lagi, lalu rujuk dan seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa ada batasan.[91]
Dalam hadis, ditemukan banyak hal yang ditinggalkan Rasulullah saw berkaitan dengan pengharaman al-hilah ini. Salah satu contohnya adalah pengharaman melakukan rekayasa pencampuran atau pemisahan harta untuk menyiasati kewajiban zakat.[92] Hadis ini menegaskan bahwa merekayasa jumlah harta agar dapat, atau tidak dapat berzakat, atau agar zakatnya sedikit, atau sebaliknya adalah termasuk perbuatan yang diharamkan. Perbuatan lain yang termasuk dalam kategori ini yang diungkap oleh al-sunnah adalah perbuatan suap menyuap[93] dan pernikahan sela (nikāh muhallil)[94].
Meskipun demikian, bagi al-Syā¯ibi, tidak semua al-hīlah tidak boleh dilakukan. Sebab, pada dasarnya setiap hukum yang disyariatkan adalah untuk kepentingan maslahat manusia. Maka, bila al-hīlah itu bertentangan dengan maslahat, maka ia tidak boleh dilakukan. Berbeda halnya bila ia tidak bertentangan dengan maslahat, maka tentunya hal itu sangat mungkin dilakukan. Bahkan, syariah pun dengan tegas memperbolehkannya.
Oleh karena itu, al-Syā¯ibi mengelompokkan al-hīlah menjadi tiga kelompok, antara lain:
1. al-hīlah yang disepakati tidak boleh, bila menyebabkan yang wajib tampak seperti tidak wajib atau yang haram tampak halal, seperti minum obat tidur saat masuk waktu shalat agar tidak shalat karena hilang akal disebabkan tertidur. Juga, menghibahkan sebagian harta agar tidak terkena kewajiban haji;
2. al-hīlah yang disepakati kebolehannya dilakukan, bila untuk membela hak, mencegah kebatilan, selamat dari haram, dan menuju ke halal. Cara yang digunakan pun bisa yang dibolehkan, bisa juga yang diharamkan; hanya, bila cara itu diharamkan, maka ia berdosa menggunakannya meskipun tujuannya tidak diharamkan. Dalam situasi perang, hal ini sangat diperlukan, karena perang adalah siasat. seperti pernyataan “kafir” dalam desakan dan ancaman keterpaksaan;
3. al-hīlah yang menjadi perdebatan kebolehan atau ketidakbolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang pasti baik terkait dengan kelompok pertama, ataupun kelompok kedua; juga tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa ada maksud tertentu dari al-Syāri’ dalam hal itu atau ada hal yang bertentangan dengan maslahat. Sebagian fuqaha menyatakan bahwa ihtiyāl tidak bertentangan dengan maslahat, maka menurut mereka hal itu dibolehkan; sebagian lain menyatakan sebaliknya, maka ihtiyāl menurut mereka tidak boleh dilakukan.
Menyikapi al-hiyal, para fuqaha memiliki pandangan yang berbeda. Al-Syā¯ibi menyebutkan bahwa di antara yang membolehkannya adalah Abu Hanifah. Dia membolehkan hal ini hanya pada hukum individu. Sesuatu yang dilakukan terhadap harta dengan tujuan apapun, termasuk yang menyebabkannya tidak wajib zakat, seperti hibah, membayar hutang, dan sebagainya adalah boleh, karena di dalamnya terdapat maslahah bagi pelakunya, dengan syarat tidak bermaksud untuk menentang hukum dengan menolak membayar zakat. Hal ini disebabkan karena penentangan secara terang-terangan terhadap hukum berarti melawan al-Syāri’. Akan tetapi, bila hal itu tidak secara langsung, tetapi merupakan efek dari sebuah perbuatan, maka hal itu dianggap tidak menentang hukum dan diperbolehkan.[95]
Mencermati pembahasan di atas, sangat tampak bahwa al-hiyal al-syar’iyyah (yang boleh) atau ghair al-syar’iyyah (yang tidak boleh) sangat tergantung kepada ma`āl atau dampak yang dihasilkannya. Apabila kenyataan akhirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ atau maslahat yang dituju syara’ maka ia menjadi hīlah ghair syar’iyyah (yang tidak boleh dilakukan). Tetapi, bila sebaliknya, tidak dituju meskipun dengan itu gugur juga kewajiban zakat umpamanya, maka hal seperti ini dianggap sebagai hīlah syar’iyyah (yang boleh dilakukan).
c. kaidah murā’āt al-khilāf
Secara bahasa, murā’āt al-khilāf berarti mempertimbangkan perbedaan pendapat. Secara terminologis, ‘Allāl al-Fāsi mendefinisikannya sebagai إعطاء كل واحد من الدليلين حكمه[96] (memberikan hukum bagi masing-masing dalil dari dua dalil yang berbeda). Al-Syā¯ibi menjelaskan hal ini bahwa: sesuatu yang dilarang oleh syara’ bila terjadi, maka kejadian itu tidak harus menjadi sebab untuk dibolehkannya berbuat aniaya kepadanya dengan melebihkan hukuman dari apa yang telah ditetapkan syara’. Gha¡b (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin) umpamanya, secara syara’ adalah perbuatan yang terlarang, tetapi bila sudah terjadi, maka orang yang haknya di-gha¡b, berhak untuk mendapatkan haknya, tetapi orang yang telah melakukan ghasb tidak harus mendapatkan balasan melebihi apa yang telah dilakukannya. Maka, bila pelaku dituntut untuk mengganti yang di-gha¡b-nya sesuai nilainya, maka hal itu adalah sebuah bentuk keadilan. Tetapi bila melebihi itu maka hal itu tidak benar.[97]
Al-Fāsi menyebutkan bahwa konsep ini diakui oleh Mālik sebagai bagian dari konsep istihsān dan dianggap oleh al-Qabbāb dari kalangan Mālikiyyah sebagai salah satu konsep terbaiknya.[98] Pernikahan tanpa wali adalah salah satu hal yang diperselisihkan keabsahannya. Dalam pandangan Mazhab Maliki, pernikahan semacam ini termasuk salah satu yang harus dinyatakan faskh[99] (batal). Argumen yang digunakan dalam hal ini adalah hadis riwayat al-Tirmizi yang menjelaskan bahwa nikah tanpa wali adalah batil, atau dinyatakan tidak sah.[100]
Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa nikah tanpa izin walinya adalah batal. Akan tetapi, Mazhab Maliki berpendapat bahwa bila nikah ini telah terjadi, maka faskh harus dilakukan dengan talak, wanita berhak atas mahar, dan bahkan berhak atas waris. Hal ini merupakan bentuk perhatian ulama mazhab Maliki terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan para fuqaha. Adanya perbedaan pendapat dalam hal status hukum wanita yang menikah tanpa wali menjadi bahan pertimbangan bagi mazhab Maliki dalam kasus ini, sehingga meskipun menurut pendapatnya nikah semacam ini dianggap faskh, tapi tetap memberikan hak atas mahar dan waris pada wanita yang telah terlanjur menikah tanpa wali. Inilah yang dimaksud dengan murā’āt al-khilāf.
Pendirian semacam ini tampak sekali dibangun di atas konsep ma`ālāt al-af’āl dengan memperhatikan dampak negatif yang sangat mungkin terjadi bila harus mempertahankan pendapat lain yang dianggap lebih kuat, padahal pernikahan tanpa wali telah terjadi. Bila hanya berpegang pada satu pendapat saja dan tidak mempertimbangkan apakah kasus itu telah terjadi atau belum, tentu akan timbul mafsadah yang lebih besar lagi.
Oleh karenanya, nikah yang semula dinilai sebagai nikah yang fāsid dan harus di-faskh, setelah terjadi, ia diposisikan sebagai nikah yang sah dalam akibat hukumnya. Bila tidak demikian, maka hukumnya adalah zina, padahal para ulama sepakat bahwa kasus ini tidak termasuk dalam kasus zina.[101]
Di samping contoh di atas, al-Syā¯ibi juga mengungkap banyak contoh lain, di antaranya: al-qar«, sesungguhnya ia asalnya adalah riba, karena merupakan tukar menukar dirham dengan dirham pada masa yang akan datang. Tetapi, ia dihalalkan karena di dalamnya terdapat kemudahan dan keluasan bagi orang-orang yang memerlukan itu. Begitu juga dengan berbagai hal yang diberikan hukum rukh¡ah, seperti salat jama’, qasr, salat khauf, berbuka puasa bagi musafir, dan sebagainya; pada hakekatnya adalah sekumpulan hukum yang ada dengan mempertimbangkan konsep ma`āl dalam mencapai maslahah dan menghindari mafsadah.
Dari contoh di atas, sangat tampak bahwa seorang mujtahid dapat saja mengalihkan suatu hukum dari yang kuat kepada hukum yang lebih lemah disebabkan pertimbangan ma`āl, bila dipandang lebih memenuhi maslahat. Cara demikian ini merupakan salah satu kaidah dalam ijtihād ta¯bīqī .
Tampaknya dalam konsep al-Syā¯ibi, ijtihād ta¯bīqī dengan mempertimbangkan konsep ma`ālāt al-af’āl dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah tentang ©arī’ah, al-hiyal, dan murā’āt al-khilāf. Tiga kelompok kaidah di atas adalah sarana untuk menuju istihsān untuk mencapai maqā¡id syarī’ah yang telah disepakati, yakni bahwa syari’ah Islam diturunkan untuk menuju kemaslahatan umat.
Dengan demikian, ijtihād ta¯bīqī dalam konsepsi yang dikembangkan oleh al-Syatibi adalah ijtihad dengan menggunakan dua konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan ma`ālāt al-af’āl. Dengan mempergunakan dua hal ini, ijtihad dapat dilakukan oleh mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam bentuknya yang kedua, ijtihād ta¯bīqī .
D. Persamaan dan Perbedaan dengan Ulama Lain
Bila kita cermati peninggalan ulama masa lalu berkaitan dengan fiqh dan hukum Islam, maka kita akan mendapati begitu banyak permasalahan yang telah dipecahkan oleh mereka, baik kasus yang telah terjadi pada masa itu maupun permasalahan yang belum terjadi, tetapi sangat dimungkinkan terjadi di masa berikutnya. Hal ini sesungguhnya sangat memudahkan kita pada masa modern ini untuk menyelesaikan permasalahan baru. Kita hanya perlu memperhatikan secara fokus terhadap hal-hal yang diungkap oleh khazanah fiqh peninggalan masa lalu, baik yang pernah terjadi maupun yang belum terjadi tapi sudah diberi solusi dengan pengandaian.
Meskipun demikian, tampaknya ijtihad masih sangat diperlukan sampai kapanpun. Sebab, setiap masa memiliki kesulitan tersendiri, kondisi tertentu yang unik, kepentingan yang selalu berkembang sesuai dengan situasi dan perkembangan jaman yang terjadi. Perkembangan yang terjadi dengan berbagai variasinya inilah yang kemudian menyebabkan para ulama menetapkan bahwa suatu fatwa harus berubah dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan tradisi. Ini berarti bahwa ijtihad mutlaq diperlukan setiap saat untuk senantiasa menemukan solusi bagi setiap masalah yang muncul atau bahkan yang dimungkinkan akan muncul pada masa berikutnya.
Beberapa ulama kontemporer mempunyai konsep ijtihād ta¯bīqī yang dituangkan dalam berbagai media. al-Qaradawi, umpamanya. Menurutnya, ijtihad harus dilakukan pada masa modern saat ini. Konsep yang dikemukakannya adalah ijtihād intiqā`iy dan ijtihād insyā`iy. Ijtihād intiqā`iy yang dimaksud adalah ijtihad dalam memilih pendapat masa lalu dan melakukan tarjih terhadap apa yang dianggap paling mendekati kebenaran. Pemilihan ini tentunya bukan hanya memilih salah satu pendapat mazhab saja, tanpa tahu alasan dan dalil mengapa pendapat itu ada. Pemilihan pendapat harus didasarkan pada hujjah dan dalil yang paling kuat, ditambah lagi dengan alasan-alasan lain yang memperkuatnya, seperti lebih tepat untuk masa kini, lebih dekat dengan maqasid syariah, lebih maslahat, dan lain sebagainya.[102]
Adapun ijtihād insyā`iy adalah penyimpulan hukum baru dalam suatu masalah yang belum pernah disimpulkan hukumnya oleh para ulama masa lalu, baik masalah itu masalah lama atau masalah yang sama sekali baru. Ini berarti bahwa bisa jadi masalah yang dibahas adalah masalah lama, tetapi mujtahid memiliki pendapat baru yang belum pernah diungkap oleh ulama sebelumnya, dan pendapat itu sejalan dengan maqasid syariah. Dengan kata lain, bila ada masalah yang dalam khazanah fiqh terdapat dua pendapat yang berbeda, maka boleh saja mujtahid menyampaikan pendapat ketiga; bila ada tiga pendapat, maka mujtahid boleh berpendapat dengan yang keempat dan seterusnya.[103]
Lebih lanjut, al-Qaradāwi memberikan alternatif ketiga, yakni memadukan ijtihād intiqā`iy dengan ijtihād insyā`iy. Keduanya dilakukan untuk menyelesaikan kasus yang sama. Caranya dengan melakukan tarjīh dari salah satu pendapat mazhab yang ada, kemudian menambahkan hal-hal baru hasil ijtihād insyā`iy. Hal ini telah dilakukan oleh ulama Mesir ketika memasukkan pasal-pasal tentang wasiat wajibah; juga dalam salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh “Lajnah Fatwa” di Kuwait tentang masalah aborsi.[104]
Dalam hal realisasi ijtihad, al-Qaradāwi melihat ada tiga model[105] yang berkembang saat ini, yaitu :
1. Pembuatan undang-undang. Sebenarnya, pada awalnya adalah ijtihād intiqā`iy dari satu mazhab saja, yakni mazhab Hanafi, yang kemudian dilanjutkan mazhab empat lainnya, baru dilanjutkan lagi dengan mazhab selain yang empat. Ijtihad ini kemudian dikembangkan ke dalam ijtihād insyā`iy dalam beberapa permasalahan modern dan baru. Majalah al-Ahkām al-‘Adliyyah yang terbit pada masa kerajaan Usmani di Turki merupakan peletak dasar pengundangan fiqh ke dalam perundang-undangan negara. Undang-undang ini merupakan hasil ijtihād intiqā`iy dari mazhab Hanafi yang disusun menjadi Bab, pasal, dan ayat, persis seperti yang kita dapati dalam undang-undang modern. Isinya berupa berupa peraturan tentang muamalat berjumlah 1851 pasal.[106] Proses pembuatan undang-undang dengan dilatarbelakangi fiqh ini berkembang pesat dalam lapangan pidana dan administrasi di berbagai negara. Di Indonesia, upaya itu sudah mulai dilakukan, di antaranya dalam hal hukum keluarga yang sudah diundangkan, yakni Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disusul dengan adanya Inpres No. 1 Tahun 1999 tentang Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, yang dianggap sebagai fiqh Indonesia. Upaya ini masih terus berlanjut dengan berbagai cara hingga sekarang.
2. Fatwa. Ijtihad model ini memiliki bentuk yang sangat bervariasi, ada yang dilakukan oleh sebuah lembaga resmi yang didirikan oleh negara, seperti Majelis Ulama Indonesia; dan ada juga yang dilakukan oleh lembaga yang tidak resmi, baik berupa LSM atau individu. Cara sosialisasipun sangat beragam, baik melalui majalah, radio, televisi, atau media-media lainnya.
3. Penelitian. Ijtihad dalam bentuk ini biasanya dilakukan oleh para akademisi yang memiliki bidang ilmu tertentu, terutama yang terkait dengan hukum fiqh.
Berkaitan dengan ijtihād ta¯bīqī, al-Qaradāwimengemukakan konsep fiqh al-awlawiyyāt (fiqh prioritas). Menurutnya, umat Islam saat ini telah salah kaprah dalam memahami prioritas dalam kehidupan mereka. Hal-hal yang seharusnya berada pada urutan prioritas utama seringkali menjadi urutan kedua bahkan lebih dari itu. Permasalahan seni dan rekreasi sering tampak lebih penting dari masalah akademis dan pendidikan. Pendidikan remaja lebih sering diarahkan kepada pendidikan jasmani dari pada pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan dan konsumsi akal mereka. Hal ini tidak lepas dari kekurangmengertian mereka terhadap fiqh prioritas.
Menurutnya, fiqh prioritas yang dimaksud adalah: meletakkan suatu hukum, nilai, dan perbuatan sesuai porsinya secara adil, kemudian disusun secara berurutan mulai dari yang paling utama dan seterusnya sesuai dengan tuntunan syariah berdasarkan pertimbangan wahyu dan akal. Karena pada dasarnya, syariah sudah menempatkan segalanya dengan urutan sempurna dan tidak semuanya berada pada satu urutan prioritas, tetapi telah dibedakan antara yang besar dan kecil, yang inti dan peelengkap, yang tinggi dan yang rendah dan seterusnya.[107]
Ada tiga langkah besar yang haus dilakukan dalam fiqh prioritas, menurut al-Qara«āwi, antara lain:
1. membandingkan maslahat satu sama lain;
Langkah pertama dalam menetapkan prioritas adalah memperbandingkan suatu maslahat dengan maslahat yang lain. Dalam hal ini, para fuqaha telah menetapkan bahwa maslahat memiliki tiga tingkatan, yakni «arriyyāt (hal yang tidak dapat hidup tanpanya), hājiyyāt (hal yang dapat hidup tanpanya tetapi dengan berbagai kesulitan), dan tahsīniyyāt (sesuatu yang menghiasi hidup dan menyempurnakannya). Fiqh prioritas menuntut untuk mendahulukan «arriyyāt dari hājiyyāt, apalagi tahsīniyyāt. Juga mendahulukan hājiyyāt dari tahsīniyyāt. Hal yang sama juga dilakukan dalam menetapkan tingkatan «arriyyāt sendiri. Sebagian besar ulama sepakat bahwa tingkatan «arriyyāt ada lima: agama, jiwa, keturunan, aqal, dan harta. Agama adalah prioritas utama, bahkan lebih utama dari jiwa, baru yang lain pada urutan berikutnya.[108]
Dalam hal maslahat lainnya, al-Qara«āwi memberikan acuan yang sangat logis, maslahat yang pasti harus didahulukan dari pada yang belum pasti; yang besar lebih didahulukan dari yang kecil; maslahat umum didulukan dari maslahat pribadi; maslahat yang kekal didulukan dari yang tidak kekal, dan seterusnya. Peristiwa Hudaibiyyah umpamanya, banyak hal yang tampaknya merupakan kekalahan umat Islam bila dilihat dari maslahat saat itu, tetapi ketika Rasulullah saw melihat akan adanya maslahat masa depan yang lebih besar, maka Beliau pun menyetujui perjanjian itu.[109]
2. membandingkan mafsadah satu sama lain;
Kalau maslahat saja memiliki tingkatan, maka mafsadah pun juga bertingkat-tingkat. Mafsadah yang menghilangkan maslahat «arriyyah tentunya lebih tinggi tingkat bahayanya dari pada hājiyyah, apalagi tahsiniyyah. Ancaman terhadap harta lebih rendah daripada ancaman terhadap jiwa yang lebih rendah dari ancaman terhadap agama. Tingkatan mafsadah diukur dengan berat tidaknya bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan mafsadah itu.
Para fuqaha telah memberikan acuan yang jelas berkaitan dengan mafsadah ini dengan memberikan berbagai kaidah disesuaikan dengan perbedaan tingkatan tiap mafsadah. Berikut adalah beberapa kaidah rumusan fuqaha terdahulu yang dapat dijadikan alat untuk memilih prioritas di antara dua mafsadah atau lebih: لاضرر ولا ضرار (tidak berbahaya dan tidak membahayakan), الضرر يزال بقدر الإمكان (bahaya itu dihilangkan sebisa mungkin), الضرر لايزال بضررمثله أو أكبر منه (bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya lain setara dengannya atau lebih besar darinya), يرتكب أخف الضررين وأهون الشرين (memilih bahaya yang paling ringan di antara dua bahaya), يتحمل الضرر الأدنى لدفع الضرر الأعلى (bahaya yang lebih ringan dipergunakan untuk mencegah bahaya yang lebih berat), يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام (bahaya spesifik digunakan untuk mencegah bahaya yang berdampak lebih luas).[110]
3. membandingkan maslahat dan mafsadah bila tampak bertentangan.
Bila dalam suatu hal terdapat maslahah sekaligus mafsadah pada waktu yang sama, maka harus dicermati mana yang lebih dominan yang nantinya menjadi pertimbangan hukum. Bila mafsadahnya lebih dominan, maka ia harus dilarang, meskipun masih ada maslahat di dalamnya. Demikian juga bila yang terjadi sebaliknya, maslahah lebih banyak dari mafsadahnya, maka ia harus dibolehkan, meskipun masih ada masfadahnya.
Dalam hal ini, para fuqaha juga telah meninggalkan beberapa kaidah, yang terpenting di antaranya: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (mencegah mafsadah lebih diutamakan dari pada mencari maslahah), المفسدة الصغيرة تغتفر من أجل المصلحة الكبيرة (mafsadah kecil dapat ditolerir untuk maslahat besar), تغتفر المفسدة العارضة من أجل المصلحة الدائمة (mafsadah temporal dapat ditolerir untuk mendapatkan maslahah yang terus menerus), dan لاتترك مصلحة محققة من أجل مفسدة متوهمة (maslahat yang pasti tidak dapat ditinggalkan demi maslahat yang belum jelas).[111]
Berkaitan dengan cara mengetahui maslahat dan mafsadah, al-Qaradāwi mengutip apa yang diungkap oleh ‘Izzuddin ibn Abdissalam. Menurutnya, sebagian besar maslahat dan mafsadah duniawi dapat diketahui dengan akal. Setiap yang berakal dapat mengetahui bahwa memperoleh maslahat dan mencegah mafsadah adalah perbuatan baik.[112] Maslahat dan mafsadah duniawi dapat ditelusuri melalui percobaan-percobaan, tradisi, dan penelitian. Untuk mengetahui tingkatannya, maka harus dilakukan analisis dengan cara yang sesuai, setelah dipastikan bahwa dalil syar'i tidak memberikan petunjuk dalam hal tersebut.
Adapun maslahat dan mafsadah ukhrawi, tidak dapat diketahui kecuali berdasarkan apa yang telah diungkap oleh wahyu, baik melalui al-Quran atau al-sunnah. Sebagaimana maslahat dan mafsadah duniawi, maslahat dan mafsadah ukhrawi juga bertingkat-tingkat. Menurutnya, maslahat ada tiga tingkatan, maslahat dari hal-hal yang wajib, dari hal-hal yang mandub, dan dari hal-hal yang mubah. Sedangkan mafsadah hanya dua, yakni mafsadah dari hal-hal yang haram dan dari hal-hal yang makruh.[113]
Sedangkan maslahat dunia akhirat dan mafsadah keduanya secara bersamaan tidak dapat diketahui kecuali dari syara’; bila tidak jelas, maka dicari dari dalil-dalil syar’i, mulai dari al-Quran, al-sunnah, al-ijma’, al-qiyas, dan cara istidlāl lain yang benar.[114]
Untuk mengetahui tingkatan maslahat dan mafsadah, syariah sudah menunjukkannya melalui nash yang ada dengan memberikan ‘illah mengapa hukum itu disyariatkan. Dengan mencermati dalil setiap hukum yang ada akan diketahui tingkatan maslahah dan mafsadah masing-masing, sehingga dapat ditentukan prioritasnya. Shalat, umpamanya, disyariatkan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar; zakat untuk keperluan penyucian diri; puasa agar bertaqwa; dan haji untuk keperluan menyaksikan manfaat dan zikir kepada Allah swt.
Selain al-Qara«āwi, Majdī al-Hilālī juga mengemukakan pentingnya fiqh prioritas. Menurutnya, ada dua hal penting yang haus diperhatikan, antara lain:
1. Penentuan prioritas bukan kewajiban masyarakat umum, tetapi merupakan tugas ulama tertentu yang memiliki kapabilitas dalam hal ini. Untuk itu, merujuk apa yang diungkap oleh al-Syatibi, meskipun tidak sampai ke tingkat mujtahid, pengetahuan tentang mekanisme istinbat hukum sangat penting; paling tidak, bisa mengetahui maqasid syariah dan rahasia di balik hukum.[115]
2. di samping ulama yang menetapkan prioritas, juga harus ada dukungan ulil amri dalam implementasi fiqh prioritas itu.[116]
Dalam hal implementasi fiqh prioritas, al-Hilali memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan al-Qaradawi. Rujukan keduanya sama, yakni apa yang telah diungkap oleh al-Sya¯ibī berkaitan dengan maqasid syariah yang diformulasikan ke dalam tiga kelompok besar, «arūriyyāt, hājiyyāt, dan tahsīniyyāt. Menurut al-Hilāli, untuk sampai kepada lima hal yang harus dipelihara, ada tiga tingkatan prioritas, yakni: «arūriyyāt, hājiyyāt, dan tahsīniyyāt. Bila terjadi pertentangan maka «arūriyyāt lebih diprioritaskan dari hājiyyāt dan seterusnya. Bila pertentangan itu terjadi pada tingkat yang sama, maka agama lebih diprioritaskan dibanding jiwa, jiwa lebih diprioritaskan dari akal, akal dari keturunan, dan keturunan dari harta.[117]
Selain kedua pemikir di atas, masih banyak lagi ulama kontemporer yang menawarkan berbagai konsep berkaitan dengan ijtihād ta¯bīqī. Akan tetapi, tampaknya kebanyakan konsep mereka tidak lepas dari konsep awal yang digagas oleh al-Syatibi, baik berkaitan dengan konsep maqasidnya, maupun konsep ijtihād ta¯bīqī -nya yang menggunakan tahqīq al-manā¯, ma`ālāt al-af’āl, dan murā’āt al-khilāf. Memang, ada beberapa penambahan pada sebagian konsep yang mereka munculkan, seperti yang diungkap oleh Ahmad Baw’ūd, umpamanya. Ia mengungkap bahwa dalam fiqh al-wāqi’, bukan hanya ijtihad yang diperlukan, tetapi juga tajdīd.[118] Bisa jadi, yang dimaksud Baw'ūd adalah bahwa para ulama kontemporer harus memiliki sikap kritis dalam melakukan analisis terhadap permasalahan yang muncul dan membuat kreasi-kreasi baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Ini juga yang mungkin dikehendaki oleh al-Qara«āwi dalam ijtihād insyā`iy-nya.
[1]Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasīt, (Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972), h. 142, Lihat juga, Muhammad ibn Mukarran ibn Manzur al-Ifrīqi al-Masri, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 3. h. 133
[2]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1558
[3]Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasī¯, h. 142
[4]Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Ali ibn Yūsuf al-Syairāzi al- Fairuz ābādi, al-Luma’ fi U¡l al-Fiqh, (Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad Nabhan wa Auladuh, tth.) h. 70
[5] Al-Āmidī, al-Ihkām fī U¡l al-Ahkām, (ttp. : Ma¯ba’ah ¢abih, 1347 H), Juz 3, h. 139
[6]Ab Hāmid al-Ghazāli, al-Musta¡fā min ‘ilm al-U¡l, (ttp: Ma¯ba’ah Mus¯afā Muhammad, 1356 H), Juz 2, h. 101
[7] Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’i, al-Risālah, Tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syākir, (ttp: tanpa penerbit, tth.), h. 477
[8] Muhammad al-Amīn ibn Muhammad al-Mukhtār al-Syanqīti, Muzakkirah fī U¡l al-Fiqh, (Iskandaria: Dar al-Basirah, tth.), h. 270
[9] Jamāluddīn Abdurrahmān ibn Hasan al-Isnawi, Nihāyat al-Sl fī Syarh Minhāj al-Wu¡l Ilā ‘Ilm al-U¡l li al-Qā«i al-Bai«āwi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420 H), Juz. 2, h. 1025
[10] Qu¯b Mu¡¯afa Sān, al-Ijtihād al-Jamā’i al-Mansyd fi ¬aw` al-Wāqi’ al-Mu’ā¡ir, (Beirut: Dar an-Nafaes, 2006), h. 24 – 25
[11] Dengan menggunakan tasydīd di atas huruf ba` ( ب )
[12] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯, h. 550
[13] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, h. 840
[14] Ketika memaknai kata ijtihad, Abu Zahrah memberikan mendefinisikannya dengan menyatakan: استفراغ الجهد وبذل الوسع إما في استنباط الأحكام الشرعية وإما في تطبيقها (pengerahan segenap kemampuan baik untuk menyimpulkan hukum maupun untuk menyesuaikannya). Lihat Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, (ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H/1985 M), h. 379
[15] Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, h. 379
[16] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darraz, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1425 H/2004 M), Juz 4, h. 463 – 464
[17] Fathi al-Durayni, al-Manāhij al-U¡liyyah bi al-Ra`y fi al-Tasyrī’ al-Islāmi, (Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975), h.
[18] Disampaikan oleh Muhammad Amin Suma dalam forum Ujian Pendahuluan Disertasi Aminullah HM, Jum’at, 14 Maret 2008. Hal ini memiliki pemahaman berbeda dengan apa yang selama ini dipahami di kalangan pengkaji usul fiqh. Bagi Penulis, secara substantif, keduanya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda, sehingga boleh saja dimaknai dengan keduanya.
[19] تحقيق العلة المتفق عليها في الفرع (Jamāluddīn Abdurrahmān ibn Hasan al-Isnawi, Nihāyat al-Sl fī Syarh Minhāj al-Wu¡l Ilā ‘Ilm al-U¡l li al-Qā«i al-Bai«āwi, juz 2, h. 877)
[20] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darrāz, juz 4, h. 468
[21] Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, h. 379
[22] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darrāz, juz 4, h. 466
[23] Paling tidak, ungkapan ini dapat ditelusuri dalam pernyataan Abu Zahrah dalam bukunya. Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, h. 379
[24] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darrāz, juz 4, h. 467
[25] Peringkat pertama dalam urutan ijtihad adalah mujtahid fi al-syar'i, yakni para mujtahid yang dapat melakukan ijtihadnya dengan menggunakan metode yang mereka rumuskan. Mujtahid tingkat ini dikenal dengan istilah mujtahid mustaqill. Mujtahid pada tingkat ini harus memenuhi persyaratan yang cukup berat yang banyak dipersyaratkan oleh ulama usul fiqh. Kedua, mujtahid muntasib, yakni para ulama yang memilih dan mengikuti pendapat seorang mujtahid dalam usul tetapi bisa berbeda dalam penetapan hukum furu'-nya. Ketiga, mujtahid fi al-mazhab, yakni para ulama yang mengikuti mazhab tertentu dalam usul dan furu'. Mereka hanya berijtihad pada apa yang tidak diungkap oleh mazhab tersebut. Merekalah, yang menurut Malikiyyah, harus ada pada setiap masa dan setiap tempat. Mereka pulalah yang melakukan tahqīq al-manā¯. Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, h. 389 – 395
[26] Abu Ishāq al-Syā¯ibī, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darrāz, juz 4, h. 467
[27] Secara bahasa, Tahqīq berarti mencocokkan, sedangkan al-manā¯ berarti tempat bergantung. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, h. 282 dan h. 1476
[28] Abu Ishāq al-Syā¯ibī, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 464
[29] Abu Ishāq al-Syā¯ibī, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 464 – 465
[30] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 465
[31] Dalam hal ini, al-Syā¯ibi menyatakan bahwa ijtihad jenis ini harus selalu ada yang melakukannya pada setiap masa, setiap generasi, dan setiap tempat. Hal ini dibedakannya dengan ijtihad dalam bentuk tanqīh al-manā¯ dan takhrīj al-manā¯, karena keduanya adalah bagian dari al-qiyas dan bisa saja suatu masa, suatu generasi, dan suatu tempat tidak terdapat mujtahid dalam tingkat ini. Lihat Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 464 – 469
[32] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 470
[33] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 471
[34] Perhatikan QS. Al-Anfal (8): 29, إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا dan QS. al-Baqarah (2): 269, يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا . Bagi penulis, dua potongan ayat ini cukup menjelaskan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan فُرْقَان dan ْحِكْمَةَ . Abu Bakar al-Jazā`iri memaknai kata yang pertama dengan “cahaya” dan yang kedua sebagai “rahasia di balik syari’ah”. Lihat, Abu Bakar al-Jazā`iri, Aysar al-Tafāsīr, http://www.altafsir.com, jilid 1, h. 137 dan jilid 2, h. 38.
[35] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُور (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 1422)
[36] عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 6980)
[37] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ الدُّعَاءِ (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 3292)
[38] عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مُرْنِي بِأَمْرٍ آخُذُهُ عَنْكَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ (Sunan al-Nasā`i, hadis no. 2190)
[39] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَأَعَادَ عَلَيْهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ (Musnad Ahmad, hadis no. 8389)
[40] عن سفيان بن عبد الله الثقفي عن أبيه قال قلت يا رسول الله مرني بأمر في الاسلام لا أسأل عنه أحدا غيرك بعدك قال قل آمنت بالله ثم استقم قال فما أتقي فأشار إلى لسانه (Al-Sunan al-Kubrā li al-Nasā`i, hadis no. 11489)
[41] عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر (Sunan al-Nasā`i, hadis no. 4138)
[42] عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ أُهَرِيقَ دَمُهُ وَعُقِرَ جَوَادُهُ (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 2784)
[43] عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعِبَادِ أَفْضَلُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمِنْ الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ لَوْ ضَرَبَ بِسَيْفِهِ فِي الْكُفَّارِ وَالْمُشْرِكِينَ حَتَّى يَنْكَسِرَ وَيَخْتَضِبَ دَمًا لَكَانَ الذَّاكِرُونَ اللَّهَ أَفْضَلَ مِنْهُ دَرَجَةً (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 3298)
[44] عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (¢ahīh Muslim, hadis no. 57)
[45] حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ قَالُوا ثُمَّ مَنْ قَالَ مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 2578)
[46] عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 4206)
[47] حَدَّثَنَا يَزِيدُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ أَوْ قَالَ خَيْرٌ شَكَّ يَزِيدُ قَالَ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قِيلَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ (Musnad Ahmad, hadis no. 19578)
[48] عن درة بنت أبي لهب رضي الله عنها قالت : قلت : يا رسول الله ، أي الناس أفضل ؟ قال : أتقاهم لله عز وجل وأوصلهم لرحمه وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر (Al-Āhād wa al-Ma£āni li ibn Abi ‘Ā¡im, hadis no. 2811)
[49] عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 4639)
[50] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 5651)
[51] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ سَفَرًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالتَّكْبِيرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ فَلَمَّا وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ ازْوِ لَهُ الْأَرْضَ وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَرَ (Musnad Ahmad, hadis no. 7959)
[52] عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَجُلًا جَاءَهُ فَقَالَ أَوْصِنِي فَقَالَ سَأَلْتَ عَمَّا سَأَلْتُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَبْلِكَ أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ شَيْءٍ وَعَلَيْكَ بِالْجِهَادِ فَإِنَّهُ رَهْبَانِيَّةُ الْإِسْلَامِ وَعَلَيْكَ بِذِكْرِ اللَّهِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ رَوْحُكَ فِي السَّمَاءِ وَذِكْرُكَ فِي الْأَرْضِ (Musnad Ahmad, hadis no. 11349)
[53] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ قَالَ سَمِعْتُ الْعَاصِ بْنَ عَمْرٍو الطُّفَاوِيَّ قَالَ خَرَجَ أَبُو الْغَادِيَةِ وحَبِيبُ بْنُ الْحَارِثِ وَأُمُّ أَبِي الْعَالِيَةِ مُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمُوا فَقَالَتْ الْمَرْأَةُ أَوْصِنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِيَّاكِ وَمَا يَسُوءُ الْأُذُنَ (Musnad Ahmad, hadis no. 16102)
[54] عَنْ ضِرْغَامَةَ بْنِ عُلَيْبَةَ بْنِ حَرْمَلَةَ الْعَنْبَرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ اتَّقِ اللَّهَ وَإِذَا كُنْتَ فِي مَجْلِسِ قَوْمٍ فَسَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ مَا يُعْجِبُكَ فَأْتِهِ وَإِذَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ مَا تَكْرَهُ فَاتْرُكْه (Musnad Ahmad, hadis no. 17971)
[55] حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ هَوْذَةَ الْقُرَيْعِيُّ أَنَّهُ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُلٌ سَمِعَ جَرْمُوزًا الْهُجَيْمِيَّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ أُوصِيكَ أَنْ لَا تَكُونَ لَعَّانًا (Musnad Ahmad, hadis no. 19757)
[56] عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (Musnad Ahmad, hadis no. 20435)
[57] Ahmad Baw’d, Fiqh al-Wāqi’: U¡l wa ¬awābi¯, h. 113
[58] Muhammad Sa’īd Rama«ān al-Bū¯ī, ¬awābi¯ al-Ma¡lahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), cet. 4, h. 154 – 155
[59] Muhammad Sa’īd Rama«ān al-Bū¯ī, ¬awābi¯ al-Ma¡lahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, h. 157
[60] عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 1344)
[61] حدثنا إدريس أبو عبد الله بن إدريس قال : أتيت سعيد بن أبي بردة ، فسألته عن رسائل ، عمر بن الخطاب التي كان يكتب بها إلى أبي موسى الأشعري ، وكان أبو موسى قد أوصى إلى أبي بردة ، فأخرج إلي كتبا ، فرأيت في كتاب منها : أما بعد : فإن القضاء فريضة محكمة ، وسنة متبعة ، فافهم إذا أدلي إليك ، فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له ، آس بين الاثنين في مجلسك ووجهك ، حتى لا يطمع شريف في حيفك ولا ييأس وضيع - وربما قال : ضعيف - من عدلك ، الفهم الفهم فيما ينخلج في صدرك - وربما قال : في نفسك - ويشكل عليك ما لم ينزل في الكتاب ولم تجر به سنة ، واعرف الأشباه والأمثال ، ثم قس الأمور بعضها ببعض وانظر أقربها إلى الله ، وأشبهها بالحق فاتبعه (Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn ¤abit ibn Ahmad ibn Mahdi Al-Kha¯īb al-Baghdādi, al-Faqīh wa al-Mutafaqqih, tahqīq oleh Adil ibn Yūsuf al-‘Azzazi, (Saudi Arabia: Dar Ibn al-Jauzi, 1417 H), Juz 2, h. 90)
[62] عن طاوس قال قال معاذ يعني ابن جبل باليمن ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة فانه اهون عليكم وخير للمهاجرين بالمدينة (Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali Al- Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, (ttp: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, h. 113)
[63] إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
[64] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1985), Juz 6, h. 152
[65] Hal ini diungkap di antaranya oleh Abu Yūsuf , al-Lais, dan Abu Hanifah. Lihat, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran,, Juz 6, h. 151
[66] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 475
[67] Abu Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran, Juz 6, h. 151
[68] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 552
[69] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 553
[70] وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...
[71] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 555
[72] حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كُنَّا فِي غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَسَمَّعَهَا اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ قَالَ جَابِرٌ وَكَانَتْ الْأَنْصَارُ حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ ثُمَّ كَثُرَ الْمُهَاجِرُونَ بَعْدُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَوَقَدْ فَعَلُوا وَاللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 4527)
[73] حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَهُوَ عَمُّ إِسْحَقَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ (¢ahīh Muslim, hadis no. 429)
[74] ¢ahīh Muslim, hadis no. 2487
[75] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡ūl al-Syarī’ah, h. 556 - 566
[76] Sa’di Abu Habib, Al-Qāmus al-Fiqhi, (Damaskus: dar al-Fikr, 1993), cet 2, Juz 1, h. 136. Lihat juga, Muhammad Rawwās Qal’ahji, Mu’jam Lughat al-Fuqahā, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1988), cet 2, juz 1, h. 214
[77] Badrān Abul ‘Ainain Badrān, U¡ūl al-Fiqh al-Islāmī, (Iskandariah: Muassasah Syabab al-Jami’ah, tth.), h. 241
[78] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dar al-Kitab al-Jami’i, 1994), h. 125 – 126
[79] الذَّرِيعَةُ مَا كَانَ وَسِيلَةً وَطَرِيقًا إلَى الشَّيْءِ ، لَكِنْ صَارَتْ فِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ عِبَارَةً عَمَّا أَفَضْت إلَى فِعْلٍ مُحَرَّمٍ ، وَلَوْ تَجَرَّدَتْ عَنْ ذَلِكَ الْإِفْضَاءِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مَفْسَدَةٌ (Ibn Taymiyah, al-Fatāwa al-Kubrā, Juz 9, h. 235)
[80] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh al-Muyassar, h. 128
[81] Muhammad ibn Mukarran ibn Man§ūr al-Ifrīqī al-Masrī, Lisān al-‘Arab, Juz 11, h. 184
[82] Al-Fairūz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīt, (http://al-warraq.com), Juz 2, h. 348
[83] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, h. 311
[84] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯, h. 209
[85] Abu Umar, al-Maus’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wizarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, tth), h. 438
[86] Ibn Taymiyah, al-Fatāwa, Juz 3, h. 256
[87] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz 2, h. 122
[88] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, h. 558
[89] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, Juz 2, h. 655 – 656
[90] الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
[91] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, Juz 2, h. 658
[92] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَة (¢ahīīh al-Bukhāri, hadis no. 1358)
[93] عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 1336)
[94] عن ابن عباس قال : - لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المحلل والمحلل له (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 1934)
[95] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 558
[96]‘Allāl al-Fāsi, Maqā¡id al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, , h. 140
[97] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 559
[98]‘Allāl al-Fāsi, Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h. 140
[99]Ahmad Ibn Muhammad al-Sāwi, Hāsyiyat al-¢āwi li al-Syarh al-¢aghir, , Juz 4, h. 497
[100] عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (Sunan al-Tirmizi, hadis no. 1021)
[101] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l al-Syarī’ah, Juz 4, h. 561
[102] Yūsuf al-Qara«āwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir: baina al-In«ibā¯ wa al-Infirā¯, h. 20
[103] Ysuf al-Qara«āwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir: baina al-In«ibā¯ wa al-Infirā¯, h. 33
[104] Ysuf al-Qara«āwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir: baina al-In«ibā¯ wa al-Infirā¯, h. 36 – 40
[105] Ysuf al-Qara«āwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir: baina al-In«ibā¯ wa al-Infirā¯, h. 41 – 45
[106] Mus¯afā Ahmad al-Zarqā`, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Ām, juz 1, h. 197 – 199
[107] Yūsuf al- Qaradāwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadidah fi Daw` al-Qurān wa al-Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2005), Cet 7, h. 9
[108] Yūsuf al-Qara«āwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fi ¬aw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 25
[109] Yūsuf al-Qara«āwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fi ¬aw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 26
[110] Yūsuf al-Qara«āwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fi ¬aw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 27
[111] Yūsuf al-Qara«āwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fi ¬aw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 27 – 28
[112] ‘Izzuddin ibn Abdissalam, Qawā’id al-Ahkām fi Ma¡ālih al-Anām, (http://www.al-islam.com), juz 1, h. 5
[113] ‘Izzuddin ibn Abdissalam, Qawā’id al-Ahkām fi Ma¡ālih al-Anām, h. 9
[114] Yūsuf al-Qara«āwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fi ¬aw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 31
[115] Majdi al-Hilāli, Min Fiqh al-Awlawiyyāt fi al-Islām, (Kairo: Dar al-tauzi’ wa al-Nasyr, 1994), 10 – 11
[116] Majdi al-Hilāli, Min Fiqh al-Awlawiyyāt fi al-Islām, h. 13
[117] Majdi al-Hilāli, Min Fiqh al-Awlawiyyāt fi al-Islām, h. 63. Bandingkan dengan Yūsuf al-Qaradāwi, Fi Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadidah fi Daw` al-Qurān wa al-Sunnah, h. 25. Bandingkan juga dengan Abu Ishaq al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fī Usul al-Syarī’ah, Juz 2, h. 324 – 325
[118] Ahmad Baw’ud, Fiqh al-Wāqi’: Usūl wa Dawābit, h. 72. Bandingkan dengan konsep ijtihād intiqā`iy dan ijtihād insyā`iy yang diungkap oleh al- Qaradāwi. Lihat, Yūsuf al-Qaradāwi, al-Ijtihād al-Mu’āsir: baina al-Indibāt wa al-Infirāt, h. 36 – 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar