Senin, 01 Februari 2010

Bab V

BAB V

PENERAPAN KONSEP MA`ĀLĀT AL-AF’ĀL

A. Ma`ālāt al-Af’āl dalam Fatwa Bidang Faham Keagamaan

Penerapan konsep ma`ālāt al-af’āl dalam fatwa MUI bidang faham keagamaan tercermin pada fatwa berikut:

1. Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme agama[1]

Fatwa ini diawali dengan kegelisahan sebagian umat Islam di Indonesia akibat berkembangnya paham tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, serta paham-paham sejenis lainnya. Sebagai khadimul ummah, MUI berupaya untuk meredam kegelisahan itu dengan memberikan pedoman terkait dengan permasalahan yang menggelisahkan ini.

Fatwa ini terdiri dari dua bagian, yakni ketentuan umum yang mengenalkan tentang paham-paham tersebut. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang ketentuan hukum paham-paham itu.

Dalam ketentuan umum dijelaskan bahwa pluralisme adalah cara pandang seseorang terhadap kebenaran suatu agama. Menurut paham ini, semua agama adalah sama. Kebenaran yang dimilikinya adalah relatif. Oleh karenanya, setiap pemeluk agama tidak dibenarkan mengklaim bahwa hanya agamanya yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Menurut paham ini juga, surga adalah milik semua agama, sehingga tidak hanya dimonopoli oleh satu agama saja, tetapi setiap pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama semacam ini merupakan sebuah fenomena yang nyata yang bisa didapati di banyak negara dan daerah tertentu, bahkan tampak merata.

Liberalisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa teks agama harus sesuai dengan akal pikiran. Mereka memahami teks agama dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, bila tidak sesuai maka akal tidak bisa menerimanya.

Sedangkan sekularisme agama merupakan paham yang mengajarkan pemisahan antara urusan dunia dari agama; agama hanya mengatur urusan pribadi dengan tuhannya, sedangkan hubungan antarmanusia diatur hanya berdasarkan kesepakatan sosial.

Tiga paham di atas banyak berkembang akhir-akhir ini di kalangan masyarakat dan telah menimbulkan keresahan dengan berbagai perlakuan yang kurang diterima oleh kebanyakan umat Islam. Pernyataan-pernyataan yang menghina Allah swt, Rasulullah saw, al-Quran, dan simbol-simbol agama yang dilakukan beberapa orang dari kelompok ini sudah sampai dalam taraf yang meresahkan. Sehingga, MUI merasa perlu memberikan arahan berupa fatwa dalam hal ini.

Fatwa ini memberikan arahan bahwa tiga paham di atas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, umat Islam haram mengikuti ketiga paham tersebut. Dalam hal akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, haram mencampur-adukkannya dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Dalam hal pergaulan sosial dalam suatu komunitas yang plural, dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat inklusif sepanjang tidak saling merugikan.

Banyak ayat yang menjadi landasan fatwa ini, antara lain: al-Quran surat Ali Imran [3]: 85[2] dan 19[3] yang menjelaskan bahwa hanya Islamlah agama yang diterima di sisi Allah; al-Kafirun [109]: 6[4] yang mengemukakan prinsip dasar dalam beragama, yakni masing-masing berada pada agamanya; al-Ahzab [33]: 36[5] yang menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi seorang mukmin bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu; al-Mumtahanah [60]: 8 – 9[6] yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara bergaul dengan orang yang berbeda agamatelah bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan sesuatu;g ___________________________________________________________________________; al-Qasas [28]: 77[7] yang merupakan perintah untuk hidup seimbang dunia dan akhirat; al-An’am [6]: 116[8] yang memerintahkan untuk melakukan penyaringan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh manusia, dan al-Mu’minun [23]: 71[9] yang menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh berdasar pada hawa nafsu.

Tampaknya, MUI menggunakan ayat-ayat di atas untuk menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang harus dipilih dalam kehidupan, bila menginginkan keuntungan dan kemenangan. Bila sudah memilih Islam sebagai jalan kehidupan, maka di antara sikap yang harus dimiliki adalah sikap tegas dan tidak toleran dalam hal keyakinan dan ibadah; tidak memilih pilihan lain bila sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal pergaulan sosial, ekonomi, dan hal-hal lain selain aqidah dan ibadah, Allah telah memberi petunjuk dalam melaksanakannya dengan meneladani sikap Rasulullah dalam hal ini. Pada prinsipnya, Islam mengajarkan keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi. Ajaran ini sudah dipaparkan dalam al-Quran dan al-Sunnah secara lengkap. Oleh karena itu, bila ada pendapat orang dalam berbagai hal, maka kewajiban seorang muslim adalah melakukan penyaringan. Sebab, kebenaran tidak boleh disandarkan kepada hawa nafsu. Kebenaran harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Selain ayat-ayat di atas, fatwa ini juga mengemukakan beberapa hadis yang dijadikan sebagai landasan melengkapi beberapa ayat di atas. Hadis pertama menjelaskan bahwa orang yahudi dan nasrani yang sudah mendengar ajaran Islam, lalu meninggal sebelum ia beriman, maka ia masuk neraka[10]. Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa hanya Islam sajalah agama yang diakui Allah swt. Selain Islam, dinyatakan tidak diakui. Hal ini senada dengan QS. Ali Imran : 19 dan 85 di atas.

Hadis kedua berkaitan dengan riwayat tentang upaya Rasul melakukan sosialisasi ajaran Islam kepada para penguasa di beberapa daerah sekitar, yakni Romawi, Persia, Mesir, dan lain-lain yang diungkap dalam kitab al-Tabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’d. Namun, tampaknya karena riwayat tentang hal ini cukup panjang, maka tidak ditulis secara lengkap dalam fatwa ini.[11]

Beberapa riwayat lain juga menceritakan pergaulan Rasulullah dengan umat lain secara baik. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai riwayat yang diungkap oleh al-Bukhari[12] maupun Muslim[13]. Sama dengan riwayat sebelumnya, fatwa ini juga tidak mengungkap hadis-hadis itu, karena memang terlalu banyak untuk diungkap, tetapi dengan mengungkap referensi yang ada sudah cukup memadai untuk bisa ditelusuri dan dikonfirmasi.

Tampaknya, fatwa ini pun lebih bersifat informasi yang disampaikan khususnya untuk umat Islam sebagai tuntunan bagi kehidupan mereka. Sebab, pada era informasi ini, tiga paham yang berasal dari Barat tersebut begitu banyak muncul dalam berbagai media. Dalam kesempatan-kesempatan seperti diskusi, seminar, dialog, dan sejenisnya, kaum pluralis, liberal, dan sekuler ini begitu lantang menyuarakan mereka dengan retorika dan cara berfikir mereka yang seakan merekalah yang paling benar. Padahal, bila ditelusuri lebih jauh, maka bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya.

Beberapa ayat dan hadis yang digunakan dalam fatwa ini secara umum menggambarkan apa yang harus dipegangi dalam kehidupan dan bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap terhadap sesama manusia dengan keyakinan berbeda. Selain itu, digambarkan pula bahwa mengikuti hawa nafsu dalam menyikapi permasalahan hidup dan menetapkan pilihan, hanya akan merusak alam dan kehidupan ini. Dalam kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulullah terdapat banyak hal yang dapat dicontoh berkaitan dengan kehidupan yang heterogen.

Dalam kehidupan sebagian manusia Indonesia saat ini, tampaknya tiga paham ini adalah paham yang benar, karena dianggap sesuai dengan logika. Oleh karena itu, MUI memberikan arahan berkaitan dengan hal ini sesuai dengan ajaran Islam.

Permasalahan tentang tiga faham ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa Rasulullah, pandangan seperti diungkap di atas telah ada dan dianut oleh orang-orang semacam Abdullah ibn Ubay ibn Salul[14]. Dalam penjelasan tentang sikap kelompok Abdullah ibn Ubay ibn Salul ini, Abdullah al-Fauzan mengemukakan bahwa mereka memiliki sikap mendustakan Rasul dan apa yang dibawanya, membenci Rasul dan syariah yang dibawanya, dan tidak suka melihat Islam menang.[15] Sikap seperti yang dikemukakan al-Fauzan sering sekali tampak pada sikap orang yang memiliki pemahaman dengan tiga paham ini.

Dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode ijtihād ta¯bīqī dengan meperhatikan konsep mura'at al-khilaf, yakni dengan menempatkan dan memberlakukan semua dalil dalam hal ini. Hal ini ditunjukkan dengan menetapkan bahwa menggunakan tiga faham ini dalam kehidupan sosial dan ekonomi boleh saja dilakukan. Tetapi dalam hal aqidah, keyakinan, dan ibadah, ketiganya tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, fatwa ini menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, faham ini memang pada awalnya adalah terkait dengan aqidah dan ibadah. Akan tetapi pada poin selanjutnya, fatwa menunjukkan bahwa umat Islam boleh bergaul dengan umat lain dalam kaitan sosial yang tidak berkaitan dengan masalah ibadah.

B. Ma`ālāt al-Af’āl dalam Fatwa Bidang Ibadah

Penerapan konsep ma`ālāt al-af’āl dalam fatwa MUI bidang ibadah tercermin pada beberapa fatwa berikut:

1. Wakaf uang

Berbeda dengan paradigma wakaf pada umumnya yang didefinisikan sebagai menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya, sehingga yang dianggap sebagai harta wakaf hanyalah benda-benda tidak bergerak dengan tanpa mengurangi manfaatnya. Pada tahun 2002, MUI memfatwakan kebolehan mewakafkan uang yang dapat digunakan untuk hal-hal yang mubah, dengan syarat nilai pokok wakaf tetap lestari, tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan.[16]

Beberapa ayat yang digunakan sebagai landasan antara lain QS. Ali Imran [3]: 92, QS. Al-Baqarah [2]: 261 dan 262[17]. Tiga ayat tersebut berkaitan dengan infaq dan sadaqah. Ali Imran: 92 umpamanya, menjelaskan bahwa kebajikan tidak bisa diperoleh bila belum bisa berinfaq dengan apa yang disukai. Al-Baqarah: 261 memberitahukan bahwa Allah menjanjikan 700 kali lipat balasan bagi orang yang berinfaq fi sabilillah[18] dengan memberikan perumpamaan menanam biji yang tumbuh dan membuahkan 700 biji sebagai hasil perkembangan dari infaq tersebut. Ayat berikutnya menjelaskan tentang sadaqah yang mendapat balasan sempurna adalah yang tidak disertai dengan kata-kata kasar. Sebab, hal itu dapat merusak pahala yang seharusnya diberikan kepadanya.

Di samping ayat-ayat di atas, juga digunakan beberapa hadis sebagai dasar penetapan fatwa ini. Hadis pertama yang dijadikan landasan fatwa ini adalah hadis tentang terputusnya pahala seorang manusia dengan terputusnya kehidupannya, kecuali tiga hal, yakni amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan doa anak salih.[19]

Hadis kedua adalah riwayat tentang solusi Rasulullah saw terhadap permasalahan yang dikemukakan oleh Umar berkaitan dengan tanah bagiannya yang ada di Khaibar. Dalam hal ini Rasul mengusulkan agar Umar mewakafkan tanah tersebut untuk kepentingan umum.[20] Hadis ini dianggap sebagai cikal bakal adanya wakaf.

Hadis lain yang diungkap dalam fatwa ini adalah hadis yang berkaitan dengan syarat waqaf. Hadis ini juga berkaitan dengan waqaf tanah Umar ibn Khattab di Khaibar. Di antara syarat yang diungkap hadis ini adalah bahwa tanah wakaf itu tidak dijual dan tidak diwariskan.[21]

Hadis senada juga diungkap dalam fatwa ini. Hadis ini menyatakan bahwa apa yang ingin diwakafkan Umar adalah harta terbaik yang dimilikinya.[22]

Fatwa ini juga mengungkap bahwa para sahabat sudah membiasakan diri untuk berwakaf bila mereka memiliki kemampuan untuk itu. Riwayat tentang hal ini memang bukan sebuah hadis, tetapi hanya pernyataan seorang sahabat yang menyaksikan bahwa para sahabat banyak yang mengamalkan wakaf ini. Hal ini diungkap di antaranya oleh Wahbah al-Zuhaili dan al-Khatib al-Syarbini.[23]

Di samping pendapat di atas, MUI juga mencantumkan beberapa pendapat lain yang dikutip dari berbagai referensi. Sayangnya, MUI hanya mencantumkan pendapat yang akan mendukungnya untuk menyatakan bahwa wakaf tunai itu boleh.

Dalam fatwa ini, MUI tampaknya kurang mengakomodasi pendapat ulama secara memadai. Sebab, ternyata jumhur ulama menyatakan bahwa wakaf tunai hukumnya tidak boleh karena pemanfaatannya hanya dapat dilakukan dengan merusaknya.[24] Hal ini sebenarnya diungkap juga oleh al-Mawardi. Ketika dia menjelaskan tentang wakaf dinar dan dirham, ia menjelaskan bahwa wakaf kedua hal tersebut tidak boleh, karena pemanfaatannya harus dilakukan dengan menghabiskannya, seperti wakaf makanan yang hanya bermanfaat bila dihabiskan dengan memakannya. Akan tetapi, ia juga menjelaskan bahwa Abu Saur meriwayatkan dari al-Syafii bahwa ia membolehkan wakaf keduanya[25].

Seharusnya, MUI memaparkan pendapat-pendapat yang ada secara seimbang kemudian diberikan argumen masing-masing baru didialogkan. Setelah itu, ditentukan yang dianggap paling kuat yang kemudian dijadikan sebagai landasan fatwa. Memang, dalam fatwa ini diungkap juga bahwa perlu dilakukan penyempurnaan terhadap definisi wakaf, yang selama ini dipahami harus berupa benda tetap yang tidak habis bila dimanfaatkan. Definisi yang dirumuskan oleh MUI dalam rapat Komisi Fatwanya pada tanggal 11 Mei 2002 menyatakan bahwa "wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut untuk disalurkan pada sesuatu yang mubah yang ada". Definisi ini sesungguhnya bukan rumusan orisinal Komisi Fatwa sebagai hasil rapatnya. Jauh sebelum MUI merumuskan, al-Khatib al-Syarbini dari kalangan mazhab al-Syafi'i, sudah merumuskan definisi yang senada dengan definisi di atas[26].

Dari segi metodologis, tampaknya apa yang dilakukan oleh MUI dalam fatwa ini, meskipun dalam fatwa diungkap bahwa definisi wakaf merupakan hasil rumusan rapat, tetapi ternyata sudah diungkap oleh para ulama terdahulu. Definisi yang sama juga dapat ditemukan dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh[27] karya al-Zuhaili, atau bahkan dalam al-Qamus al-Fiqhi[28] karya Sa'di Abu Jaib. Ini berarti bahwa sesungguhnya MUI hanya melakukan tarjih saja dalam ijtihadnya.

Dalam pandangan al-Qaradawi, metode yang dilakukan oleh MUI ini adalah ijtihad intiqa`i, yakni mencari pendapat para ulama terdahulu dalam masalah yang sedang dibahas, kemudian memilih mana yang dianggap paling mendekati kebenaran.

Dalam pandangan al-Syatibi, ijtihād ta¯bīqī yang dilakukan MUI bisa dimasukkan dalam kategori ijtihād ta¯bīqī dengan memperhatikan konsep ma`alat al-af'al dengan metode al-hiyal yakni upaya cerdas dalam memahami sesuatu. Wakaf yang pengertian awalnya adalah menahan harta untuk diambil manfaatnya dengan mempersyaratkan kekalnya benda wakaf dialihkan menjadi sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dengan kekalnya benda atau nilai benda wakaf itu. Dengan demikian, wakaf yang pada mulanya hanya boleh pada benda-benda tidak bergerak seperti tanah dan rumah dapat dikembangkan menjadi wakaf pada benda-benda bergerak, termasuk wakaf tunai atau uang.

2. Zakat Penghasilan

Berkaitan dengan masalah harta yang harus dikeluarkan zakatnya, MUI memfatwakan keharusan mengeluarkan zakat dari penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, rutin atau tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Semua penghasilan ini harus dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab yakni 85 gram emas dalam satu tahun. Waktu pengeluaran zakatnya adalah saat menerima, jika sudah mencukupi nisab. Jika tidak, maka dikumpulkan selama satu tahun, dan dikeluarkan saat penghasilan bersihnya sudah cukup nisab. Kadar yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.

Beberapa ayat digunakan sebagai dalil dalam fatwa ini, di antaranya QS. Al-Baqarah [2]: 267, 219, dan al-Taubah [9]: 103[29]. Al-Baqarah : 267 menjelaskan tentang perintah untuk berinfaq dari segala harta yang diperoleh dari wirausaha yang baik. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa perintah infaq dalam ayat ini mengandung makna infaq wajib dan infaq sunnah, sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa semua harta dapat dikenai kewajiban zakat.[30]

Al-Baqarah: 219 mengungkap pertanyaan tentang apa yang harus diinfaqkan, yang dijawab dengan kata الْعَفْوَ . Menurut Ibn Manzur, kata ini secara bahasa berarti الفضل[31](sisa), sehingga ayat ini seakan menjawab pertanyaan agar infaq dikeluarkan dari sisa harta. Al-Razi menjelaskan bahwa ayat ini turun sebelum perintah zakat turun. Ayat ini merupakan perintah untuk berinfaq dengan sesuatu yang berlebih sehingga tidak menimbulkan kesulitan, tetapi memberikan kemudahan bagi orang yang berinfaq[32].

Sedangkan al-Taubah: 103 menegaskan tentang perintah agar mengambil harta dari orang kaya sebagai sedekah yang menjadikan harta mereka suci dari hak orang lain. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini mengandung makna perintah sedekah wajib (zakat). Meskipun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini hanya berlaku bagi Rasulullah saw yang diperintah untuk mengambil harta dari orang kaya.[33] Tampaknya, MUI lebih memaknai ayat ini sebagai perintah untuk membayar zakat.

Di samping itu, beberapa hadis juga dijadikan sebagai dalil melengkapi ayat-ayat tersebut. Hadis pertama menjelaskan bahwa zakat itu tidak wajib kecuali sudah mencapai haul (setahun).[34] Dalam fatwa MUI, hadis ini tidak disebutkan perawinya. Tetapi, dalam penelusuran Penulis, hadis ini diriwayatkan di antaranya oleh al-Daraqutni secara mauquf.[35] Sama sekali berbeda dengan apa yang diungkap dalam fatwa sebagai hadis marfu’[36]. Hadis senada juga diriwayatkan dari Aisyah.[37]

Hadis kedua menjelaskan bahwa hamba sahaya dan kuda tidak dikenai kewajiban zakat[38]. Menurut Imam al-Nawawi, hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan, tidak dikenai kewajiban zakat.[39]

Hadis ketiga menegaskan bahwa orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang menerima pemberian.[40] Dalam penjelasan al-Aini (wafat 1451 M), tangan di atas adalah kiasan atas orang yang memberi, sedangkan tangan di bawah adalah kiasan bagi orang yang meminta[41]. Di samping itu, hadis ini juga memberi arahan tentang orang yang paling berhak atas sedekah, yakni orang yang paling dekat; dan sedekah paling baik adalah sedekah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan.

Hadis senada juga diungkap dalam fatwa ini. Akan tetapi, menurut penulis, mengungkap hadis tersebut adalah langkah yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan, karena sudah ada riwayat yang lebih lengkap dengan kualitas yang lebih baik.

Selain beberapa teks di atas, fatwa juga mengutip pendapat al-Qaradawi tentang harta yang harus dikeluarkan zakatnya, sebagai salah satu bahan pertimbangan fatwa ini.[42] Dalam pernyataan ini, al-Qaradawi secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak mewajibkan zakat pada setiap harta. Hanya yang sampai nisab, tidak terkait dengan hutang, dan kelebihan dari kebutuhan dasar saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Selanjutnya, dinyatakan juga bahwa nisab uang adalah senilai 85 gram emas. Dari pernyataan ini dapat ditangkap bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang telah sampai nisabnya, untuk uang senilai 85 gram emas, bersih dari kaitan hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan standar. Selama tiga hal itu belum tercapai, maka belum ada kewajiban zakat. Hanya saja, tidak ada petunjuk tentang hutang dan kebutuhan dasar seperti apa saja yang membuat tidak ada kewajiban zakat. Sebab, hutang adalah sebuah fenomena modern yang bukan hanya orang miskin saja yang melakukannya. Demikian juga dengan kebutuhan dasar, perlu ada penyetaraan standar dalam hal ini.

Secara metodologis, fatwa ini diterbitkan dengan menggunakan metode tarjih, yakni dengan mengemukakan berbagai pendapat ulama terkait dengan masalah yang sedang dikaji, kemudian disimpulkan yang dianggap paling mendekati kebenaran. Dalam hal ini, tampaknya pendapat al-Qaradawi menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian khusus, paling tidak, dalam hal yang terkait dengan nisab.

Penulis sepakat dengan fatwa ini yang menyatakan bahwa semua jenis penghasilan yang halal meskipun tidak rutin tetap harus dikeluarkan zakatnya, bila sudah sampai nisabnya. Hanya saja, dalam hal waktu pengeluaran dan nisab zakat penghasilan, penulis melihat adanya inkonsistensi dalam proses berfikir analogis dalam fatwa ini. Dalam hal waktu pengeluaran zakat, fatwa ini menunjukkan bahwa zakat dikeluarkan saat penghasilan diterima bila sudah mencukupi nisab. Karakter seperti ini hanya ada dalam zakat pertanian, yang nisabnya adalah 653[43] kg beras dan yang harus dikeluarkan adalah 5 % bila dengan pembiayaan dan 10 % bila tanpa pembiayaan seperti sawah tadah hujan, dalam bahasa modern, mungkin disebut sebagai passive income. Akan tetapi fatwa ini menunjuk bahwa harta yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % yang merupakan kewajiban bagi emas dan perak. Dalam hal penghasilan yang tidak mencapai nisab, fatwa ini menunjuk agar penghasilan “bersih” dikumpulkan dalam satu tahun. Hal ini juga mengundang pertanyaan lebih lanjut. Sebab, dalam hal perniagaan, yang harus dikeluarkan zakatnya bukanlah labanya saja, tetapi 2,5 % dari total asset yang dimiliki oleh pengusaha tersebut. Juga dalam hal pertanian, yang dihitung menjadi nisab bukan pendapatan minus biaya, tetapi pendapatan yang ada bila mencapai nisab maka harus dikeluarkan 5 % karena ada biaya dalam mengelolanya sampai menghasilkan.

Seharusnya, bila MUI menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya dalam fatwa ini, maka ia harus melakukannya dengan cara yang benar dan konsisten. Tentukan ’illah-nya dengan berbagai masalik al-’illah, baru kemudian dianalogikan secara konsisten. Sehingga, hasil yang ditetapkan pun menjadi tepat. Dalam hal zakat penghasilan umpamanya. Yang harus disamakan adalah ’illah-nya, yakni berupa karakter zakat penghasilan disamakan dengan berbagai zakat yang ada.

Dalam hal waktu pengeluaran zakat harta, hanya ada dua cara saja, yakni dikeluarkan saat panen atau saat mendapatkan, untuk zakat pertanian, barang temuan, barang tambang; dan saat satu haul untuk zakat perniagaan, ternak, emas dan perak. Dalam hal pengeluaran zakat saat panen, penghitungan zakat hanya dilakukan pada hasil panen saja, tidak terkait dengan aset yang dimiliki, baik berupa tanah maupun lainnya; demikian juga dengan barang tambang dan barang temuan. Sedangkan pengeluaran zakat saat satu haul, maka bila berupa hewan ternak, maka penghitungannya sesuai dengan tuntunan yang ada. Juga berkaitan dengan harta zakat yang dikeluarkan. Bila berupa harta perniagaan, maka semua aset harus dihitung, kemudian disesuaikan nisabnya dengan emas, baru dikeluarkan zakatnya 2,5 %.

Tampaknya, karakter yang dimiliki oleh penghasilan/profesi lebih dekat dengan zakat pertanian, sehingga analogi yang paling tepat adalah menggunakan konsep zakat pertanian sebagai asl al-hukm. Dengan demikian, bisa saja penghasilan dalam sebulan dikumpulkan bila sudah sampai nisab, baru dikeluarkan 5 % dari penghasilan itu sebagai harta zakat yang harus dikeluarkan.

Dalam konsep al-Qaradawi, ijtihad yang dilakukan oleh MUI digolongkan ke dalam ijtihad intiqa`iy, yakni mengurai kembali apa yang telah diungkap sebelumnya dan memilih yang dianggap paling sesuai dengan kondisi saat fatwa ini diterbitkan.

Dalam konsep al-Syatibi, apa yang dilakukan MUI dalam fatwa ini termasuk dalam ijtihād ta¯bīqī dengan memperhatikan ma`alat al-af'al dan menggunakan ­al-hiyal. Sebab, hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada petunjuk yang memerintahkan atau mengarahkan. Zakat adalah salah satu bentuk ibadah yang harus sudah dicontohkan. Akan tetapi, bila hanya mengandalkan pada teks yang secara eksplisit menyatakan perintah zakat, maka akan terjadi kesulitan dalam melaksanakan rukun Islam ini. Oleh karena itu, penggunaan dalil tentang sedekah yang terkandung di dalamnya makna zakat sebagai sedekah wajib adalah cara yang tepat. Dalam hal pelaksanaannya, penggunaan analogi dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya juga merupakan cara yang sangat tepat, agar zakat dapat dilakukan siapapun dimanapun. Hal ini tentunya agar maqasid Syariah dalam hal zakat dapat tercapai.

3. Doa Bersama

Fatwa ini muncul akibat dari adanya kegelisahan di kalangan umat Islam ketika melihat umat Islam yang melakukan doa dalam acara-acara resmi kemasyarakatan dan kenegaraan bersama dengan penganut agama lain di tempat yang sama. Mereka mempertanyakan tentang hukum doa bersama umat Islam dengan umat lain.

Dalam fatwa ini, MUI memfatwakan bahwa doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam, sehingga hal ini dianggap bid’ah. Doa bersama dalam bentuk berdoa secara bergiliran di antara pemuka agama, maka orang Islam Haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim. Bila doa itu dilakukan secara serentak antara muslim dan non-muslim, juga haram. Seorang muslim juga haram mengikuti doa yang dipimpin oleh orang non-muslim. Adapun bila doa itu dipimpin oleh seorang muslim, atau setiap orang berdoa menurut agama masing-masing, maka hukumnya adalah mubah.

Dalam penjelasan fatwa ini disebutkan bahwa doa bersama adalah doa yang dilakukan secara bersamaan baik dengan cara dipimpin oleh satu orang, yang lain mengamini; atau dipimpin oleh beberapa orang secara bergantian; atau setiap orang berdoa menurut agama masing-masing secara bersama-sama. Dalam Islam, doa adalah ibadah; doa hanya boleh dipanjatkan kepada Allah swt saja. Oleh karenanya, bila doa dipimpin oleh orang non-muslim yang tentu doanya ditujukan kepada selain Allah, maka orang muslim tidak boleh mengamininya. Tetapi, bila yang memimpin itu muslim, maka orang muslim boleh mengamininya, meskipun sedang bersamaan dengan orang non-muslim.

Larangan doa bersama ini sesungguhnya bukan berarti sedang mengebiri kebebasan dan hak seseorang untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing, tetapi untuk menjaga kemurnian aqidah dan ibadah umat Islam. Kalau non-muslim ikut mengamini doa yang dipimpin oleh muslim, maka itu adalah hak dia, tetapi dalam Islam hal itu tidak diperbolehkan. Oleh karenanya, disarankan untuk muslim agar tidak menghadiri acara keagamaan agama lain; bila terpaksa, maka ia harus bersifat pasif dan tidak turut mengamini doa yang dipimpin oleh pemuka agama lain. Ada batasan toleransi dalam kehidupan beragama dalam Islam. Dalam masalah akidah dan ibadah, Islam tidak memperkenankan umatnya untuk mencampuradukkan dengan ajaran agama lain. Dalam masalah sosial, Islam memperbolehkan kita tetap bergaul bersama dengan non-muslim.

Fatwa ini dikeluarkan atas dasar ayat-ayat al-Quran, di antaranya: QS. al-Naml [27]: 62[44] mempertanyakan sesungguhnya siapa yang akan mengabulkan doa, apa ada yang melakukannya selain Allah?; al-Maidah [5]: 73[45] menjelaskan tentang orang yang menyatakan bahwa Allah itu terdiri dari tiga maka ia telah dinyatakan kafir; Ghafir [40]: 50[46] menyatakan bahwa doa orang kafir berada dalam kesesatan; al-Furqan [25]: 68[47] menyatakan bahwa orang berdoa kepada selain Allah, membunuh, dan berzina, maka ia telah mendapat banyak dosa; al-Baqarah [2]: 42[48] menjelaskan larangan mencampuradukkan haq dan batil; dan al-Kafirun [109]: 1 – 6[49] yang secara tegas memisahkan antara dua agama yang berbeda.

Selain ayat-ayat di atas, fatwa ini juga didasarkan pada hadis riwayat al-Tirmizi bahwa doa adalah inti dari pada ibadah.[50] Sebagian besar ahli hadis menyatakan bahwa hadis ini da'if[51].

Di samping itu, fatwa ini juga menjadikan kaidah fiqh bahwa hukum asal ibadah adalah mengikuti petunjuk dan contoh dari nabi sebagai salah satu bahan pertimbangan, di samping pendapat para ulama masa lalu yang diungkap dalam berbagai literatur klasik, salah satunya diungkap dalam kitab Mughni al-Muhtaj, yang menjelaskan bahwa doa orang kafir tidak diterima.[52]

Dalam penyimpulan hukum fatwa ini, MUI mendasarkannya kepada ayat-ayat al-Quran. Meskipun tidak ada larangan dalam bentuk fi’il nahy, atau larangan dalam bentuk lainnya, cukuplah pemberitahuan akan kesesatan orang yang berdoa kepada selain Allah itu sebagai bentuk larangan[53]. Apalagi, Rasul saw tidak pernah mencontohkan doa bersama dengan kaum Yahudi atau Nasrani, lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa doa bersama tidak pernah dicontohkan yang bisa berarti tidak boleh dilakukan. Ditambah lagi dengan pendapat para ulama yang diungkap dalam kitab mereka pun menyatakan ketidakbolehan doa bersama[54]. Fatwa ini juga menyebut beberapa referensi seperti Fath al-Wahhab dan al-Majmu', tetapi tidak mencantumkan teks dari referensi tersebut sedikitpun.

Berkaitan dengan hadis yang digunakan dalam fatwa ini, yakni hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi adalah hadis gharib yang telah ditegaskan sebagai hadis daif oleh banyak kalangan di antaranya Jalaluddin al-Suyuti[55]. Seharusnya, selagi masih ada hadis yang dianggap lebih sahih seperti diungkap oleh Ibn hajar al-Asqalani[56] MUI tidak perlu menggunakan hadis yang masih diperdebatkan kesahihannya.

Dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode tarjih. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan dan mengungkap berbagai pendapat para ulama terdahulu, membandingkannya, dan memilih pendapat yang dianggap paling kuat di antara pendapat-pendapat itu. Hal ini sesuai dengan ijtihad intiqa`iy yang dikemukakan oleh al-Qaradawi.

Dalam konsep al-Syatibi, ijtihād ta¯bīqī yang dilakukan oleh MUI dalam fatwa ini adalah ijtihād ta¯bīqī dengan sadd al-zari'ah. Secara istinbati, para ulama menyimpulkan bahwa doa bersama adalah haram. Hal ini kemudian difatwakan oleh MUI dengan merinci doa bersama seperti apa saja yang dibolehkan dan apa yang tidak boleh. Upaya merinci cara doa bersama yang boleh dan tidak boleh ini dilakukan untuk menutup jalan (sadd al-zari'ah) agar tidak terjadi mafsadah berupa tercampurnya akidah keimanan Islam dengan kekafiran.

C. Ma`ālāt al-Af’āl dalam Fatwa Bidang Sosial Kemasyarakatan

Penerapan konsep ma`ālāt al-af’āl dalam fatwa MUI bidang sosial kemasyarakatan tercermin pada beberapa fatwa berikut:

1. Bias Jender, 2000

Fatwa ini belum memberikan solusi tuntas berkaitan dengan bias jender yang seharusnya difahami. Sebab, fatwa ini hanya menyatakan bahwa MUI mewajibkan kepada umat Islam untuk memahami masalah jender sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya, fatwa ini memberikan amanat kepada Dewan Pimpinan MUI untuk segera merumuskan ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah jender. Di samping itu, MUI juga mewajibkan para ulama untuk melakukan kajian jender dengan penafsiran yang jujur.[57]

Fatwa ini, tampaknya, merupakan wujud dari kegelisahan para ulama terhadap berkembangnya pandangan tentang perbedaan jender. MUI menerbitkan fatwa ini dengan maksud untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam memahami masalah jender. Sayangnya, fatwa ini tidak memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang panduan untuk memahami jender sesuai dengan ajaran Islam.

Tidak ada satu dalil pun diungkap dalam fatwa ini sebagai landasan berfikir. Fatwa hanya menyatakan bahwa al-Quran menjelaskan tentang kesetaraan jender dan batas-batasnya. Fatwa ini juga menyebutkan bahwa hadis-hadis juga menjelaskan tentang hal yang sama. Dilengkapi pula dengan pendapat para ulama berkaitan dengan hal ini. Hanya saja, fatwa tidak memberikan sedikitpun petunjuk tentang ayat-ayat al-Quran yang mana saja yang menunjukkan tentang jender. Demikian pula dengan hadis-hadis yang dimaksud, tidak ada penjelasan sedikitpun tentang ini. Pendapat para ulama juga tidak ditunjukkan secara pasti ulama mana saja yang mengemukakan dan menjelaskan tentang jender.

Secara metodologis, tampaknya MUI hendak menggunakan metode tarjih dalam fatwa ini. Hanya saja, karena fatwa ini diterbitkan saat MUNAS VI tahun 2000, penulis menduga bahwa fatwa ini, mungkin, tidak terkonsep dengan baik sehingga saat pengambilan keputusan, hal-hal yang mestinya dimunculkan dalam fatwa tidak terakomodasi secara baik. Hal ini dapat diketahui dari rekomendasi fatwa ini yang memberikan amanat kepada Dewan Pimpinan untuk membuat rumusannya sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut Penulis, fatwa ini diterbitkan berdasarkan konsep sadd al-zari'ah dalam ijtihād ta¯bīqī-nya. Tampaknya, pemahaman tentang jender yang banyak beredar di kalangan masyarakat, terutama umat Islam membuat kekhawatiran di kalangan ulama MUI. Untuk menghindari kesalahan dalam memahami jender, perlu dibuat standar pemahamannya. Untuk itulah amanat penyusunan panduan tentang jender sesuai ajaran Islam diberikan kepada Dewan Pimpinan MUI, sehingga tidak terjadi pemahaman yang bias. Hal ini dilanjutkan dengan mewajibkan para ulama untuk melakukan kajian jender dengan penafsiran yang jujur.

2. Fatwa tentang pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri

Pengiriman TKW ke luar negeri mengaruskan seorang perempuan pergi sendirian tanpa disertai mahram. Padahal, dalam prinsip Islam, seorang wanita ketika ia pergi ke luar kota atau luar negeri, ia harus disertai mahram atau seorang wanita yang bisa dipercaya (niswah siqah). Fatwa ini menegaskan bahwa bila seorang wanita bepergian ke luar kota atau luar negeri tanpa mahram atau wanita yang dapat dipercaya (niswah siqah), maka hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara syariat, perundang-undangan, dan tradisi, serta keamanan dan kehormatannya dapat dijamin. Hukum haram juga berlaku untuk berbagai pihak yang terlibat dalam pengiriman dan penerimaan TKW. Pemerintah sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keselamatan warganya harus menjamin dan melindungi keamanan dan kehormatan TKW baik di negaranya sendiri saat sebelum pengiriman sampai di tempat mereka bekerja dengan memberikan lembaga perlindungan hukum. Atau bisa juga pemerintah mendelegasikan kepada kelompok yang ditugasi untuk memberikan perlindungan terhadap para TKW. [58]

Fatwa ini dilandaskan pada QS. Al-Nur [24]: 31[59] yang menjelaskan keharusan perempuan menjaga kehormatan dan larangan memperlihatkan aurat[60]-nya kepada orang lain, kecuali kepada mahram[61]-nya orang-orang tertentu saja. Di samping ayat ini, fatwa ini juga menggunakan hadis tentang larangan berkhalwat antara seorang laki-laki dan perempuan, serta larangan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa mahram.[62] Dalam fatwa disebutkan bahwa hadis ini adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim. Redaksi yang digunakan dalam fatwa ini adalah riwayat Muslim.

Hadis lain yang digunakan dalam fatwa ini adalah hadis riwayat Muslim yang menjelaskan tentang larangan seorang wanita melakukan perjalanan lebih dari tiga hari kecuali didampingi mahramnya.[63] Dalam kaitan ini, sebenarnya ada beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, di antaranya membatasi bepergian semalam, sehari semalam, dan tiga hari atau lebih. Hadis lain yang digunakan dalam fatwa ini adalah hadis لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ yang telah dibahas dalam bab sebelum ini.

Di samping ayat dan hadis di atas, fatwa juga menggunakan empat kaidah tiga kaidah fiqh. Kaidah pertama adalah kaidah menghindari mafsadah lebih diutamakan dari pada mencari maslahah. Kaidah kedua adalah al-hajah (kebutuhan sekunder) yang masyhur menempati posisi darurat. Dan kaidah ketiga, darurat dapat menyebabkan yang haram menjadi boleh.[64] Ketiga kaidah ini digunakan oleh MUI dalam fatwa ini untuk menjelaskan bahwa dalam pengiriman TKW ke luar negeri harus dipertimbangkan mafsadah dan maslahatnya. Bila terdapat mafsadah, maka maslahat harus ditinggalkan demi menghindari maslahat. Akan tetapi, bila di dalamnya terdapat kebutuhan yang mendesak, maka hal itu bisa dimasukkan dalam kondisi darurat. Dan sudah sama-sama dimaklumi bahwa dalam kondisi darurat, yang haram dapat dibolehkan, dalam batasan tertentu.

Secara metodologis, fatwa ini menggunakan metode tarjih dengan mengungkap ayat, hadis, dan kaidah fiqh yang relevan dengan masalah ini. Simpulan yang dikemukakan adalah simpulan yang dapat langsung diterapkan pada individu atau institusi yang terkait dengan masalah pengiriman TKW ke luar negeri. Dalam hal niswah siqah yang diungkap dalam fatwa, tampaknya MUI mencoba menafsirkannya dengan semacam perwakilan di masing-masing negara tempat TKW dikirim yang bertugas memberikan perlindungan kepada para TKW.

Dalam pandangan al-Syatibi, fatwa ini menggunakan konsep sadd al-zari'ah dengan menyatakan bahwa pengiriman TKW tanpa disertai niswah siqah adalah haram. Hal ini disebabkan kemungkinan terjadinya mafsadah jauh lebih besar daripada maslahah yang mungkin didapat.

3. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama dalam fatwa ini sesungguhnya merupakan pengulangan dari fatwa yang telah diterbitkan dalam MUNAS II tahun 1980 dengan judul perkawinan campuran. Fatwa kedua ini diterbitkan pada MUNAS VII MUI dengan nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tahun 2005 di Jakarta.

Permasalahan nikah beda agama sudah sejak lama menjadi pertanyaan umat Islam. Apalagi ketika ada public figure yang menikah beda agama. Hal ini sering menjadi perdebatan di antara sesama umat Islam sekaligus menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah ada yang mulai membenarkan perkawinan model ini dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan. Untuk meredam kegelisahan ini, MUI mengeluarkan fatwa untuk memberikan klarifikasi tentang hal ini. Sehingga, kegelisahan itu bisa terjawab dan masyarakat bisa menjalani kehidupan dengan normal dengan berpedoman pada fatwa ini.

Fatwa ini secara tegas menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram. Pernikahan beda agama, dalam segala bentuknya, termasuk perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad (pendapat yang bisa dipercaya) adalah haram dan tidak sah.

Banyak ayat yang dijadikan dasar atas pengharaman pernikahan beda agama yang dimunculkan dalam fatwa ini. QS. al-Nisa [4]: 3[65] memerintahkan untuk menikahi wanita yang disukai dengan jumlah maksimal empat orang dengan persyaratan tertentu; al-Rum [30]: 21[66] yang mengemukakan tentang nikah sebagai sarana untuk mendirikah sebuah rumah tangga yang nyaman, tenang dan tenteram; al-Tahrim[66]: 6[67] merupakan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka; al-Maidah [5]: 5[68] tentang kebolehan mengkonsumsi makanan ahlul kitab dan juga menikahi para wanitanya; al-Baqarah [2]: 221[69] merupakan ayat yang dengan tegas mengharamkan menikahi wanita musyrikah dan juga sebaliknya, menikahkan dengan lelaki musyrik; al-Mumtahanah [60]: 10[70] adalah larangan mengembalikan wanita muslimah ke negeri kafir; dan al-Nisa [4]: 25[71] merupakan jalan keluar bagi mereka yang tidak sanggup untuk menikahi wanita salihah muslimah, maka dibolehkan menikahi wanita yang strata sosialnya lebih rendah. Sebenarnya, ayat yang langsung membahas permasalahan pernikahan beda agama hanya al-Baqarah: 221 dan al-Maidah; 5 saja. Sementara, ayat-ayat lain digunakan untuk melengkapi fatwa ini, terutama terkait dengan tujuan utama pernikahan dan beberapa hal lain.

Tampaknya, MUI ingin menyatakan bahwa masalah pernikahan bukan hanya masalah cinta belaka, tetapi menyangkut banyak hal. Hal pertama adalah tujuan pernikahan yang utama adalah membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Masalah akidah adalah salah satu masalah prinsip yang sangat mendasar untuk sampai kepada tujuan itu. Oleh karena itu, al-Baqarah: 221 mengharamkan menikah dengan orang musyrik, meskipun secara fisik sangat menarik. Bahkan, lebih ditegaskan lagi bahwa wanita atau pria dengan kondisi fisik yang jauh dari kata cantik atau tampan dengan strata sosial yang sangat rendah dinyatakan jauh lebih baik, bila mereka memiliki iman, tidak musyrik.

Perbedaan pendapat timbul, ketika al-Maidah: 5 menyatakan kehalalan wanita kitabiyyah untuk dinikahi. Para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang menikahi wanita kitabiyyah ini. Al-Jaziri menjabarkan pendapat mereka dalam kitabnya secara rinci[72] sebagaimana diungkap dalam penjelasan fatwa ini[73].

Di samping ayat-ayat di atas, salah satu hal yang dipersyaratkan oleh rasul dalam memilih pasangan yang paling penting adalah agama[74]. Juga, kaidah fiqh درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (mencegah mafsadah lebih diutamakan dari mencari maslahat) menjadi salah satu pertimbangan dalam fatwa ini. Dalam hal ini, fatwa ini seakan memberi pesan bahwa apapun alasannya, menikah dengan pasangan berbeda agama tetap akan membawa dampak negatif bagi perkembangan keluarga, sehingga sebisa mungkin dihindari.

Dalam penjelasan fatwa ini disebutkan bahwa tidak setiap wanita halal dinikahi oleh seorang pria. Ada beberapa wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Dalam definisi fiqh, wanita-wanita itu disebut dengan mahram atau dalam Fiqh al-Sunnah disebut dengan al-muharramat[75]. Wanita dengan agama yang berbeda tidak boleh dinikahi oleh seorang muslim, begitu juga sebaliknya, sampai menjadi muslim/muslimah. Oleh karenanya, keharamannya bersifat sementara. Akan tetapi, surat al-Maidah [5]: 5 menyatakan bahwa di antara wanita yang halal dinikahi adalah wanita ahl al-kitab. Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yang menghalalkan secara mutlak, menyatakan boleh tapi makruh, dan yang mengharamkan. Pendapat yang menghalalkan pernikahan dengan wanita ahlul kitab dikemukakan oleh sebagian besar ahli fiqh, bahkan di antara mereka ada yang mengklaim ijma’ seperti al-Jassās[76] dan ibn Qudāmah[77]. Ahli fiqh yang menghukumi makruh di antaranya Imam Malik[78] dan para pengikutnya, juga mazhab Syafii[79]. Pendapat yang mengharamkan dikemukakan oleh mazhab al-Zaidiyah, mazhab yang tidak termasuk dalam empat mazhab yang mu’tabar.

Yang menarik dari fatwa ini adalah kesimpulan yang diambil oleh MUI berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama yang membolehkan, bahkan di antara mereka ada yang menyatakan sebagai ijma’ dalam hal pernikahan seorang muslim dengan wanita kitabiyyah. Mengenai pernikahan dengan wanita musyrikah memang semua menyatakan bahwa hukumnya haram, hal ini telah diungkap dalam fatwa MUI pada poin 1.

Sedangkan poin kedua menyatakan bahwa perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Tidak ada penjelasan tentang kata ‘qaul mu’tamad’ dalam fatwa ini. Penulis menduga bahwa pernyataan ini berarti pendapat yang bisa dijadikan sandaran, atau dengan kata lain pendapat yang paling kuat.

Hal lain yang menarik dalam fatwa ini juga bahwa poin yang disampaikan dalam fatwa ini berbeda dengan apa yang diungkap dalam ayat-ayat yang dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan fatwa ini. Bahkan dalam penjelasan fatwa ini, sebagian besar pendapat ulama mazhab menyatakan kebolehan pernikahan antara seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, meskipun ada yang menyatakan makruh. Yang mengharamkan, hanya mazhab al-Zaidiyah yang sesungguhnya tidak diperhitungkan dalam pertimbangan MUI, tetapi justru kesimpulan dalam fatwa ini sama dengan kesimpulan mazhab yang terakhir ini.

Meskipun dalam hal ini, MUI menggunakan kaidah mencegah mafsadah lebih diutamakan dari pada mencari maslahah dan kaidah sadd dzari’ah, tetap saja mengundang pertanyaan; sebab, keduanya tampak bertentangan dengan ayat al-Quran. Satu hal lagi yang disebutkan dalam fatwa ini, yakni bahwa fatwa semacam ini pernah dikeluarkan dalam Munas II tahun 1980. Dalam penelusuran yang dilakukan penulis, dasar hukum yang digunakan dalam fatwa MUNAS II di samping al-Maidah [5]: 5 yang menyatakan kehalalan menikahi wanita ahlul kitab, juga mengingatkan dengan surat al-Tahrim [66]: 6 yang memerintahkan agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka, kemudian diperkuat dengan hadis tentang fitrah yang kemudian dibentuk menjadi apapun oleh kedua orang tuanya. Dalam kesimpulannya fatwa MUI MUNAS II menyimpulkan bahwa dengan pertimbangan mafsadatnya lebih besar dari mashlahahnya, kemudian menyimpulkan bahwa pernikahan muslim dengan wanita kitabiyah dihukumi haram.

Tampaknya, fatwa ini keluar sebagai jawaban atas meningkatnya perhatian masyarakat terhadap pernikahan antaragama. Hal ini dipicu oleh terjadinya pernikahan antara seorang muslimah dengan seorang pria non-muslim yang diberitakan dalam harian Sinar Harapan di Jakarta pada bulan Agustus 1975. Perkawinan ini disebut-sebut sebagai perkawinan Pancasila. MUI daerah Jakarta merasa bahwa sebutan perkawinan Pancasila sebagai penghinaan dan merasa perlu mengeluarkan pernyataan untuk memberikan tuntunan bagi umat Islam dalam masalah semacam ini. Dalam pernyataan itu, Majelis menekankan bahwa perkawinan bagi umat Islam bukan hanya perjanjian lahiriyah mengenai kelangsungan keturunan saja, tetapi merupakan ikatan suci yang bertujuan mencapai kebahagiaan dan taqwa kepada Allah. Oleh karenanya, ketaatan pada agama yang sama adalah syarat mutlak dalam sebuah perkawinan, dan Islam melarang perkawinan antara muslimah dengan pria non-muslim. Dalam pernyataan itu, masih diakui bahwa perkawinan seorang muslim dibolehkan menikah dengan wanita ahlul kitab, asal dia yakin benar bahwa dia bisa membawa anak-anaknya menuju jalan Islam.[80] Seminggu setelah pernyataan itu dikeluarkan, MUI daerah Jakarta kembali mengeluarkan pernyataan yang memperkuat pernyataan sebelumnya dengan menambahkan argumen dari kitab-kitab seperti al-Manar[81], fi Zilal[82], dan al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah[83]. Argumen dalam kitab-kitab ini tidak mengizinkan seorang muslimah menikah dengan seorang pria non-muslim, musyrik ataupun ahlul kitab. Izin hanya bisa diberikan kepada pria muslim untuk menikah dengan wanita ahlul kitab.

Dari sisi metodologis, tampaknya MUI berupaya melakukan tarjih dengan menjelaskan kesimpulannya didasarkan pada qaul mu’tamad. Artinya, fatwa didasarkan pada apa yang paling bisa dijadikan sebagai dalil fatwa. Bisa dikatakan bahwa MUI melakukan penelusuran terhadap pendapat ulama berkaitan dengan menikahi wanita kitabiyah. Pendapat para ulama itu kemudian dipilih yang dianggap paling kuat yang kemudian dijadikan simpulan fatwa ini. Akan tetapi, ternyata pendapat yang dianggap lebih kuat bukanlah pendapat para imam mazhab yang empat yang menyatakan kebolehan seorang muslim menikahi wanita kitabiyyah. Hal seperti ini tentunya bukanlah ijtihad dengan metode tarjih sebagaimana yang diungkap oleh pedoman fatwa MUI. Dalam hal ini, MUI memilih alternatif lain yang dianggap lebih maslahat dengan menggunakan kaidah sadd al-zari'ah, yakni menutup jalan yang sangat dimungkinkan akan terjadinya mafsadah.

Dalam pandangan al-Qaradawi, hal ini dapat dikategorikan dalam ijtihād intiqā`i, karena apa yang dikemukakan MUI bukan merupakan pendapat yang sama sekali baru. Pendapat itu sudah dikemukakan oleh beberapa ulama, salah satunya diungkap oleh Ali al-Sabuni yang mengutip pendapat Ibn Umar tentang kemusyrikan ahl al-kitab.[84] Dengan demikian, meskipun tidak didasarkan pada sadd al-zari'ah sekalipun, MUI dapat saja menggunakan pendapat yang dianggap lebih kuat.

Dalam pandangan al-Syatibi, hal ini sesuai metode ijtihād ta¯bīqī menggunakan ma`ālāt al-af'āl dengan sadd al-zari'ah, yakni mengungkap berbagai pendapat yang ada dan memutuskan yang terbaik yang bisa digunakan pada masa fatwa ini diungkap. Sesungguhnya, MUI bisa saja menggunakan tahqiq al-manat al-khas dengan mencocokkan kriteria ahl al-kitab pada masa sekarang ini, kemudian ditetapkan bahwa kelompok ini sudah tidak ditemukan lagi, yakni sekelompok penganut kitab samawi yang konsisten. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan. MUI lebih memilih menggunakan sadd al-zariah untuk ijtihād ta¯bīqī -nya dalam fatwa ini.

4. Kewarisan Beda Agama

Masalah kewarisan adalah konsekwensi dari sebuah pernikahan. Seiring dengan merebaknya masalah pernikahan beda agama, masalah kewarisan beda agama pun sering mengemuka dan menjadi permasalahan dalam masyarakat. Hal ini, tentunya juga menimbulkan kegelisahan di dalam masyarakat.

Sebagai Khadimul Ummah, MUI tentunya memiliki perhatian yang serius terutama pada hal-hal yang menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam. Dengan latar belakang inilah kemudian fatwa ini dikeluarkan.

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini menyatakan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama, muslim dan non-muslim. Pemberian harta di antara mereka hanya dapat dilakukan melalui hibah, wasiat, dan hadiah.

Argumen yang dimunculkan dalam fatwa ini adalah ayat-ayat al-Quran surat al-Nisa [4]: 11[85] yang menjelaskan tentang orang-orang yang berhak atas harta warisan peninggalan orang yang meninggal dunia; dan potongan ayat al-Nisa : 141[86] yang menjelaskan tentang tidak adanya kemungkinan Allah memberikan peluang bagi orang kafir atas orang mukmin.

Di samping ayat-ayat di atas, beberapa hadis yang menjelaskan ketidakbolehan seorang kafir mewarisi orang muslim dan sebaliknya[87]. Dua hadis di atas dengan tegas mengemukakan ketidakbolehan kewarisan antara dua orang yang menganut agama yang berbeda, antara muslim dengan kafir, baik nashrani, yahudi, ataupun lainnya.

Tampaknya, MUI tidak menambah lagi dengan argumen lain yang mendukung al-Quran dan al-hadis di atas, sebab keduanya sudah begitu tegas memberikan argumen ketidakbolehan pewarisan antara muslim dan non muslim.

Dalam argumen yang disampaikan dalam fatwa ini, tampaknya ijtihad yang digunakan adalah ijtihād intiqā`iy, yakni melakukan inventarisasi pendapat masa lalu, kemudian memilih yang dianggap paling tepat dan paling kuat argumennya, dan melakukan tarjih terhadap pendapat itu. Memang, al-Quran tidak menjelaskan perihal kewarisan beda agama secara eksplisit, tetapi banyak pernyataan yang menegaskan agar umat Islam tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk mencelakai umat Islam[88].

Pemberian harta yang diungkap dalam poin kedua fatwa ini hanya dimungkinkan melalui hibah, wasiat dan hadiah. Dalam hal hibah dan hadiah, keduanya bisa dilakukan saat orang yang memberinya masih dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Dalam hal wasiat, maka hal itu juga dilakukan saat yang bersangkutan masih hidup dan baru dilaksanakan saat sudah meninggal. Yang bermasalah adalah saat orang yang meninggal itu tidak memberikan wasiat apapun berkaitan dengan harta peninggalannya, dan bila ada di antara keluarganya yang non-muslim.

Hal ini kemudian diselesaikan dengan melakukan kompromi antara ayat waris yang ada pada surat al-Nisa [4]: 11, 12, dan 176 dengan surat al-Baqarah [2]: 180 yang menyatakan bila meninggal, maka harus berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat. Dalam kompromi yang dilakukan dapat dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa memang ayat-ayat ini dijadikan contoh untuk adanya ayat-ayat yang me-naskh ayat yang turun sebelumnya, yang berarti bahwa ayat waris dalam surat al-Nisa me-naskh ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi, bagi yang tidak menghendaki adanya naskh, maka harus dilakukan kompromi, dan hasilnya adalah bahwa wasiat itu diberikan kepada ahli waris yang berbeda agama sehingga menghalanginya untuk mendapatkan waris. Solusinya adalah diberikan wasiat wajibah[89].

Dalam fatwa ini, MUI melakukan ijtihadnya dengan metode al-jam'u wa al-taufiq, yakni melakukan kompromi antara satu dalil dengan dalil lain yang tampak bertentangan. Hal ini dilakukan dengan memberlakukan hukum waris yang diungkap oleh QS. Al-Nisa: 11, 12, dan 176 dengan tanpa menghapus hukum yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 180 yang menyatakan hukum kewarisan dengan menggunakan wasiat. Ini berarti bahwa meskipun seorang yang berbeda agama terhalang haknya untuk mendapat warisan, ia tetap bisa mendapatkan bagian harta melalui jalan wasiat sebagaimana dipesankan oleh al-Baqarah :180.

Dalam konsep al-Syatibi, metode yang dilakukan oleh MUI dalam fatwa ini adalah ijtihad dengan memperhatikan ma`alat al-af'al dengan mura'at al-khilaf, yakni memberikan hukum bagi masing-masing dalil yang tampak bertentangan. Dua dalil yang tampak bertentangan itu adalah ayat waris dan ayat wasiat. Beberapa ulama menyebutkan bahwa ayat waris menaskh ayat wasiat. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah menyatakan bahwa pada mulanya harta milik anak dan wasiat milik kedua orang tua, kemudian dinaskh dan harta dibagi sesuai hukum waris.[90] Bila pendapat ini digunakan, maka ayat wasiat menjadi seakan tidak berfungsi. Akan tetapi, dua ayat ini, meskipun tampak bertentangan, masih dapat dikompromikan. Hukum dari kedua ayat ini masih dapat diberlakukan masing-masing, yakni dengan memberlakukan ayat wasiat bagi ahli waris yang terhalang dan tidak mendapat bagian dari waris.[91] Tampaknya, MUI menggunakan metode ini dalam fatwanya.

5. Pornografi Dan Pornoaksi, 2001

Fatwa ini menjelaskan apa saja yang termasuk dalam kategori pornografi dan pornoaksi. Secara sederhana, pornografi dan pornoaksi dapat dinyatakan sebagai segala perbuatan dan perilaku yang berkaitan dengan aurat dan hubungan intim, yang dapat membangkitkan nafsu birahi, langsung atau tidak langsung, baik melalui media cetak atau lainnya. Memakai pakaian tembus pandang dan memperlihatkan bentuk tubuh; ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan; membantu dengan segala bentuk dan membiarkan terjadinya sesuatu yang haram; memperoleh pendapatan dan atau fasilitas dari perbuatan haram. Hukum semua itu adalah haram.[92]

Beberapa ayat digunakan sebagai dalil dalam fatwa ini. QS. Al-Isra [17]: 32[93] tentang larangan mendekati zina; al-Nur [24]: 30 – 31[94] tentang menjaga pandangan dan perintah menutup aurat; al-Ahzab [33]: 59[95] tentang perintah menutup semua badan; dan al-Maidah [5]: 2[96] tentang larangan tolong menolong dalam dosa.

Di samping ayat-ayat di atas, beberapa hadis juga dijadikan dalil penguat. Di antaranya hadis riwayat Ahmad tentang larangan berpakaian tembus pandang[97]; hadis riwayat Malik tentang larangan pakaian tipis[98]; hadis riwayat Ahmad tentang larangan berpakaian seperti telanjang[99]; hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang larangan berkhalwat[100]; hadis riwayat Muslim tentang dua kelompok ahli neraka yang belum ada pada masa Rasul[101]; dan hadis riwayat Abu Daud tentang aurat perempuan[102].

Di samping ayat dan hadis di atas, fatwa ini juga mengungkap beberapa kaidah fiqh dan kaidah usul fiqh. Di antaranya, kaidah sadd al-zari'ah[103]. Tampaknya, dengan kaidah ini MUI ingin menjelaskan bahwa segala macam penggambaran dan perilaku porno akan menyebabkan terjadinya perbuatan haram. Oleh karena itu, segala hal yang menyebabkan terjadinya hal haram harus diharamkan.

Kaidah fiqh yang digunakan dalam fatwa ini adalah kaidah tentang menghindari mafsadah lebih didahulukan dari pada mencari maslahat, bahaya harus dihilangkan, melihat kepada sesuatu yang haram adalah haram, dan segala sesuatu yang lahir dari sesuatu yang haram adalah haram.[104] Tampaknya, penggunaan kaidah fiqh dalam fatwa ini adalah untuk menjelaskan bahwa sebisa mungkin mafsadah ditinggalkan. Perilaku pernografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang menjurus kepada mafsadah, maka harus dicegah dan tidak boleh diberi kesempatan berkembang. Akan tetapi, tampaknya penggunaan dua kaidah terakhir kurang relevan dengan pembahasan yang sedang dilakukan. Sebab, keduanya menyatakan tentang sesuatu yang haram. Kaidah pertama berkaitan dengan perilaku melihat sesuatu yang haram, tidak terkait dengan perilaku pornoaksi, kecuali bila ia dengan sengaja melakukannya. Demikian juga dengan kaidah tentang sesuatu yang terlahir dari yang haram. Kaidah ini terkait dengan akibat dari sebuah perbuatan haram.

Fatwa ini terbagi menjadi dua hal, aspek hukum dan rekomendasi. Dalam aspek hukum, MUI melakukan ijtihadnya dengan menggunakan tarjih sebagai metodenya. Hal ini dilakukan dengan mengurai dan merinci apa yang sudah disimpulkan oleh para ulama dan dapat dipahami dari berbagai riwayat hadis dan ayat-ayat yang digunakan sebagai landasan fatwa ini.

Dalam konsep al-Syatibi, tampaknya metode ijtihād ta¯bīqī yang digunakan dalam aspek hukum adalah tahqiq al-manat al-am yang dilakukan dengan menetapkan kriteria apa saja yang termasuk dalam kategori pornografi dan pornoaksi. Dalam rekomendasi, MUI menggunakan ijtihād ta¯bīqī -nya dengan memperhatikan ma`alat al-af'al dengan sadd zari'ah. Hal ini dilakukan dengan mengajak semua pihak untuk menghentikan berbagai perilaku yang menyebabkan terjadinya perilaku pornoaksi dengan menghentikan berbagai hal yang berbau porngrafi. Bahkan, MUI mendesak berbagai pihak untuk bersama-sama mencegah perilaku pornografi dan pornoaksi ini sesuai peran masing-masing. Pemerintah didesak untuk membuat undang-undang, tidak memberikan izin penyelenggaraan, dan tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan.

D. Ma`ālāt al-Af’āl dalam Fatwa Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Penerapan konsep ma`ālāt al-af’āl dalam fatwa MUI bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tercermin pada beberapa fatwa berikut:

1. Kloning, 2000

Salah satu hasil kemajuan teknologi yang berhasil dicapai pada masa modern saat ini adalah kloning yakni suatu proses penggandaan makhluk hidup dengan cara memindahkan nucleus (inti sel) ke dalam indung telur pada tahap sebelum terjadi pemisahan sel-sel bagian-bagian tubuh. Fatwa ini merupakan upaya MUI untuk memberikan panduan dan pedoman bagi masyarakat, khususnya umat Islam dalam menyikapi kemajuan teknologi semacam kloning ini.

Dalam pertimbangannya, MUI memperhatikan bahwa kloning bukan merupakan penciptaan, tetapi hanya sekedar penggandaan. Penggandaan terhadap hewan dan tumbuhan dapat memberikan manfaat dan maslahat bagi umat manusia. Berbeda halnya dengan kloning terhadap manusia. Kloning terhadap manusia dapat saja membawa manfaat, seperti dalam penyediaan organ-organ penting manusia yang rusak dapat digantikan dengan organ manusia hasil kloning. Akan tetapi, di samping manfaat yang mungkin ada, dapat juga menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit. Mafsadah paling besar yang akan timbul akibat kloning adalah hilangnya maqasid syariah dari sebuah perkawinan dan sendi-sendi pembentukan masyarakat dari keluarga.

Dalam fatwa ini, MUI menetapkan bahwa kloning terhadap manusia dengan cara dan maksud apapun hukumnya haram. Hal ini berbeda dengan kloning terhadap tumbuhan dan hewan, sepanjang untuk mencapai maslahat dan menghindari mafsadah, maka hukumnya boleh. Selain itu, fatwa ini juga mewajibkan para ulama dan umara untuk mengawasi dan merumuskan kriteria dan kode etik penelitian bidang biologi untuk dijadikan pedoman.[105]

Beberapa ayat dijadikan sebagai landasan fatwa ini. Ayat-ayat tersebut adalah QS. Al-Jasiyah [45]: 13[106] yang menjelaskan bahwa Allahlah yang menundukkan segala yang ada di langit dan bumi untuk manusia; al-Isra [17]: 70[107] yang menjelaskan bahwa Allah telah memuliakan anak Adam dengan kelebihan-kelebihan yang membedakannya denngan makhluq lain; al-Ra'd [13]: 16[108] yang mempertanyakan sikap manusia yang mencoba mempersaingi dan membuat sekutu bagi-Nya;; dan al-Mu`minun [23]: 12 – 14[109] yang menjelaskan proses penciptaan manusia secara alamiyah.

Mencermati ayat-ayat yang diungkap oleh MUI sebagai dalil fatwa ini, Penulis dapat memahami seakan MUI ingin menjelaskan bahwa pada hakekatnya memang Allah telah menundukkan alam ini untuk manusia, sehingga manusia dapat melakukan apapun dalam mengembangkan segala hal. Di samping itu, manusia yang merupakan anak cucu Adam memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluq lain, terutama akal. Sehingga, dengan akalnya anak adam dapat melakukan rekayasa segala hal, termasuk merekayasa genetika. Akan tetapi, apakah kelebihan itu akan menjadikan mereka berupaya menciptakan tuhan-tuhan baru yang menjadi sekutu Allah? Teknologi yang ditemukan oleh manusia dengan akalnya bukan merupakan proses penciptaan makhluq baru, etapi hanya merupakan penggandaan. Proses penciptaan alamiah manusia melalui beberapa fase, berawal dari sari pati tanah berupa sperma dan ovum, bercampur menjadi zygote yang menempel pada dinding rahim kemudian berproses menjadi janin yang hidup sebagai makhluq baru.

Di samping ayat-ayat di atas, fatwa ini juga mencantumkan kaidah tentang lebih mendahulukan menghindari mafsadah dari pada mencari maslahat.[110] Dalam kaitan ini, tampaknya MUI hendak menjelaskan bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia, termasuk dalam hal teknologi, harus lebih dulu dipertimbangkan mafsadah dan maslahahnya. Bila mafsadahnya jelas ada, maka hal itu harus ditinggalkan demi menghindari mafsadah yang mungkin terjadi.

Hanya saja, Penulis melihat sesuatu yang tampak kurang tepat dalam penetapan yang dilakukan dalam fatwa ini. Salah satu poin fatwa ini mewajibkan semua pihak, ulama dan umara untuk merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan eksperimen bidang biologi. Menurut Penulis, MUI yang merupakan kumpulan ulama, seharusnya memprakarsai perumusan kriteria dan kode etik itu, tentunya dengan berkoordinasi dengan lembaga terkait. Bahkan, kalau perlu hasilnya kemudian diusulkan untuk diundangkan.

Dari sisi metodologis, fatwa ini tampaknya MUI menetapkannya didasarkan langsung pada ayat-ayat al-Quran yang telah dikemukakan di atas, di samping pada kaidah tentang maslahat dan mafsadah. Hal ini sangat tampak pada keputusan yang ditetapkan dengan pengharaman kloning pada manusia, karena meskipun terdapat manfaat di dalamnya, mafsadahnya jauh lebih besar dari manfaatnya. Dalam hal ini kaidah maslahat diberlakukan secara tegas. Demikian juga dalam hal pembolehan kloning pada selain manusia. Dalam poin ini juga diungkap bahwa kebolehan melakukan kloning terhadap hewan dan tumbuhan hanya sebatas untuk kemaslahatan saja. Bila hal itu dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kerusakan maka kebolehan itu hilang dan berganti menjadi haram.

Dalam konsep al-Qaradawi, ijtihad MUI dalam fatwa ini dapat digolongkan dalam ijtihad insya`iy, yakni menyimpulkan sesuatu yang belum ada simpulan hukum sebelumnya. Upaya penyimpulan hukum dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan konsep maslahat sebagai landasan hukumnya dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran sebagai dalil.

Dalam konsep al-Syatibi, pengharaman kloning terhadap manusia merupakan upaya sadd al-zari'ah, yakni menutup jalan terjadinya mafsadah, di antaranya berupa hilangnya maqasid syariah dari pernikahan, lembaga keluarga menjadi hancur, dan akan menimbulkan kerusakan moral, budaya, hukum, dan syariah Islam lainnya.

2. Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV), 2002

Fatwa ini berawal dari pencanangan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada tahun 2002. Di antara balita Indonesia terdapat anak-anak yang memiliki kelainan sistem kekebalan tubuh yang dikenal dengan immunocompromise yang tidak bisa diberikan vaksin tetes melalui mulut, tetapi harus diberikan secara injeksi, yakni vaksin jenis suntik (IPV). Permasalahan yang muncul adalah bahwa vaksin jenis ini dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), meskipun pada hasil akhirnya tidak terdeteksi unsur babi. Sampai saat fatwa ini diterbitkan, belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut. Untuk menghindari kegelisahan umat Islam dalam hal penggunaan IPV jenis ini, MUI merasa perlu menerbitkan fatwa.

Beberapa hadis dijadikan dasar pertimbangan fatwa ini, di antaranya, hadis riwayat Abu Daud tentang perintah berobat dan bahwa Allah telah menyertakan obat di samping penyakit[111]; hadis riwayat Abu daud tentang larangan berobat dengan yang haram[112]; hadis riwayat al-Bukhari tentang perintah Nabi saw untuk berobat dengan meminum air seni dan susu onta[113]; hadis riwayat al-Bukhari tentang setiap penyakit pasti ada obatnya[114]; hadis riwayat al-Bukhari tentang larangan penggunaan benda yang terkena najis[115].

Di samping beberapa hadis di atas, fatwa juga menjadikan beberapa kaidah fiqh sebagai landasannya. Kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah daf'u al- darar (mencegah bahaya) dan raf'u al-haraj (menghilangkan kesulitan). Kaidah dimaksud antara lain adalah kaidah bahwa bahaya harus dicegah sebisa mungkin; kebutuhan dapat menempati kondisi darurat; bahaya dihilangkan; kondisi darurat bisa membolehkan hal yang dilarang; dan sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kebutuhan.[116]

Selain hadis dan kaidah di atas, MUI juga mengungkap satu pendapat ulama yang dapat ditemukan di beberapa referensi[117]. Pernyataan yang dikutip adalah pendapat al-Zuhri yang menegaskan bahwa meminum air seni manusia karena suatu penyakit adalah haram, karena najis. Berkaitan dengan sakar (sesuatu yang memabukkan), hal ini juga dinyatakan sebagai sesuatu yang haram meskipun untuk mengobati penyakit. Sebab, Allah tidak menciptakan obat suatu penyakit dalam hal-hal yang diharamkan.

Hal lain yang menjadi pertimbangan fatwa ini adalah surat dari Menteri Kesehatan dan penjelasan para pejabat terkait tentang pentingnya imunisasi polio, termasuk bagi balita penderita immunocompromise yang harus menggunakan vaksin jenis suntik. Sebab, jika mereka tidak diimunisasi, dikhawatirkan mereka terserang polio dan menjadi sumber penularan penyakit ini. Vaksin jenis suntik ini dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), meskipun hasil akhirnya tidak ditemukan unsur babi. Sampai saat fatwa ini diterbitkan, belum ada vaksin jenis lain yang dapat menggantikannya. Sementara, bila diproduksi sendiri, maka biaya yang dikeluarkan sangat besar, sedangkan kebutuhannya sangat terbatas.

Dalam fatwa ini, MUI menetapkan bahwa pada dasarnya, penggunaan obat-obatan yang mengandung benda najis atau terkena benda najis adalah haram. Akan tetapi, penggunaan vaksin ini untuk imunisasi pada anak penderita kelainan sistem kekebalan tubuh, selama belum ada pengganti yang suci dan halal, dinyatakan boleh.[118]

Dari sisi metodologis, MUI tampaknya berupaya keras untuk membuat kesimpulan dari berbagai dalil dan penjelasan yang dikemukakan, sehingga dengan menggunakan berbagai dalil yang dikemukakan, dapat diambil beberapa pelajaran terkait dengan fatwa ini. Beberapa pelajaran itu di antaranya bahwa polio adalah penyakit dan merupakan bahaya yang harus dihindari serta dicegah dengan pengobatan menggunakan cara yang tidak melanggar syariah; vaksin khusus bagi balita penderita kelainan ketahanan tubuh dibuat dengan melalui proses senyawa dengan porcine yang najis dan tidak dilakukan pencucian, sehingga hasilnya adalah najis dan haram dikonsumsi; dan kondisi balita penderita immunocompromise dipandang telah berada pada posisi al-hājah yang dapat menempati posisi «arūrah sebagaimana diungkap oleh kaidah. Dari proses berfikir MUI dalam fatwa ini dapat dipahami bahwa metode yang digunakan, karena hal ini adalah hal baru yang tentunya tidak diungkap oleh teks. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode ijtihād istinbā¯i terlebih dahulu dengan metode bayāni, ta'līli, istislāhi, dan sadd al-zari'ah untuk menentukan hukumnya.

Dalam konsep al-Qara«āwi, ijtihad yang dilakukan MUI dalam fatwa ini dapat digolongkan dalam ijtihād insyā`iy, yakni berkreasi dalam upaya menemukan hukum sesuatu yang baru yang belum dikemukakan oleh para ulama terdahulu.

Sedangkan dalam konsep al-Syatibi, dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode ijtihād ta¯bīqī dengan memperhatikan ma`ālāt al-af'āl dengan al-hiyal, yakni membolehkan sesuatu yang hukum asalnya haram disebabkan adanya kondisi tertentu yang dianggap sudah memenuhi kriteria al-hājah (kebutuhan) yang dapat menduduki posisi al-«arūrah (kondisi darurat) yang tidak dapat dihindarkan.

Wallah a'lam bi al-sawāb.



[1] Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

[2] وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران: 85)

[3] إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران: 19)

[4] لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(الكافرون:6)

[5] وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب:36)

[6] لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ۩ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (الممتحنة: 8 – 9)

[7] وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص:77)

[8] وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (الأنعام:116)

[9] ف_______________________________________________________________________________________________________________________________ وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون:71)

[10] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (Sahih Muslim, hadis no. 218)

[11] Muhammad Ibn Sa’d Abu Abdillah al-Basri al-Zuhri, al-Tabaqat al-Kubra, (Beirut: Dar Sadir, 1968), h. 259 – 269

[12] Sahih al-Bukhari, hadis no. 2081, 2163, 2170, dan 4029

[13] Sahih Muslim, hadis no. 2897 dan 4444

[14] Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Abdullah ibn Ubay ibn Salul adalah kepala kaum munafiq. Hal ini diungkap salah satunya oleh Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma'ad fi Hady Khair al-'Ibad, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986), juz 3, h. 114

[15] Salih ibn Fauzan ibn Abdillah al-Fauzan, Kitab al-Tauhid, (Saudi Arabia: Wizarat al-Syu`un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa al-Da'wah wa al-Irsyad, 1423 H), h. 23

[16] Keputusan Fatwa MUI tanggal 11 Mei 2002

[17] لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (آل عمران:92) مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ۩ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة:261 – 262)

[18] Memaknai kata fi sabilillah ini, al-Razi menjelaskan bahwa maknanya adalah di jalan agama Allah. Ada yang menyatakan bahwa maknanya adalah jihad fi sabilillah. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah infaq dalam segala kebaikan. Keduanya dapat diakomodasi dalam pengertian di jalan agama Allah. Sebab, keduanya juga merupakan kepentingan agama Allah dan merupakan kewajiban bagi umat Islam. Lebih lengkap, lihat Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 3, h. 483

[19] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (Sahih Muslim, hadis no. 3084, Sunan Abi Daud, hadis no. 2494, Sunan al-Tirmizi, hadis no. 1297, dan Sunan al-Nasa`i, hadis no. 3591)

[20] عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ فَقَالَ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2532, Sahih Muslim, hadis no. 3085, Sunan al-Tirmizi, hadis no. 3544, dan Sunan al-Nasa`i, hadis no. 3541)

[21] عن ابن عمر رضي الله عنهما : أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه و سلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به ؟ قال ( إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها ) . قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول . قال فحدثت به ابن سيرين فقال غير متأثل مالا (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2586, Sahih Muslim, hadis no. 1632, Sunan al-Tirmizi, hadis no. 1375, Sunan al-Nasa`i, hadis no. 6426)

[22] عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمِائَةَ سَهْمٍ الَّتِي لِي بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهَا قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا (Sunan al-Nasa`i, hadis no. 3546)

[23] يقول جابر رضي الله عنه: ما بقي أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم له مقدرة إلا وقف (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), juz 8, h. 157; dan al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, h. 376

[24] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 8, h. 162

[25] Abu al-Hasan Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 7, h. 1299

[26] al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 10, h. 87

[27] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 8, h.

[28] Sa'di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), h. 386

[29] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (البقرة:267) يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (البقرة:219) خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة:103)

[30] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 3, h. 500

[31] Muhammad ibn Mukarran ibn Manzur al-Ifrīqi al-Masri, Lisān al-‘Arab, Juz 15, h. 72

[32] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 3, h. 281

[33] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 8, h. 244

[34] روي مرفوعا من حديث ابْنِ عُمَرَ عن النبي-صلى الله عليه وسلم- لاَ زَكَاةَ فِى مَال حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

[35] Sunan al-Daraqutni, hadis no. 1910. Istilah hadis mauquf dalam ilmu hadis diungkap untuk menyatakan bahwa pernyataan atau perbuatan itu tidak berasal dari Nabi saw, tetapi terhenti di salah seorang sahabat. (Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (www.ahlilhdeeth.com), juz 1, h. 118)

[36] Dalam ilmu hadis, istilah hadis marfu' digunakan untuk menyatakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa pernyataan maupun perbuatan; baik متصل (tersambung) sanadnya, منقطع(terputus), maupun مرسل (terlepas). (Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, h. 117)

[37] Sunan Ibn Majah, hadis no. 1782

[38] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ (Sahih Muslim, hadis no. 1631)

[39] Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj: Syarh Sahih Muslim ibn Hajjaj, juz 7, h. 55

[40] عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 1338)

[41] Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari : Syarh Sahih al-Bukhari, (http://www.ahlilhadeeth.com), juz 13, h. 334

[42] من المعلوم أن الإسلام لم يوجب الزكاة في كل مال قلَّ أو كثر، وإنما أوجبها فيما بلغ نصابًا فارغًا من الدَيْن وفاضلاً عن الحاجات الأصلية لمالكه، وذلك ليتحقق معنى الغنى الموجب للزكاة ......... وأولى من ذلك أن يكون نصاب النقود هو المعتبر هنا، وقد حددناه بما قيمته (85) جرامًا من الذهب (Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Zakat, Juz 1, h. 444 – 445)

[43] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3, h. 238

[44] أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

[45] لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

[46] قَالُوا أَوَلَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ

[47] وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

[48] وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

[49] قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ۩ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ۩ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ۩ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ ۩ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ۩ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ۩

[50] عن أنس بن مالك : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال الدعاء مخ العبادة (Sunan al-Tirmizi, hadis no. 3371)

[51] Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, hadis da'if adalah hadis yang tidak mencukupi persyaratan hadis sahih. Hal terpenting yang menyebabkan hadis menjadi da'if adalah sanadnya tidak tersambung sampai kepada Rasulullah saw. Di samping itu, hadis juga dapat menjadi da'if disebabkan oleh hal-hal lain seperti bila dinyatakan da'if oleh sebagian ahli hadis, diriwayatkan dari berbagai perawi yang riwayatnya berbeda-beda, matannya terbolak-balik, hanya diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian, dan lain-lain. Lebih lengkap lihat Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis: Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 337 – 348

[52] قَالَ تَعَالَى : { سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ } ( وَلَا يَخْتَلِطُونَ ) أَهْلُ الذِّمَّةِ وَلَا غَيْرُهُمْ مِنْ سَائِرِ الْكُفَّارِ ( بِنَا ) فِي مُصَلَّانَا وَلَا عِنْدَ الْخُرُوجِ أَيْ يُكْرَهُ ذَلِكَ ، بَلْ يَتَمَيَّزُونَ عَنَّا فِي مَكَان لِأَنَّهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ تَعَالَى إذْ قَدْ يَحِلُّ بِهِمْ عَذَابٌ بِكُفْرِهِمْ فَيُصِيبُنَا . قَالَ تَعَالَى : { وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً } وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَمَّنَ عَلَى دُعَائِهِمْ كَمَا قَالَ الرُّويَانِيُّ ؛ لِأَنَّ دُعَاءَ الْكَافِرِ غَيْرُ مَقْبُولٍ ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ قَدْ يُسْتَجَابُ لَهُمْ كَمَا اُسْتُجِيبَ دُعَاءُ إبْلِيسَ بِالْإِنْظَارِ (Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Alfaz al-Minhaj, (http://www.al-islam.com), juz 4, h. 173)

[53] Dalam al-Quran, paling tidak ada sembilan macam cara al-Quran memberitahukan larangan terhadap suatu perbuatan, antara lain: dengan kata ‘melarang’, ‘mengharamkan’, ‘tidak halal’, dengan fi’il nahy, dengan kata ‘tidak ada kebajikan’, meniadakan perbuatan, dengan penyebutan dosa, dengan ancaman, dan dengan sebutan ‘buruk’. Lihat Muhammad Khudari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (ttp.: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 M), h. 27 – 28

[54] Lihat umpamanya dalam al-Syarbini, Mughni al-Muhtāj, juz I, h. 323

[55] Jalaluddin al-Suyuti, al-Jami’ al-Kabir, hadis no. 12656

[56] Al-Asqalani mengungkap hadis yang senada dari sanad lain yang redaksinya sebagai berikutْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- عَنِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: - إِنَّ اَلدُّعَاءَ هُوَ اَلْعِبَادَةُ - رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِي lihat, Ibn hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2002), hadis no. 1355, h. 397

[57] Keputusan Fatwa MUNAS VI Majelis Ulama Indonesia nomor: 8/MUNAS VI/MUI/2000 tanggal 25 – 29 Juli 2000

[58] Keputusan Fatwa MUNAS VI Majelis Ulama Indonesia tahun 2000 Nomor: 7/MUNAS VI/MUI/2000

[59] وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

[60] Al-Razi menjelaskan bahwa aurat itu ada empat macam, aurat laki-laki terhadap laki-laki, perempuan terhadap perempuan, laki-laki terhadap perempuan, dan perempuan terhadap laki-laki. Aurat laki-laki terhadap laki-laki adalah antara lutut dan pusat; aurat perempuan terhadap perempuan sama dengan aurat laki-laki terhadap laki-laki; aurat perempuan terhadap laki-laki asing adalah semua anggota badan, kecuali muka dan telapak tangan; dan aurat laki-laki terhadap perempuan adalah antara lutut dan pusat. Secara lengkap, lihat Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, h. 301 – 304

[61] Kata ini berarti "kerabat yang haram dinikahi", (Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 257). Dalam hal penjelasan tentang hal ini, al-Sayyid Sabiq menyebutnya dengan istilah al-muharramat (wanita yang haram dinikahi). Menurutnya, pengharaman itu ada yang haram selamanya dan ada yang sementara. Pengharaman selamanya disebabkan oleh tiga hal, yakni: hubungan darah (nasab), hubungan pernikahan, dan hubungan persusuan. Sedangkan pengharaman sementara dapat terjadi pada: mengumpulkan dua saudara, isteri orang dan wanita dalam iddah orang, wanita dalam talak tiga, dalam keadaan ihram, budak selama mampu menikah dengan wanita merdeka, wanita pezina. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I'lam al-Arabi, 1995), juz 2, h. 153 – 172

[62] لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2844 dan Sahih Muslim, hadis no. 3336). Dalam redaksi yang diriwayatkan al-Bukhari adalah ولا تسافرن امرأة وإلا معها محرم

[63] عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا (Sahih Muslim, hadis no. 3334)

[64] درء المفاسد مقدم على جلب المصالح – الحاجة المشهورة تنزل منزلة الضرورة – الضرورات تبيح المحظورات

[65] وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (النساء:3)

[66] وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم:21)

[67] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم:6)

[68] الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (المائدة:5)

[69] وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة:221)

[70] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (الممتحنة:10)

[71] وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (النساء:25)

[72] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 4, h. 45

[73] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia disertai Lampiran Penjelasan Fatwa, 2005, h. 107 – 126

[74] Sahih al-Bukhāri, hadis no. 4802 dan Sahih Muslim, hadis no. 3708

[75] Ada tiga sebab yang menjadikan seorang wanita haram dinikahi selamanya oleh seorang pria: nasab, perbesanan, dan persusuan. Ada pula wanita yang haram dinikahi sementara, seperti isteri orang lain, wanita dalam iddah, dll. Lihat al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dār al-Fath li al-I’lām al-Arabi, 1416 H/1995 M), Juz 2, h. 153 – 171

[76] Al-Jassas menjelaskan bahwa Usman ibn Affan, Talhah, dan Huzaifah menikahi wanita kitabiyah. Dalam hal ini, menurutnya, merupakan bukti kesepakatan mereka bahwa menikahi kitabiyyah adalah boleh. Lihat, Abu bakr al-Jassas, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, 1405), Juz 2, h. 16

[77] Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 7, h. 500

[78] Abu al-Barakat Ahmad al-Dardiri, al-Syarh al-Kabir, (tth.: Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Isa al-Babi al-Halabi, tth), Juz 2, h. 267

[79] Muhammad ibn Idris al-Syafii, al-Umm, (ttp: Dar al-Fikr, tth), Juz 5, h. 7

[80] Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 100 – 101

[81] Muhammad Rasyid Ridā, Tafsir al-Manār, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1970), Juz 2, h. 355

[82] Sayyid Qutb, Fi Zilāl al-Quran, (Beirut: Dār Ihyā` al-Turās al-Arabi, tth), Juz 2, h. 185

[83] Abdurrahmān al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba’ah, Juz 4, h. 75 – 77

[84] Ali al-Sabuni, Rawā`i' al-Bayān fi Tafsir Ayāt al-Ahkām min al-Quran, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), juz 1, h. 287

[85] يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

[86] الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

[87] عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 6383 dan Sahih Muslim, hadis no. 4225, lihat Ibn Hajar al-‘Asqalāni, Bulugh al-Marām min Adillah al-Ahkām, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1422 H/2002 M), h. 241) dan لا يتوارث أهل ملتين (Ibn Hajar al-‘Asqalāni, Bulugh al-Marām min Adillah al-Ahkām, h. 241)

[88] Salah satunya diungkap oleh al-Quran surat al-Nisa : 141

[89] Dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat wajibah diberikan kepada orang tua angkat dan anak angkat yang tidak mendapatkan bagian warisan. Lihat H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 164

[90] عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كان المال للولد وكانت الوصية للوالدين فنسخ الله من ذلك ما أحب فجعل للذكر مثل حظ الأنثيين وجعل للأبوين لكل واحد منهما السدس وجعل للمرأة الثمن والربع وللزوج الشطر والربع (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2596)

[91] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), h. 396

[92] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor: 287 tahun 2001

[93] وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

[94] قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

[95] يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)

[96] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آَمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

[97] عن بن أسامة بن زيد ان أباه أسامة قال : كساني رسول الله صلى الله عليه و سلم قبطية كثيفة كانت مما أهداها دحية الكلبي فكسوتها امرأتي فقال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم مالك لم تلبس القبطية قلت يا رسول الله كسوتها امرأتي فقال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم مرها فلتجعل تحتها غلالة انى أخاف ان تصف حجم عظامها (Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadis no. 21834)

[98] عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أُمِّهِ أَنَّهَا قَالَتْ دَخَلَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى حَفْصَةَ خِمَارٌ رَقِيقٌ فَشَقَّتْهُ عَائِشَةُ وَكَسَتْهَا خِمَارًا كَثِيفًا (al-Muwatta`, hadis no. 3383)

[99] حدثنا عبد الله بن يزيد حدثنا عبد الله بن عياش بن عباس القتباني قال سمعت أبي يقول سمعت عيسى بن هلال الصدفي وأبا عبد الرحمن الحبلي يقولان سمعنا عبد الله بن عمرو يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : سيكون في آخر أمتي رجال يركبون على السروج كأشباه الرجال ينزلون على أبواب المسجد نساؤهم كاسيات عاريات على رؤوسهم كأسنمة البخت العجاف العنوهن فإنهن ملعونات لو كانت ورائكم أمة من الأمم لخدمن نساؤكم نساءهم كما يخدمنكم نساء الأمم قبلكم (Musnad Ahmad, hadis no. 7083)

[100] عن ابن عباس رضي الله عنهما : أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( لا يخلون رجل بامرأة ولا تسافرن امرأة وإلا معها محرم ) . فقام رجل فقال يا رسول الله اكتتبت في غزوة كذا وكذا وخرجت امرأتي حاجة قال ( اذهب فحج مع امرأتك ) (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2844 dan Sahih Muslim, hadis no. 3336)

[101] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا » (Sahih Muslim, hadis no. 5074 dan 7373)

[102] يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها شيء إلا هذا وهذا، وأشار إلى وجهه وكفيه (Sunan Abi Daud, hadis no. 19115)

[103] الْوَسِيلَةُ إلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ ('Ala`uddin al-Kasani, Bada`i' al-Sana`i' fi tartib al-Syara`i', juz 10, h. 478)

[104] درء المفاسد مقدم على جلب المصالح – الضرر يزال – النظر إلى الحرام حرام – كل ما يتولد من الحرام حرام

[105] Keputusan Fatwa MUNAS VI Majelis Ulama Indonesia tahun 2000 Nomor: 3/MUNAS VI/MUI/2000

[106] وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (13)

[107] وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

[108] قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (16)

[109] وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)

[110] درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

[111] تداووا فإن الله تعالى لم يضع داء إلا وضع له دواء غير داء واحد الهرم (Sunan Abi Daud, hadis no. 28077)

[112] إن الله تعالى أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام (Sunan Abi Daud, hadis no. 28324)

[113] قدم أناس من عكل أو عرينة فاجتووا المدينة فأمرهم النبي صلى الله عليه و سلم بلقاح وأن يشربوا من أبوالها وألبانها )Sahih al-Bukhari, hadis no. 231)

[114] ما أنزل الله داء إلا أنزل له شفاء )Sahih al-Bukhari, hadis no. 5354)

[115] إِنْ كَانَ جَامِدًا فَأَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَإِنْ كَانَ مَائِعًا فَلَا تَقْرَبُوهُ (Sunan al-Nasa`i, hadis no. 4271) Dalam fatwa ini MUI mengutip hadis riwayat al-Bukhari, al-Nasa`i, dan Ahmad menggunakan lafaz فأريقوه bukan فَلَا تَقْرَبُوهُ . Dalam penelusuran penulis, pernyataan yang diungkap oleh MUI dalam hadis di atas ditemukan di antaranya dalam Tafsir al-Qurtubi, juz 2, h. 220; Ahkam al-Quran li Ibn al-'Arabi, juz 6, h. 157; dan beberapa kitab fiqh. Penulis tidak menemukan hadis dengan redaksi seperti diungkap oleh fatwa dalam referensi hadis yang mu'tabar.

[116] الضرر يدفع بقدر الإمكان (Ahmad ibn Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, h. 118), الحاجة تنزل منزلة الضرورة (h. 119), الضرر يزال (h. 105), الضرورات تبيح المحظورات (h. 109), مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا (Badruddin al-Zarkasyi, al-Mansur fi al-Qawa'id, juz 2, h. 235)

[117] قَالَ الزُّهْرِىُّ: لا يَحِلُّ شُرْبُ بَوْلِ النَّاسِ لِشِدَّةٍ تَنْزِلُ لأنَّهُ رِجْسٌ، قَالَ تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ} [المائدة: 4]. وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ فِى السَّكَرِ: إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ (al-Bukhari, al-Jami' al-Sahih al-Mukhtasar, tahqiq oleh Mustafa Dib al-Bagha, Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987, juz 5, h. 2129; Ibn Hajar al-Asqalani, Taghliq al-Ta'liq, juz 3, h. 228; Ibn Battal, Syarh al-Bukhari, juz 3, h. 68; Badruddin al-Aini, 'Umdat al-Qari: Syarh Sahih al-Bukhari, juz 31, h. 198; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, juz 10, h. 78)

[118] Keputusan Fatwa MUI tanggal 8 Oktober 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar