Senin, 01 Februari 2010

Bab IV A

BAB IV

PENERAPAN KONSEP TAHQĪQ AL-MANĀ°

A. Tahqīq al-Manā¯ dalam Fatwa tentang Faham Keagamaan

Penerapan konsep tahqīq al-manā¯ dalam fatwa MUI bidang faham keagamaan di antaranya tercermin pada beberapa fatwa berikut:

1. Malaikat Jibril mendampingi manusia

Fatwa ini berawal dari adanya surat yang mempertanyakan tentang pengakuan seseorang bernama Lia Aminuddin bahwa didampingi oleh sesosok makhluq yang mengaku sebagai malaikat Jibril yang memberinya ajaran-ajaran yang diamanatkan untuk disampaikan kepadanya.

Setelah melalui penelitian terhadap berbagai teks al-Quran dan al-hadis, MUI memfatwakan bahwa keyakinan tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril harus didasarkan pada keterangan wahyu. Tidak ada satupun ayat atau hadis yang menyatakan bahwa Jibril masih ditugasi menyampaikan wahyu. Oleh karena itu, bila ada orang yang mengaku bahwa dirinya didampingi Jibril dan mendapat ajaran keagamaan darinya, maka itu berarti bertentangan dengan al-Quran. Maka, pengakuan itu dianggap sesat dan menyesatkan. [1]

Hal pertama yang dijadikan argumen fatwa ini adalah bahwa malaikat merupakan salah satu yang harus diimani disamping rukun iman lainnya, didasari ayat-ayat yang berkaitan dengan iman, di antaranya terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 177 dan al-Nisa [4]: 136.

QS. Al-Baqarah [2]: 177[2] mengandung makna bahwa yang dianggap sebuah kebajikan bukanlah kemana arah menghadap, ke barat atau ke timur, tetapi yang dianggap kebajikan adalah keimanan dengan berbagai sendinya, ditambah dengan taqwa yang dibuktikan dengan amal salih. Dalam riwayat al-Rabi’ dan Qatadah disebutkan bahwa ayat ini turun atas kaum Yahudi dan Nasrani yang saling membanggakan arah mereka menghadap dalam beribadah, yakni Yahudi menghadap ke barat arah Bait al-Maqdis, sedangkan Nasrani menghadap ke timur, arah terbitnya matahari. Mereka mempermasalahkan pengalihan qiblat ke Masjid al-Haram.[3] Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa bukan arah yang menyebabkan seseorang dianggap melakukan kebajikan, tetapi iman dan taqwalah yang menjadi ukuran sebuah kebajikan.

Pada QS. Al-Nisa [4]: 136[4] Allah menghimbau orang yang beriman kepada rasul sebelum Muhammad saw[5] untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad saw), dan kitab-kitab, dilanjutkan dengan penegasan bahwa orang yang kafir terhadap Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, dan hari akhir, maka ia dianggap telah jauh tersesat. Ayat ini tegas menyatakan bahwa orang Yahudi adalah termasuk orang yang beriman. Hanya saja, mereka hanya beriman kepada nabi mereka saja dan mendustakan nabi sesudahnya. Demikian juga kaum Nasrani, hanya beriman kepada nabinya saja, tapi tidak mengakui kenabian Muhammad saw yang diutus setelah Nabi mereka. Inilah yang menyebabkan adanya ajakan untuk beriman setelah pernyataan bahwa mereka adalah orang beriman[6].

Dengan dua ayat ini, tampaknya MUI hendak melandasi fatwanya, yakni dengan landasan iman dan hal-hal yang harus diimani secara benar, serta menyatakan bahwa orang yang kafir terhadap salah satunya berarti ia telah sesat. Tanpa harus memberikan wajh al-istidlāl (penggunaan dalil sebagai argumen), umat yang membaca fatwa ini seharusnya dapat langsung memahami arah kemana dalil ini digunakan. Inilah tampaknya yang menyebabkan MUI tidak menunjukkan wajh al-istidlāl-nya.

Ayat lain yang digunakan sebagai dalil fatwa ini adalah QS. Al-Jinn [72]: 26 – 27[7] yang menjelaskan bahwa hanya Allah saja yang Maha mengetahui hal gaib, tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Rasul, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang diizinkan saja. Dua ayat ini sesungguhnya adalah lanjutan penjelasan dari ayat sebelumnya berkaitan dengan kaum musyrik. Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Rasul tidak mengetahui kapan Allah akan memberi balasan bagi syirik mereka, apakah dalam waktu dekat atau masih lama. Hal itu termasuk hal gaib yang hanya Allah saja yang tahu. Kalaupun ada yang tahu selain Dia, maka hanya Rasul saja yang mungkin tahu; itupun terbatas pada apa yang diizinkan-Nya saja yang dapat diketahui oleh mereka.[8]

Kedua, dalam ajaran Islam, malaikat adalah makhluq gaib dan termasuk alam gaib. Dapat difahami bahwa fatwa ini seakan hendak menyatakan bahwa karena malaikat adalah makhluk gaib maka tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali rasul, itupun terbatas pada hal-hal gaib tertentu saja. Dengan kata lain, siapapun yang mengaku mengetahui hal gaib, termasuk malaikat, maka dapat dipastikan bahwa dia sedang melakukan kebohongan.

Ketiga, berkaitan dengan hal di atas berarti bahwa mengimani malaikat, termasuk di dalamnya Jibril, harus dilakukan sesuai dengan tuntunan wahyu, terutama al-Quran. Karena sumber informasi tentang hal gaib hanyalah al-Quran saja. Paling tidak, hal ini yang diungkap oleh Syaltut dalam bukunya.[9]

Selain itu, fatwa juga mengutip beberapa ayat dan hadis berkaitan dengan karakter malaikat, antara lain:

a. MUI menggunakan metode dalālat al-iltizām[10] dalam memahami QS. Al-Anbiyā` [21]: 20[11] tentang keadaan malaikat yang selalu bertasbih siang dan malam. Ayat ini kemudian difahami sebagai keadaan malaikat yang suci dari sifat-sifat manusia seperti lapar, sakit, makan, tidak bercanda, berdebat dan seterusnya, yang sama sekali tidak disinggung dalam ayat tersebut.

b. Di samping ayat di atas, MUI juga menyebutkan bahwa sifat malaikat lainnya adalah takut dan taat kepada Allah. Hal ini terungkap dalam QS. Al-Nahl [16]: 50 dan al-Anbiya` [21]: 26 – 28. Dalam penafsiran al-Nahl : 50[12], tampaknya para mufassir tidak terlalu jauh berbeda dalam menafsirkannya bahwa malaikat memiliki rasa takut akan kekuasaan Allah dan azab-Nya, juga senantiasa menaati apapun yang diperintahkan sesuai dengan kehendak-Nya.[13] Sedangkan ayat-ayat berikutnya, al-Anbiya: 26 – 28[14], sesungguhnya adalah jawaban bagi orang kafir yang menyatakan bahwa malaikat anak Allah. Jawaban itu diungkap langsung dalam ayat itu, subhānallah, dilanjutkan dengan penjelasan tentang bahwa malaikat bukan seperti yang mereka duga dan dianggap sebagai anak Allah, tetapi mereka adalah juga hamba-Nya yang dimuliakan oleh-Nya.[15] Bagi al-Rāzi (wafat 1210 M), ayat ini adalah penjelasan tegas tentang kesucian malaikat dari maksiat dan mereka tidak melakukan apapun selain ada perintah dari Allah untuk melakukan atau tidak melakukannya.[16]

c. Selain ayat di atas, MUI juga menggunakan QS. Al-Tahrim [66]: 6[17] yang menjelaskan bahwa salah satu sifat malaikat adalah tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa “salah satu bentuk durhaka kepada Allah adalah berbohong, maka tidak ada malaikat yang berbohong, seperti mengaku Jibril, kemudian besoknya ia mengaku selain Jibril”. Penjelasan ini bagi penulis merupakan sebuah keganjilan yang dilakukan oleh MUI. Sebab, ayat ini dan beberapa ayat sebelumnya menegaskan bahwa salah satu sifat malaikat adalah tidak akan melakukan sesuatu tanpa perintah, maka bagaimana mungkin ia berbohong bila tidak diperintahkan? Lagi pula, yang diungkap dalam ayat adalah durhaka terhadap perintah, bukan durhaka dalam bentuk lain. Durhaka terhadap perintah berarti tidak melaksanakan perintah atau melaksanakannya tidak sesuai perintah, baik dengan mengurangi atau menambahkan sesuatu selain yang diperintahkan.

d. Selain ayat-ayat al-Quran, MUI juga menggunakan beberapa hadis tentang sifat malaikat, di antaranya hadis tentang sikap Rasulullah saw saat ditemui oleh beberapa sahabat Beliau yang berbeda dengan sikapnya saat ditemui oleh Usman ibn 'Affan. Ketika sikap semacam ini dipertanyakan oleh Aisyah kepada Rasulullah saw, Beliau hanya menjawab أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَة [18] (Bagaimana aku tidak malu terhadap seseorang yang malaikatpun malu terhadapnya).

Hadis ini tidak diungkap oleh fatwa secara lengkap, sehingga sangat membingungkan orang yang hendak mengkajinya. Hadis ini diriwayatkan dari Aisyah ra. Ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah saw sedang tiduran di rumahnya sambil paha atau betisnya terbuka. Kemudian, Abu Bakar izin untuk bertemu dengan Beliau; ketika ia masuk, Beliau tetap berada pada pada posisinya; lalu Umar izin pula menemuinya; ketika ia masuk, iapun tetap tidak mengubah posisinya; lalu Usman minta izin menemui Beliau; ketika ia masuk, beliau duduk sambil merapikan pakaiannya. Setelah Usman selesai, Aisyahpun masuk dan mempertanyakan apa yang baru saja dilakukannya, yakni ketika Abu Bakar dan Umar masuk, Beliau tidak mengubah posisinya dengan kondisi paha atau betis terbuka, tetapi ketika Usman yang masuk, Beliau langsung duduk dan merapikan pakaian; maka, Rasulullah saw pun menjawab dengan pernyataan di atas.

Dalam penjelasan hadis ini, Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hadis ini menunjukkan kemuliaan Usman ibn Affan bagi para malaikat dan sifat malu yang dimiliki malaikat adalah salah satu sifat yang indah.[19]

Dalam kaitan fatwa ini, tampaknya MUI ingin melengkapi datanya tentang sifat malaikat, salah satunya adalah sifat malu. Akan tetapi, penggunaan hadis ini sebagai dasar penetapan fatwa ini menjadi tidak efektif, sebab tidak terkait langsung dengan permasalahan yang akan diputuskan pada poin-poin setelah mengemukakan dalil-dalilnya.

e. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan dua hadis yang berkaitan dengan bau tak sedap, gambar, dan anjing.[20]

Berkaitan dengan hadis ini, lagi-lagi MUI menggunakan dalil yang relevansinya dengan masalah yang dibahas cukup jauh. Hadis ini memang mencakup makna bahwa malaikat tidak suka dengan sesuatu yang tidak disukai oleh manusia, baik karena baunya yang kurang sedap maupun karena hal lain. Bahkan, dalam penjelasan hadis ini disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak memakan bawang karena Beliau selalu menanti kedatangan Jibril dengan membawa wahyu. Meskipun demikian, Beliau terkadang masih memakannya. Hal ini, tampaknya, untuk menunjukkan bahwa bawang dan sejenisnya bukan sesuatu yang haram; sebagian ulama hanya menyatakan bahwa hukumnya makruh.[21]

Hadis lain yang digunakan juga sebagai landasan fatwa ini adalah hadis tentang malaikat tidak mau memasuki rumah yang terdapat di dalamnya gambar dan anjing.[22] Tentang hadis ini, al-'Asqalāni menjelaskan bahwa hadis ini kurang lengkap. Ada riwayat lain yang lebih lengkap menjelaskan bahwa Jibril terlambat karena di rumah Rasulullah ada anjing yang menyelinap di bawah ranjangnya. Maka, ketika Rasul mengeluhkan apa yang dialaminya atas keterlambatan Jibril, maka ia pun berkata: yang menghalangiku datang adalah anjing yang ada di rumahmu.[23] Sekali lagi, MUI menggunakan dalil yang tidak ada relevansinya dengan pembahasan inti dalam fatwa ini.

Malaikat Jibril adalah salah satu malaikat yang tentunya memiliki sifat-sifat sebagaimana malaikat lainnya. Hanya saja, Jibril tampak lebih istimewa dibanding yang lain. Hal ini tampak dari beberapa penyebutannya dalam al-Quran dalam berbagai sebutan dan nama yang sangat indah. Juga, berkaitan dengan tugasnya sebagai perantara yang diutus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya. Hal ini diungkap jelas dalam QS. Al-Takwir [81]: 19 – 23 dan al-Syu’ara [26]: 192 – 194.

Dalam wajh al-istidlāl yang dikemukakan MUI, al-Takwir : 19 – 23[24] bukan hanya menjelaskan sifat malaikat Jibril, tetapi juga tugasnya, yakni menjadi perantara Allah dengn para rasul-Nya, dan rasul terakhir-Nya adalah Muhammad saw. Memang, beberapa ayat ini menjelaskan berbagai sifat Jibril yang memperkuat keyakinan bahwa apa yang disampaikannya bukanlah rekayasa atau buatannya, tetapi merupakan amanah Allah yang harus disampaikan kepada alamat yang dituju dan tidak mungkin salah.[25]

Demikian juga dengan al-Syu’ara : 192 – 194[26]. Ayat-ayat ini menerangkan tentang Jibril sebagai sosok malaikat yang memiliki kedudukan terhormat di sisi Allah, dengan tugas menyampaikan wahyu yang tentunya juga memiliki sifat amanat dan sangat dapat dipercaya dan tidak mungkin mengkhianati amanat itu.[27]

Argumen lain yang dibangun oleh MUI adalah bahwa Jibril tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan wahyu yang diamanatkan kepadanya. Untuk menjelaskan ini, tampaknya MUI menggunakan metode mafhūm al-mukhālafah. Hal ini dapat diketahui dari dalil yang digunakan, yakni QS. Al-Nahl [16]: 44[28] yang menyatakan bahwa yang harus menjelaskan wahyu kepada manusia adalah Rasulullah saw. Ketika Rasulullah sudah wafat, maka yang berhak untuk menjelaskannya adalah para ulama, sebagaimana terungkap dalam QS. Al-Nahl [16]: 43[29]. Metode yang sama juga dilakukan terhadap ayat tentang turunnya wahyu dalam QS. Al-Syura [42]: 51 dan al-Qadr [97]: 4[30]. Dalam penelusuran penulis terhadap kemungkinan tafsir dilakukan oleh Jibril, belum didapatkan satupun dalil yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jibril dimungkinkan atau tidak dalam hal menafsirkan wahyu. Akan tetapi, bila memahami QS. Al-Nahl: 44, dapat diketahui bahwa yang diberi kewenangan menjelaskan wahyu adalah Rasulullah. Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat adalah orang-orang yang dianggap paling tahu tentang wahyu, sehingga merekalah yang berhak menjelaskan wahyu setelah Rasulullah.[31]

Hal lain yang menurut penulis agak ganjil adalah ketika memaknai lafaz لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ dalam QS al-Tahrim: 6, dengan kata ‘maksiat’ dalam arti umum yang kemudian ditambahi contoh “melihat aurat”. Lebih lanjut, contoh itu diperkuat dengan sebuah teks yang dianggap sebagai hadis[32]. Sangat disayangkan bahwa referensi yang digunakan oleh MUI dalam hal ini adalah buku Aqidah Islamiyyah yang disusun oleh al-Sayyid Sabiq, dan buku ini bukan referensi hadis yang representatif untuk sebuah fatwa.

Tampaknya, MUI hendak melengkapi argumennya dengan menunjukkan bahwa malaikat Jibril akan menghindar bila di dalam ruangan terdapat wanita yang membuka aurat, dalam hal ini ditunjukkan dengan sikap Khadijah yang membuka penutup kepalanya. Hanya saja, penggunaan referensi yang tidak representatif mengurangi kwalitas fatwa ini.

Selain beberapa argumen di atas, MUI juga menguatkan fatwanya dengan QS. Maryam [19]: 64[33] yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi Muhammad saw dan permintaan Beliau agar dapat mengunjunginya lebih sering.[34] Dalam hal ini, al-Tabari menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah merupakan jawaban malaikat terhadap permintaan Nabi Muhammad agar mengunjunginya lebih sering, seakan malaikat menyatakan: bukannya kami memperlambat atau melupakan-mu, wahai Muhammad; akan tetapi, kami tidak turun dari langit ke bumi kecuali bila kami diperintah Allah untuk turun ke bumi ...”[35]

Berkaitan dengan kemungkinan manusia dapat melihat, menemui, atau bahkan dibantu malaikat, MUI menggunakan QS. Al-Anfal [8]: 9[36] yang menjelaskan bahwa Allah dapat saja menurunkan bantuan berupa malaikat. Dalam salah satu riwayat dijelaskan bahwa ayat ini turun saat perang Badr. Ketika Rasulullah saw melihat jumlah tentara musyrik yang begitu besar, sementara tentara mu`min hanya berjumlah tiga ratus orang lebih saja, maka Beliau menghadap qiblat dan berdoa, “Ya Allah, penuhilah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Andaikata tentara muslim ini kalah, maka Engkau tidak akan disembah di bumi ini”. Begitu lama munajat yang dilakukan oleh Rasulullah, sampai sorbannya jatuh. Sorban itu kemudian diambil oleh Abu Bakar dan diletakkan kembali pada beliau seraya berkata: munajatmu sudah cukup, dan pasti akan dipenuhi oleh Tuhanmu. Kemudian ayat ini pun turun.[37]

Menyikapi ayat ini, MUI menghubungkannya dengan al-karamah yang dimiliki para wali. Tampaknya, MUI menyamakan bentuk bantuan yang diberikan kepada Rasulullah saw saat perang Badar dan beberapa perang lainnya yang berupa malaikat yang diturunkan, dengan pertolongan Allah kepada wali dalam bentuk karamah. Menurut Penulis, karamah tidak bisa disamakan dengan bantuan Allah kepada Rasul-Nya berupa malaikat sebagaimana dikemukakan di atas. Karamah secara terminologis adalah suatu kejadian yang luar biasa yang terjadi di tangan wali. Sedangkan bantuan berupa malaikat yang terjadi pada perang Badr, meskipun itu juga adalah luar biasa, tetapi tidak secara khusus terjadi di tangan nabi. Istilah yang bisa dipadankan dengan istilah karamah adalah mukjizat. keduanya adalah suatu kejadian yang luar biasa. Perbedaannya adalah mukjizat muncul dari tangan nabi, sedangkan karamah muncul dari tangan wali.[38]

Tampaknya, MUI merasa kesulitan mencari argumentasi yang tepat berkaitan dengan kasus Lia Aminuddin yang mengaku dirinya didampingi oleh Malaikat Jibril. Hal ini tampak dari upaya MUI yang begitu keras dengan mengemukakan berbagai dalil yang dapat dikaitkan dengan permasalahan malaikat, lebih khusus lagi Jibril. Hal ini menyebabkan timbulnya kesan seakan keputusan fatwa sudah ada terlebih dahulu, baru kemudian dicari argumentasinya. Praduga ini juga dikuatkan dengan penempatan argumentasi yang tidak sistematis sehingga menyebabkan kesulitan dalam memahami fatwa ini.

Seharusnya, MUI memberikan argumentasinya secara sistematis dengan mengemukakan terlebih dahulu permasalahan yang terjadi. Setelah permasalahan dikemukakan dengan baik, pencarian dalil-dalilpun dilakukan sekaligus dengan wajh al-istidlāl masing-masing. Hal ini tentunya dilakukan dengan memulainya dari al-Quran dan al-sunnah, tentunya dengan menggunakan metode ijtihad bayāni[39]; bila tidak memungkinkan karena memang dalil itu tidak menunjuk pada kasus tersebut secara eksplisit, maka dilakukan dengan metode ijtihad qiyāsi, yang dilakukan dengan mencari kesamaan illat antara hal baru dengan apa yang dikemukakan oleh dalil; ijtihad isti¡lāhi dilakukan bila dua metode di atas tidak bisa dilakukan, karena memang tidak disebutkan sama sekali dalam teks.

Berkaitan dengan ijtihad ta¯bīqī dalam fatwa ini, tampaknya MUI berupaya mengemukakan berbagai data tentang malaikat secara lengkap. Hal ini sangat terlihat ketika berbagai informasi yang ditemukan dalam berbagai referensi dikemukakan tanpa seleksi, seperti penggunaan data yang dianggap sebagai hadis yang ternyata bukan dari referensi hadis yang mu’tamad. Apapun yang dilakukan, MUI telah melakukan ijtihadnya dengan metode tarjih, yakni dengan menguatkan pendapat yang sudah ada dan dikemukakan sebagai landasan argumentasi fatwa. Dalam pandangan al-Qaradawi, apa yang dilakukan MUI dalam fatwa ini digolongkan ke dalam ijtihad intiqā`i.

Dalam konsep al-Syatibi, dalam menetapkan fatwa ini, MUI menggunakan metode tahqīq al-manā¯ al-khā¡ dengan mengemukakan berbagai hal tentang Malaikat Jibril dan kemungkinan manusia mendapatkan informasi tentang alam gaib, sebagaimana diungkap oleh para ulama masa lalu. Hal itu kemudian dicocokkan ke dalam kasus Lia Aminuddin yang mengaku didampingi oleh Jibril.

2. Aliran Ahmadiyah

Fatwa tentang aliran ahmadiyah ini sesungguhnya pernah difatwakan oleh MUI pada Munas II yang diadakan di Jakarta tahun 1980.[40] setelah sekian lama, tampaknya fatwa MUI yang menyerukan tiga hal, seruan agar para ulama dan dai menjelaskan tentang sesatnya aliran ini, seruan bagi mereka yang terlibat dengan aliran ini agar segera kembali ke jalan yang benar, dan bagi umat Islam agar meningkatkan kewaspadaan jangan sampai terlibat dengan aliran ini, tampaknya mulai dilupakan; sehingga, aliran ini kembali berkembang pesat, bahkan sempat mendirikan pusatnya di Parung Bogor. Perkembangan yang tejadi pada aliran ini menimbulkan keresahan, bahkan sudah pada tingkat yang cukup kronis, sehingga dipandang perlu bagi MUI untuk mengkaji dan menerbitkan kembali fatwa yang sudah pernah difatwakan ini. Di samping itu, ada kesimpangsiuran dalam hal pemahaman masyarakat tentang aliran ahmadiyah ini.

Dalam fatwa ini, MUI menyatakan menegaskan kembali fatwa MUI dalam MUNAS II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya dinyatakan murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti aliran ini, diserukan agar segera kembali kepada jalan yang benar, yang sejalan dengan al-Quran dan al-Hadis. Bagi pemerintah, diserukan bahwa ia wajib melarang penyebaran faham ini di seluruh wilayah Indonesia dan membekukan organisasi ini, serta menutup semua tempat kegiatannya.[41]

Beberapa teks ayat jadi bahan pertimbangan fatwa ini. QS. Al-Ahzab (33): 40[42] tentang Muhammad adalah Rasulullah dan Nabi terakhir; ayat ini turun setelah Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy, seorang janda mantan isteri Zaid ibn Harisah, anak angkat Rasulullah saw. Pernikahan beliau ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat saat itu, dengan tuduhan bahwa Rasulullah telah menikahi janda anaknya. Anak angkat, saat itu, sesuai tradisi dianggap persis seperti anak kandung, sehingga pemanggilan nasabpun diberikan nasab ayah angkatnya, yakni Zaid ibn Muhammad. Perintah untuk menikahi Zainab binti Jahsy dimaksudkan untuk membatalkan tradisi anak angkat yang menduduki posisi seperti anak kandung, sehingga janda anak angkatnya pun dianggap haram dinikahi oleh ayah angkatnya. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Muhammad bukanlah ayah biologis dari seseorang, tetapi Beliau adalah Rasulullah yang posisinya lebih dari sekedar ayah bagi seseorang, tetapi merupakan ayah bagi setiap orang yang menjadi umatnya. Pernyataan ini lebih dikuatkan lagi dengan pernyataan sebagai “nabi penutup”. Sebab, seorang ayah bagi anak adalah ayah terakhir, tidak akan ada ayah lagi setelahnya, sehingga perhatian dan nasehat seorang ayah kepada anaknya harus sempurna dan maksimal; demikian juga halnya dengan rasul terakhir, ajarannya pun harus sempurna, karena tidak akan ada rasul lagi setelahnya.[43]

QS. Al-An’am (6): 153[44] tentang jalan lurus yang harus diikuti; ayat ini merupakan ujung dari rentetan ayat yang menjawab pernyataan orang-orang musyrik bahwa apa yang mereka lakukan, tidak lepas dari kehendak Allah. Menurut mereka, kalau Allah menghendaki, mereka tidak akan melakukan pengharaman-pengharaman seperti yang mereka dan para pendahulunya lakukan. Dua ayat sebelumnya menjelaskan tentang pokok-pokok syariah yang dibawa oleh Rasul dan diakhiri dengan ayat ini. Ia menjelaskan bahwa inilah agama Islam yang merupakan jalan lurus yang mencakup ajaran-ajaran sebelumnya. Oleh karenanya, orang yang tidak mengikuti jalan ini dianggap telah mengambil jalan menyimpang .[45]

QS. Al-Maidah (5): 105[46] tentang orang yang mendapat hidayah tidak dapat diperdaya oleh orang yang sesat. Dalam salah satu riwayat, ayat ini turun akibat dari kegelisahan kaum mukminin akan tingkah laku orang-orang kafir yang tenggelam dalam maksiat dan kesesatan mereka. Seakan ayat ini menyatakan bahwa kaum mukminin tidak perlu merasa gelisah dengan apapun yang mereka lakukan, karena kesesatan mereka tidak akan berpengaruh apapun bila kaum mukminin berada dalam hidayah.[47] Ayat ini tampaknya kurang tepat untuk dijadikan dasar hukum fatwa ini, lebih tepat bila digunakan untuk mengingatkan orang mukmin agar mereka tidak terlalu gelisah dengan tingkah laku orang kafir dengan maksiat dan rekayasa mereka untuk menggelisahkan kaum mukminin. Oleh karena itu, ayat ini kurang relevan dengan kasus ini.

Di samping ayat-ayat di atas, beberapa hadis juga menjadi pertimbangan fatwa ini, di antaranya hadis لَا نَبِيَّ بَعْدِي (tidak ada nabi setelahku) dan hadis إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ[48] (sesungguhnya kerasulan dan kenabian sudah terputus, maka tidak adan rasul setelahku, dan juga tidak ada nabi).

Di samping landasan di atas, MUI juga memperhatikan apa yang telah difatwakan dalam keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islāmi Organisasi Konferensi Islam dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985 tentang Aliran Qodiyaniyyah yang di antaranya menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari agama Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qa¯’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir, serta tidak ada lagi wahyu yang turun kepada siapapun setelahnya.[49]

Permasalahan pokok yang menyebabkan aliran ini dianggap murtad dan keluar dari Islam adalah keyakinan mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Rasulullah saw. Oleh karena itu, landasan yang digunakan dalam fatwa ini adalah ayat-ayat dan hadis-hadis tentang kerasulan Muhammad dan pernyataan bahwa Beliau adalah Rasul terakhir yang tidak ada rasul dan nabi lagi setelahnya. Bila ada orang atau kelompok yang menyatakan berbeda dengan keyakinan di atas, maka ia dianggap berada di luar Islam dan dinyatakan sebagai murtad.

Penggunaan beberapa ayat al-Quran yang telah disebutkan sebagai dalil sudah cukup memadai. Sedangkan hadis yang digunakan hanya berupa potongan, tidak merupakan riwayat secara lengkap. Secara lengkap, hadis itu diriwayatkan oleh Furāt al-Qazzāz yang menyatakan bahwa ia mendengar Abu Hazim bercerita bahwa ia bergaul dengan Abu Hurairah selama lima tahun. Salah satu hadis yang didengar darinya adalah hadis tentang tidak ada nabi setelah Rasulullah saw, yang ada hanyalah para khalifah yang menggantikan Beliau dan memimpin umat Islam. Ketika para sahabat menanyakan apa yang harus dilakukan, Beliau memberikan arahan agar umat Islam berbaiat kepada mereka.[50]

Hal ini dapat difahami, karena memang hadis ini tidak spesifik membahas tentang kenabian Rasulullah sebagai nabi terakhir. Demikian juga dengan hadis yang kedua. Akan tetapi, tradisi memotong hadis atau ayat untuk dijadikan argumentasi sebuah fatwa adalah tradisi yang kurang baik dan sudah seharusnya ditinggalkan, sehingga apapun yang akan dijadikan dalil, harus diungkap secara lengkap, bila dimungkinkan. Dengan demikian, penggunaan ayat dan hadis sebagai landasan fatwa, meskipun seharusnya diungkap secara lengkap, sudah dianggap cukup memadai. Apalagi ditambah dengan fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islāmi, sebuah lembaga yang didirikan oleh OKI (organisasi Konferensi Islam) dalam muktamarnya yang kedua di Jeddah tahun 1985[51]. Hal ini lebih memperkuat fatwa ini.

Secara metodologis, tampaknya MUI mengungkapkan kembali apa yang telah diungkap dalam ayat dan hadis sebagai hukum-hukum qa¯’i yang sudah jelas. Dalam teori al-Syā¯ibī, apa yang dilakukan oleh MUI dalam fatwa ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok metode tahqīq al-manā¯ yang menetapkan bahwa konsep khātam al-nabiyyīn berlaku tanpa batas waktu. Artinya, konsep Rasulullah sebagai khātam al-nabiyyīn tetap berlaku sampai kapanpun, sehingga kelompok Ahmadiyah yang menganggap bahwa ada nabi setelah Muhammad Rasulullah saw adalah konsep yang tidak sesuai dengan ajaran yang qa¯’i dan disepakati. Oleh karena itu, difatwakan sebagai aliran faham keagamaan yang sesat.

3. Fatwa tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah)[52]

Berawal dari banyaknya praktek perdukunan dan peramalan, ditambah lagi dengan begitu banyaknya tayangan media massa, baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan dua hal di atas, MUI memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang dapat membawa masyarakat kepada perbuatan syirik yang dosanya tidak dapat diampuni oleh Allah swt. Di samping itu, dua hal di atas sudah sampai dalam taraf yang meresahkan masyarakat. Oleh karenanya, demi kemunian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari keresahan dan perbuatan yang dapat membawa kepada kemusyrikan, MUI mengeluarkan fatwa dalam dua hal ini sebagai sarana untuk membimbing umat Islam untuk menghindari keduanya dan memurnikan tauhid.

Dalam fatwanya, MUI dengan tegas mengharamkan berbagai praktek perdukunan (kahānah), dan peramalan (‘Irāfah). Bukan hanya itu, berbagai bentuk publikasi, apalagi memanfaatkan dan menggunakannya. Bahkan, mempercayainya saja adalah suatu perbuatan yang diharamkan.

Secara bahasa, kata الكهانة merupakan masdar dari kata كهن berarti قضى له بالغيب [53](memutuskan perkara dengan hal gaib). Ahmad Warson memaknai kata ini dengan “meramal sesuatu yang gaib”.[54] Secara terminologis, menurut Fauzan kata ini memiliki definisi sebagai berikut الإخبار عن المغيبات بسبب ما يتلقاه الكاهن عن الشيطان [55] (memberitahukan hal-hal gaib berasal dari apa yang ia dapatkan dari Syaitan). Sebagian ulama menambahkan definisi tersebut dengan pernyataan في المستقبل (di masa depan); ada juga yang mendefinisikannya sebagai الذي يُخبر عمّا في الضمير [56](yang mengabarkan sesuatu yang ada dalam hati/jiwa). Sedangkan kata العرافة secara bahasa berasal dari kata عرف berarti علم [57] (mengetahui, mengenal[58]), dalam derivasinya, salah satu yang diungkap adalah kata عراف berarti ahli nujum, tukang ramal.[59] Tampaknya, dua kata di atas memiliki makna yang tidak jauh berbeda, yakni memberitahukan sesuatu dari alam gaib tentang sesuatu yang belum terjadi.

Ibnu Hajar al-'Asqalāni (wafat 852 H) menegaskan bahwa term “al-kāhin” juga disamakan dengan al-'Arrāf dan al-Munajjim. [60] Dalam prakteknya, biasanya orang yang memberi jasa peramalan sekaligus juga memberikan pelayanan solusi terhadap kesulitan yang mungkin terjadi, sehingga bisa saja yang melakukannya adalah orang yang sama dengan bantuan makhluk lain.

Imam al-Nawawi ketika menjelaskan haramnya memakan upah perdukunan menyatakan bahwa di kalangan Arab masa lalu terdapat tiga macam perilaku perdukunan, antara lain: a), orang yang memiliki pembantu berupa jin yang memberitahunya tentang apa yang ia curi dengar dari langit; b), memberitahukan apa yang akan terjadi yang masih rahasia di suatu daerah, baik dalam waktu dekat ataupun jauh; dan c), ahli nujum, yakni orang yang diberi oleh Allah suatu “kekuatan”, tetapi lebih sering bohong dari pada benarnya. Salah satu dari macam yang ketiga ini adalah tukang ramal (عراف) yang mengaku mengetahui sesuatu di masa depan dengan melihat berbagai gejala yang ada.[61]

Dari beberapa penjelasan di atas, tampaknya dapat disimpulkan bahwa antara perdukunan dan peramalan memiliki keterkaitan yang erat, karena keduanya menggunakan bantuan dari makhluk lain berupa jin atau makhluk gaib lainnya. Akan tetapi, dalam pengertian tradisi di Indonesia, peramalan bermakna lebih sempit, yakni hanya terkait dengan pemberitahuan sesuatu yang akan datang dengan menggunakan media alam gaib. Sedangkan perdukunan, memiliki makna lebih luas, yakni memberitahukan sesuatu yang akan terjadi sekaligus memberi solusi atas kesulitan yang akan terjadi dengan menggunakan media alam gaib dan bantuan makhluk yang juga gaib.

Berkaitan dengan perdukunan dan peramalan, MUI menggunakan argumen beberapa ayat tentang kemusyrikan, di antaranya QS. Al-Nisa (4): 48 dan 116[62], dilengkapi dengan QS. Al-Hajj [22]: 31[63]. Ayat-ayat ini menjelaskan tentang kondisi orang yang menyekutukan Allah. Dalam surat al-Nisa: 48, Allah menjelaskan bahwa berbuat syirik berarti berbuat dosa besar; sementara ayat 116, menjelaskan bahwa syirik berarti sesat; dalam surat al-Hajj: 31 mengumpamakan orang yang berbuat syirik seakan ia jatuh dari langit, lalu disambar burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.

Syirik dalam makna bahasa adalah kufur, dalam arti menjadikan makhluk Allah sebagai sekutu-sekutu bagi-Nya[64]. Secara terminologis, menurut al-Wuhaibi :صرف أي نوع من أنواع العبادة لغير الله عز وجل [65] (pemalingan sebuah ibadah kepada selain Allah). Lebih lanjut, al-Wuhaibi menjelaskan bahwa syirik dalam hal ibadah ada empat macam, antara lain: syirik dalam doa; syirik niat, kehendak, dan maksud; syirik ketaatan; dan syirik cinta.[66]

MUI menggunakan ayat-ayat ini sebagai argumentasi fatwa, tampaknya hendak menyatakan bahwa perdukunan dan peramalan adalah bagian dari syirik. Dapat difahami dari pembahasan di atas bahwa salah satu model syirik dalam ibadah adalah syirik doa. Akan tetapi, perdukunan dan peramalan bukan hanya termasuk dalam syirik doa saja, tetapi bahkan bisa dimasukkan ke dalam empat macam syirik itu. Syirik doa, karena seorang dukun berdoa kepada selain Allah; syirik niat, karena dia melakukan perbuatannya bukan karena Allah; syirik ketaatan, karena ia menaati apa yang diperintahkan oleh makhluk gaib yang menjadi “pembantu”-nya; dan syirik cinta, karena ia lebih mencintai jin itu dari pada Allah.

Di samping ayat-ayat di atas, MUI juga menggunakan beberapa ayat lain berkaitan dengan masalah pengetahuan tentang hal-hal gaib, di antaranya QS. Al-Naml [27]: 65[67] yang menjelaskan bahwa hanya Allah sajalah yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang alam gaib, tidak ada satupun makhluq yang ada di seluruh alam memiliki pengetahuan tentang hal itu; al-An’am [6]: 59[68] yang menegaskan bahwa kunci alam gaib berada di sisi-Nya, tidak ada yang tahu selain Dia; Al-A’raf [7]: 188[69] yang merupakan penjelasan bahwa Rasulullah saw bukanlah makhluq yang mengetahui segalanya, pengetahuannya tentang hal gaib terbatas hanya pada apa yang diwahyukan saja[70]; QS. Al-Jinn (72): 26 – 27[71] yang menegaskan bahwa Dia-lah yang mengetahui segalanya, termasuk hal gaib. Sebagian pengetahuan tentang alam gaib memang diberitahukan kepada Rasul-Nya, tetapi hanya terbatas pada apa yang Dia izinkan saja, tidak segalanya[72]. Al-Zamakhsyari (wafat 1143 M) menjelaskan bahwa pengkhususan rasul tertentu dengan pengetahuan terhadap alam gaib merupakan dalil yang menunjukkan perdukunan dan peramalan adalah sesuatu yang batil dan tidak mungkin terjadi. Karena, mereka yang mengaku mengetahui alam gaib, jauh dari kategori orang yang mendapat rida dan izin-Nya untuk mengetahui hal-hal gaib[73]; dan QS. Luqman (31): 34[74] yang menjelaskan tentang kunci-kunci alam gaib yang lima[75].

Berbeda dengan sebelumnya yang membahas tentang syirik, ayat-ayat ini berkaitan dengan pengetahuan tentang alam gaib. Secara umum, ayat ini menyatakan bahwa tidak ada satupun yang mengetahui alam gaib dan apa yang akan terjadi kecuali hanya Allah saja. Jangankan manusia biasa, rasul-Nya pun tidak dapat mengetahuinya kecuali hanya apa yang diberitakan saja. Tampaknya, ayat-ayat ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bila ada orang yang menyatakan dirinya mengetahui tentang sesuatu yang gaib atau yang akan terjadi di masa yang akan datang, maka meskipun kemudian ada yang kebetulan benar, maka sesungguhnya hanya bohong belaka, karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah saja. Di samping berkaitan dengan pengetahuan tentang alam gaib, disebut juga kemampuan untuk mencelakakan atau menarik keuntungan kecuali hanya dengan izin Allah saja. Demikian juga masalah turun hujan atau masa depan seseorang.

Ayat lain yang digunakan sebagai dalil fatwa ini adalah QS. Al-An’am (6): 17 – 18[76]. Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin tidak diperbolehkan menjadikan makhluk lain seperti jin dan sejenisnya sebagai penolongnya. Sebab, tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan diri dari musibah yang yang menimpa bila Allah menghendakinya; demikian juga tidak ada satupun yang dapat mencegah, bila Allah menghendaki keberuntungan bagi seseorang.[77]

Dari penggunaan ayat-ayat di atas, sangat tampak bahwa MUI menggiring pemahaman pembaca fatwa ini dimulai dari ayat-ayat tentang syirik dan kondisi orang yang melakukannya; dilanjutkan dengan pemberitahuan bahwa permasalahan gaib tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah swt. Bila ada orang yang mengaku bahwa dia mengetahui hal gaib atau hal-hal yang akan terjadi di masa depan, maka orang itu patut dicurigai mendapat bantuan dari makhluk gaib. Bila orang itu memang dibantu oleh makhluk gaib, maka dia telah masuk ke dalam kategori perbuatan syirik. Hal terakhir yang diingatkan dari ayat-ayat ini adalah bahwa bantuan apapun yang didapat dari makhluk lain, termasuk di dalamnya makhluk gaib, sesungguhnya tidak bermanfaat apapun, bila Allah tidak menghendakinya. Masalahnya adalah bahwa ayat-ayat ini tidak dijelaskan sedikitpun mengenai wajh al-dilalah-nya sehingga pembaca fatwa mengalami kesulitan membaca dan mengkaji arah fatwa ini.

Di samping itu, juga menggunakan beberapa hadis tentang ancaman bagi orang yang mendatangi dukun. Hadis pertama yang dijadikan dasar fatwa adalah hadis tentang sanksi bagi orang yang datang dan bertanya kepada tukang ramal.[78] Hadis ini menyatakan bahwa orang yang mendatangi tukang ramal untuk menyatakan sesuatu, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Maksud dari “salatnya tidak diterima” adalah salatnya tidak mendapat pahala yang seharusnya, tetapi kewajibannya tetap dianggap terpenuhi, dalam arti ia tidak diwajibkan untuk mengulang salatnya.[79] Hadis ini merupakan ancaman serius bagi orang yang mendatangi tukang ramal atau sejenisnya.

Hadis kedua yang digunakan dalam fatwa ini memberikan ancaman lebih keras lagi, yakni dianggap telah kafir dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw, bila ia mendatangi dan percaya dengan apa yang dikatakannya.[80] Menurut MUI, hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Hakim. Memang benar bahwa al-Hakim meriwayatkannya. Hanya saja, memiliki redaksi yang berbeda. Perbedaannya terletak pada kata عَرَّافًا lebih dulu dari kata كَاهِنًا. Dalam penjelasan al-Asqalani disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh semua penyusun kitab sunan dengan redaksi yang tidak berbeda[81].

Hadis berikutnya adalah tentang larangan Rasulullah terhadap harga anjing, upah melacur, dan upah perdukunan.[82] Tampaknya hadis ini digunakan oleh MUI sebagai dalil yang menunjukkan bahwa salah satu cara mencari rizki yang tidak diperbolehkan oleh Rasulullah saw adalah upah dari perdukunan.

Fatwa juga mencantumkan hadis tentang penggunaan jimat, yang dalam hal ini disebutkan sebagai salah satu bentuk syirik.[83] Tamīmah (jimat) adalah salah satu produk dari perdukunan. Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah secara tegas menyatakan orang yang menggunakan tamīmah dianggap sama dengan menyekutukan Allah. Dalam penelitian al-Haisami (wafat 807 H/1405 M[84]), hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan al-°abarāni. Dalam komentarnya, ia menyatakan bahwa hadis ini yang diriwayatkan oleh Ahmad memiliki perawi yang £iqah (dapat dipercaya).[85] Oleh karena itu, hadis ini dapat digunakan sebagai dasar sebuah hukum.

Hadis tentang kunci alam gaib[86] juga dikemukakan dalam fatwa ini. Hadis ini menjelaskan lima hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, yakni: apa yang terjadi esok, apa yang ada dalam rahim, apa yang didapat besok, di mana akan meninggal, dan kapan akan turun hujan.

Di samping ayat dan hadis di atas, MUI juga menggunakan dua kaidah fiqh berikut:

ما دل على الحرام فهو حرام \ كل ما يتوصل إلى الحرام فهو حرام

Artinya: Sesuatu yang menunjukkan kepada yang haram, maka hal itu adalah haram/setiap sesuatu yang menyebabkan sampai kepada yang haram, maka ia adalah haram.

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya: Meninggalkan mafsadah lebih didahulukan dari mencari maslahat.

Dua kaidah ini adalah kaidah yang digunakan dalam kerangka pencapaian maslahat. Kaidah pertama adalah berkaitan dengan sadd al-©arī’ah (menutup jalan). Dalam konsep al-Syatibi tentang ©arī’ah sebagai salah satu metode ijtihad tatbiqi, yang telah dibahas sebelum ini, dinyatakan bahwa setiap jalan menuju sesuatu yang wajib adalah wajib; demikian juga sebaliknya, jalan menuju haram adalah haram.

Penggunaan ayat-ayat dan hadis-hadis, juga kaidah dalam fatwa ini tampak lebih sistematis dari pada fatwa yang terbit sebelum ini. Hal ini tampak dari pemilihan ayat dan hadis yang cukup relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Hanya saja, pembaca fatwa masih harus bekerja keras memahami wajh al-istidlāl setiap dalil yang dikemukakan, karena belum dikemukakan dalam konsideran fatwa. Satu hal lagi, pemenggalan ayat dan hadis masih dilakukan, padahal, pemenggalan ayat atau hadis dapat menjadikan orang salah memahaminya, karena salah satu tradisi al-Quran adalah al-munasabah[87] (keterkaitan) antara satu kata dengan kata lainnya dalam satu ayat; atau antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat; atau bahkan antara satu surat dengan surat lainnya; dan hal ini sangat berarti dalam memaknai dan memahami sebuah ayat.

Kesimpulan akhir yang dilakukan MUI, sesungguhnya, hanya mengungkap kembali apa yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai kitab yang ada. Dalam penjelasan al-Asqalani umpamanya ditegaskan bahwa hukumnya haram secara ijma’, karena merupakan upah dari sesuatu yang diharamkan, termasuk di dalamnya upaya meramal dengan berbagai cara yang lain.[88] Hal ini tentunya termasuk dengan upaya mencari tahu tentang hal gaib dengan cara-cara modern seperti menggunakan kartu, bintang zodiak, atau cara lainnya. Bila mencari tahu tentang hal gaib melalui juru ramal atau sejenisnya yang menggunakan makhluk gaib sebagai mediatornya adalah diharamkan, maka tentunya lebih haram lagi bila memanfaatkan makhluk gaib seperti jin atau sejenisnya digunakan dalam berbagai upaya sebagai solusi atas kesulitan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Dalam fatwa ini, MUI menggunakan tarjih sebagai metode untuk menyimpulkan hukum. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber, terutama al-Quran dan al-Sunnah. Kemudian dilengkapi dengan penjelasan para ulama tentang materi yang dibahas. Al-Qaradawi menggolongkannya ke dalam ijtihad intiqā`i. Sedangkan dalam konsep al-Syatibi, ijtihad MUI ini dikategorikan dalam kelompok ijtihad yang menggunakan tahqīq al-manāt al-khā¡, yakni mencocokkan konsep yang sudah diungkap pada masa lalu ke dalam kasus-kasus baru yang terjadi pada masa sekarang.

4. Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Fatwa ini merupakan jawaban atas keresahan umat Islam yang diakibatkan oleh berkembang aliran yang didirikan oleh Ahmad Musaddeq ini. Betapa tidak. Aliran ini membuat syahadat baru yang menyatakan bahwa rasulnya bukan Muhammad saw, tetapi al-masih al-mau’ud yang tidak lain adalah diri Ahmad Musaddeq sendiri, yang berarti meyakini adanya nabi baru setelah Muhammad Rasulullah saw, dan tidak mewajibkan salat, puasa, dan haji. Hal ini tentunya sangat jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, ajaran ini dianggap berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Orang yang mengikutinya berarti telah murtad, keluar dari Islam. Aliran ini dianggap telah menodai dan mencemari agama Islam karena telah mengajarkan ajaran menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Bagi yang terlanjur mengikuti dihimbau untuk kembali kepada kebenaran, sejalan dengan al-Quran dan Hadis. Untuk aplikasi fatwa ini, MUI secara tegas menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyyah, menutup semua tempat kegiatan, serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[89]

Fatwa ini dengan tegas telah menunjukkan pola aplikasinya dengan menunjuk langsung kepada Pemerintah agar menindaklanjuti fatwa ini dengan menggunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[90]

Dalam Pedoman Identifikasi Aliran Sesat yang merupakan salah satu keputusan Rakernas MUI 2007 telah disebutkan kriteria aliran sesat yang tercantum pada bab VI dengan rincian sebagai berikut:

a. Mengingkari salah satu dari rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima;

b. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (al-Quran dan al-Sunnah);

c. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran;

d. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;

e. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;

f. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam;

g. Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;

h. Mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir;

i. Merubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardu tidak lima waktu;

j. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.[91]

Beberapa teks ayat jadi bahan pertimbangan fatwa ini. QS. Al-Ahzab (33): 40 tentang Muhammad adalah Rasulullah dan Nabi terakhir; QS. Al-An’am (6): 153 tentang jalan lurus yang harus diikuti; tentang dua ayat ini, telah dilakukan pembahasannya dalam fatwa tentang aliran ahmadiyah sebelum ini.

QS. Al-Baqarah (2): 217[92] tentang orang meninggal dalam keadaan murtad berarti telah kafir; ayat ini sebenarnya adalah berkaitan dengan pertanyaan seseorang tentang bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya berperang. Pertanyaan itu ditujukan kepada Rasulullah sebelum perang Badar terjadi. Ayat ini menjawab bahwa mengusir warga dari Mekkah jauh lebih besar dari pada perang pada bulan haram. Selanjutnya, ayat ini menjelaskan bahwa sikap orang kafir saat itu senantiasa berupaya untuk mengembalikan orang yang sudah beriman kepada agama mereka sebelumnya. Ayat ini diakhiri dengan ancaman bagi mereka yang mengikuti ajakan orang kafir untuk kembali ke agama sebelumnya, murtad, dengan ancaman neraka untuk selamanya.[93] Penggunaan ayat ini sebagai dasar argumentasi fatwa ini sangat mengherankan; sebab, menurut penulis, ayat ini tidak relevan dengan materi pembahasan. Aliran ini adalah hal baru, sehingga tidak mungkin bisa dianalogikan dengan kaum musyrik Quraisy yang berupaya mengembalikan orang yang sudah beriman kepada agama mereka sebelumnya. Penulis menduga, bahwa MUI mencoba memaknai kata “murtad” hanya dengan “orang yang keluar dari Islam”, padahal, kata ini sesungguhnya berarti kembali kafir setelah menjadi muslim[94], dan sebagian besar pengikutnya, kemungkinan besar bukan berasal dari orang kafir, lalu beriman, lalu menjadi kafir kembali.

QS. Al-Nisa (4): 115[95] tentang akibat bagi orang yang menentang Rasul; bila menelusuri sebab turunnya ayat ini, maka akan sangat tampak bahwa ayat ini tidak ada relevansinya sama sekali dengan permasalahan pengakuan sebagai nabi. Ayat ini turun pada seseorang bernama Tu’mah ibn Ubairiq yang memusuhi Rasul karena merasa tersinggung dengan ayat yang diturunkan Allah telah membongkar salah satu kasus pencurian yang ia lakukan, lalu ia murtad dan pergi ke Mekkah untuk melakukan pencurian juga. Ketika sedang menjebol dinding ia tertimbun dan mati.[96] Berkaitan dengan hal inilah ayat ini turun. Dari sisi makna ayat, tampaknya juga sangat memaksakan bila harus dihubungkan dengan kasus pengakuan Musaddeq menjadi nabi ini, sehingga sangat tidak relevan rasanya bila ayat ini dijadikan sebagai dasar pertimbangan fatwa ini.

QS. Ali Imran (3): 32[97] tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini merupakan jawaban atas pernyataan Abdullah ibn Ubay, seorang munafiq, yang memelintir ayat sebelumnya, sebagai rekayasa Muhammad agar diposisikan sebagai Isa as. Dengan tegas ayat ini menolak apa yang dikemukakan oleh Abdullah ibn Ubay dengan menyatakan bahwa ketaatan kepada Muhammad Rasulullah saw merupakan konsekuensi dari iman. Bila ketaatan itu tidak dilakukan berari sudah tidak taat kepada Allah, dan sebagai akibatnya adalah murka dari Allah swt.[98] Penggunaan ayat ini sebagai argumentasi fatwa ini, lagi-lagi, dirasa kurang relevan. Sebab, materi yang dibahas adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, bila mereka diasumsikan sebagai seorang muslim yang sedang tersesat, maka hal ini bisa dilakukan untuk menjadi peringatan bagi mereka atas tindakan yang dilakukan. Sehingga, secara moral, relevansi itu menjadi tampak, meskipun terasa dipaksakan.

Di samping ayat-ayat di atas, beberapa hadis juga dijadikan bahan pertimbangan, antara lain : hadis yang diriwayatkan oleh Furat al-Qazzaz sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini tentang kewajiban mengikuti khalifah pengganti nabi; juga hadis tentang telah terputusnya kenabian dan kerasulan, sehingga tidak ada nabi setelah Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik[99]; juga hadis tentang lima hal yang menjadi dasar Islam yang diriwayatkan oleh Ibn Umar[100].

Sebagaimana fatwa tentang aliran yang dianggap sesat sebelumnya, paling tidak, aliran ahmadiyah, fatwa ini pun berkaitan dengan keberadaan rasul setelah Rasulullah saw. Oleh karena itu, beberapa ayat dan hadis yang digunakan pun tidak jauh berbeda dengan fatwa sebelumnya, yakni tentang keberadaan Rasulullah saw sebagai rasul terakhir. Hanya saja, ada satu penambahan hadis, yakni yang berkaitan dengan rukun Islam yang lima. Tampaknya, tambahan ini untuk menegaskan kembali apa yang mereka proklamirkan sebagai syahadat mereka yang secara tegas mengganti kesaksian terhadap Muhammad sebagai Rasulullah dengan ­al-Masih al-Mau’ud.

Ayat dan hadis yang digunakan pun sudah cukup representatif untuk dijadikan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa aliran yang disebut dalam fatwa ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan dinyatakan sebagai aliran sesat.

Secara metodologis, permasalahan dalam fatwa ini sebenarnya tidak jauh dari apa yang pernah difatwakan dalam kasus faham ahmadiyah yang menganggap bahwa Ghulam Ahmad adalah rasul. Fatwa inipun berkaitan dengan seseorang yang mengaku dirinya rasul, yakni Ahmad Musaddeq. Oleh karena itu, argumentasi yang dikemukakan oleh MUI dalam fatwa ini tidak jauh berbeda dengan argumentasi pada fatwa tentang Ahmadiyyah. Hanya saja, fatwa ini kemudian disertai dengan kriteria aliran sesat. Dalam penetapan kriteria aliran sesat ini, tampaknya MUI berperan sebagai mujtahid yang menetapkan kriteria dengan menggunakan tahqīq al-manā¯ al-’āmm.

Dalam penetapan bahwa aliran ini sesat, MUI menggunakan tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ sebagai metodenya dengan cara mencocokkan kriteria tersebut dengan apa yang terjadi pada aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah. Tentunya hal ini tidak terkait dengan hak asasi manusia dalam hal kebebasan beragama, sebab mereka mengemukakan faham mereka dengan mencatut beberapa point ajaran Islam yang kemudian mereka selewengkan semau mereka.

Mencermati dua fatwa di atas, tampaknya, fatwa MUI dalam bidang faham keagamaan yang menggunakan metode tahqīq al-manā¯ sebagai metode ijtihād ta¯bīqī-nya, dalam penelusuran Penulis hanya mendapati dua fatwa ini. Meskipun demikian, tampaknya fatwa ini sudah cukup mewakili bahwa dalam menganalisis sebuah permasalahan, ternyata MUI, meskipun mungkin tidak secara sadar, telah melakukan apa yang telah dikonsepkan oleh al-Sya¯ibī beberapa abad sebelum fatwa ini diterbitkan.

B. Tahqīq al-Manā¯ dalam Fatwa Bidang Ibadah

Penerapan konsep tahqīq al-manā¯ dalam fatwa MUI bidang ibadah di antaranya tercermin pada beberapa fatwa berikut:

1. Salat Jumat dua gelombang

Salat Jumat adalah salah satu ibadah yang hukumnya fardu ‘ain. Fatwa ini dimunculkan karena adanya umat Islam yang bekerja pada sejumlah industri yang sistem operasionalnya tidak bisa dihentikan, karena bila dihentikan sesaat saja akan berakibat kerusakan mesin yang tentunya menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Oleh karena hal seperti ini, maka umat Islam yang bekerja pada industri semacam ini tentunya tidak bisa meninggalkan operasional mesin itu secara bersamaan dan harus bergantian, sehingga menuntut adanya salat Jumat secara bergantian.

Fatwa ini menyatakan bahwa alasan di atas bisa diterima oleh hukum Islam sebagai uzur syar’i. Meskipun demikian, salat Jumat dua gelombang di tempat yang sama pada waktu berbeda tidak ditemukan dalam tuntunan Nabi, sahabat, dan ulama salaf. Tuntunan yang ada adalah umat Islam yang karena uzur syar’i dapat meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan salat zuhr.

Ayat yang digunakan adalah ayat tentang kewajiban salat Jumat yang terdapat dalam QS. Al-Jumu’ah (62): 9[101]. Secara jelas, ayat ini menegaskan bahwa Allah memberi perintah kepada orang mukmin agar meninggalkan segala aktivitas bila mendengar panggilan untuk menunaikan salat Jum’at. Ayat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang membedakan antara seorang muslim dengan seorang yahudi. Yahudi selalu menghindari kematian dan mengalihkannya ke permasalahan dunia dan berbagai hiasannya. Ayat ini mengingatkan kaum yahudi agar mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk akhirat mereka, yakni menghadiri salat Jumat.[102] Dalam hukum Islam, ayat ini adalah perintah yang menunjukkan bahwa salat Jumat adalah wajib bagi seorang mukmin.[103] Sebagai dalil pendahuluan fatwa ini, ayat ini sangat relevan dengan masalah yang dibahas.

Di samping ayat tersebut, fatwa ini juga mengemukakan hadis tentang ancaman Rasulullah saw terhadap kaum yang sengaja meninggalkan salat Jumat[104] sebagai landasannya. Tampak dari pernyataan Rasulullah saw dalam hadis ini bahwa Beliau tidak menyukai orang-orang yang tertinggal salat Jumat. Dalam penjelasan al-Suyuti menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan salat Jumat harus dihukum dengan hukum denda. Sebab, dalam hadis disebutkan “membakar rumah”, ini berarti hukum yang bersifat harta.[105]

Hadis lain yang dijadikan landasan fatwa ini adalah hadis tentang ancaman lain bagi orang yang meninggalkan salat Jumat[106]. Hadis ini menunjukkan pentingnya salat Jumat, jangan sampai ditinggalkan; sebab, bila ditinggalkan tanpa uzur syar’i, Allah akan menutup hati mereka dan mereka pun menjadi manusia pelupa. Menurut al-Nawawi, hadis ini menunjukkan dua hal, penggunaan mimbar dalam salat Jumat hukumnya mustahab, dan salat Jumat sendiri hukumnya fardu ‘ain.[107] Dalam kaitan ini, tampaknya MUI hendak menggunakan hadis ini untuk menyatakan bahwa salat Jumat adalah sebuah kewajiban yang tidak seenaknya saja dapat ditinggalkan.

Di samping ayat dan hadis di atas, beberapa pendapat yang diungkap oleh para imam mazhab[108] dan kontemporer[109] pun digunakan sebagai landasan fatwa ini. Semuanya sependapat bahwa ibadah harus ada tuntunan Rasul, bila tidak maka ibadah itu dianggap tidak diterima. Selain itu, pengulangan salat Jumat dalam satu masjid dianggap tidak ada tuntunan dari Rasul, sehingga tidak boleh dilakukan. Pendapat ulama mazhab pun turut melengkapi landasan fatwa ini. Kemudian, diakhiri dengan potongan sebuah hadis yang mengharuskan untuk melakukan perintah semampunya: إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ [110](bila aku perintahkan kepadamu suatu perintah, maka laksanakanlah semampumu).

Secara metodologis, fatwa ini merupakan hasil seleksi dari pendapat para ulama masa lalu yang dipaparkan dalam konsideran fatwa ini. Argumentasi yang diungkap dalam fatwa ini secara runtun mulai dari ayat al-Quran, al-hadis, kaidah fiqh, pendapat para ulama, dan realisasinya dalam sejarah yang ternyata tidak ada satupun yang membahas dan atau melaksanakan salat Jum’at dua gelombang dalam satu masjid. Oleh karena itu, simpulan yang dipaparkan dalam fatwa ini adalah hasil penelusuran MUI tentang salat Jumat yang kemudian diakomodasi dalam fatwa. Dalam kacamata al-Qaradawi, metode ijtihād ta¯bīqī yang digunakan oleh MUI dalam fatwa ini bisa dikategorikan ke dalam ijtihad intiqa`i. Sedangkan menurut konsep al-Syatibi, metode yang digunakan dalam fatwa ini adalah tahqīq al-manā¯ al-khas dalam menetapkan ketidakmungkinan melaksanakan salat Jumat karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan atau yang seperti itu sebagai salah satu uzur yang dapat ditolerir oleh syara’.

2. Haji bagi narapidana.

Dalam kaitan ibadah haji, MUI mengeluarkan fatwa bahwa orang yang sudah mempunyai biaya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kondisi badannya tidak memungkinkannya untuk melaksanakannya sendiri, baik karena usia tua, penyakit, atau hal lain yang menghalanginya bepergian seperti narapidana, sesungguhnya ia telah mencukupi syarat istita’ah. Oleh karena itu, ia sudah terkena kewajiban haji. Akan tetapi, karena kondisi tidak memungkinkan, maka ia harus membiayai orang lain yang sudah menunaikan haji untuk menghajikannya.[111]

Ayat yang digunakan dalam pertimbangan fatwa ini adalah QS. Ali Imran (3): 97[112] yang menjelaskan salah satu syarat wajib haji adalah isti¯ā’ah (kemampuan). Di samping ayat ini, pendapat dari para imam mazhab juga menjadi bahan pertimbangan. Imam al-Syafi’i[113] dan Ahmad ibn Hanbal[114] menyatakan bahwa isti¯ā’ah yang dimaksud adalah al-zād wa al-rāhilah (bekal dan transportasi).

Imam Malik berpendapat bahwa isti¯ā’ah menyangkut juga masalah kesehatan badan, sehingga menurutnya orang yang tidak memiliki kemampuan dalam hal badan dipandang tidak memiliki kriteria isti¯ā’ah dan belum wajib melaksanakan ibadah haji, meskipun sudah cukup harta untuk biaya haji. Imam Abu Hanifah juga berpandangan demikian, yakni term isti¯ā’ah menyangkut masalah biaya dan kesehatan.[115]

Tampaknya, dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode tarjih, yakni dengan memilih pendapat dari berbagai mazhab dan pendapat ulama, kemudian mencari yang paling kuat. Dalam hal ini, pendapat mazhab Syafi’i dianggap lebih kuat dari yang lain, sehingga disimpulkan bahwa orang yang secara fisik tidak mungkin melakukan ibadah haji, baik karena sudah renta maupun sakit, tetapi memiliki harta cukup untuk haji, maka ia harus membiayai orang lain untuk melakukan ibadah haji menggantikannya. Kondisi seperti ini kemudian dianalogikan dengan narapidana yang secara fisik tidak mungkin melakukan ibadah haji. Tetapi, bila ia mampu membiayai orang lain untuk berhaji, maka hal itu harus dilakukan untuk menggantikannya.

Dalam hal ini, MUI juga telah memilihkan pendapat dari berbagai pendapat yang dipaparkan para ulama terdahulu yang telah terwakili dalam konsideran yang dikemukakan. Dan ini adalah karakter dari ijtihād intiqā`i sebagaimana ditawarkan al-Qaradawi.

Dalam hal penentuan isti¯ā’ah, MUI mencoba mengelaborasi apa yang sudah dipaparkan oleh para ulama terdahulu, kemudian menerapkannya dalam hal isti¯ā’ah bagi kewajiban narapidana untuk menjalankan ibadah haji. Dalam konsep al-Syatibi, cara seperti ini dikenal dengan istilah tahqīq al-manā¯ al-khas.

3. Wanita Menjadi Imam Salat

Dalam hal salat, MUI juga menyampaikan responsnya terhadap kejadian seorang wanita bernama Aminah Wadud menjadi khathib dan imam salat Jumat yang makmumnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, bahkan dalam shaf yang sama. Dalam fatwa yang dikeluarkan pada MUNAS VII MUI tahun 2005, MUI menegaskan bahwa wanita tidak diperkenankan untuk menjadi imam salat yang di antara makmumnya adalah laki-laki. Wanita hanya diperkenankan untuk menjadi imam bagi para wanita saja.[116]

Fatwa ini dilandaskan pada QS. Al-Nisa (4): 34[117] yang menyatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin[118] bagi para wanita. Ayat ini turun disebabkan adanya pembicaraan di kalangan wanita terkait dengan pembagian waris yang lebih mengutamakan kaum pria dari pada wanita. Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita; sebab, meskipun dalam nikah kedudukan pria wanita adalah setara, namun, yang membayar mahar dan berkewajiban memberi nafkah adalah pria.

Di samping itu, juga dilandaskan pada beberapa hadis antara lain: hadis tentang kebolehan wanita menjadi imam bagi keluarganya di rumah[119]; hadis yang melarang wanita menjadi imam bagi pria[120]; hadis tentang cara makmum memberitahukan kesalahan imam[121]; hadis tentang shaff (baris) terbaik bagi lelaki dan shaff terbaik bagi perempuan[122]; dan hadis tentang hal-hal yyang dapat memutus salat seorang wanita[123].

Fatwa ini menambahkan sebuah hadis senada dengan riwayat Abu Daud di atas dengan menambahkan kata نساء sebelum kata أَهْلَ دَارِهَا yang menurut fatwa ini diriwayatkan oleh al-Daraqutni. Akan tetapi, Penulis tidak menemukan satu hadis pun dalam riwayat al-Daraqutni sebagaimana yang diungkap dalam fatwa ini. Hadis yang ada hanya hadis yang sama dengan riwayat Abu Daud.[124]

Hadis tentang saff dalam berjamaah yang diungkap disebutkan sebagai riwayat al-Bukhari. Akan tetapi, penulis tidak mendapatinya dalam sahih al-Bukhari, tetapi ternyata ada dalam sahih Muslim. Demikian juga dengan hadis yang menyatakan tentang beberapa hal yang dapat mengganggu salat jamaah, ternyata urutannya tidak seperti yang ada dalam Sahih Muslim. Tampaknya, MUI tidak cermat dalam mengutip hadis sebagai dasar hukum.

Di samping ayat dan hadis di atas, fatwa juga mengutip penjelasan ulama yang disebutkan sebagai ijma’ sahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah terjadi seorang wanita mengimami laki-laki dan perempuan dan perempuan hanya boleh mengimami para perempuan saja. Mengenai hal ini, Penulis tidak berhasil mendapatinya dalam kitab yang disebut sebagai referensi, yakni Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jāmi' al-Tirmizi yang disusun oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdirrahim al-Mubarakfuri. Dalam kaitan ini, Penulis mendapati penjelasan tentang imam perempuan bahwa seorang perempuan hanya boleh mengimami perempuan saja, dan tidak boleh ada makmumnya yang laki-laki.[125]

Hal lain yang dijadikan argumen dalam fatwa ini adalah kaidah الأصل في العبادة التوقيف والاتباع (hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’[mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi]). Kaidah ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw tentang orang yang melaksanakan ibadah yang tidak pernah ada contohnya, ditolak.[126] Permasalahan salat adalah perkara ibadah, maka ketika Rasul tidak pernah memberikan contoh, maka tidak boleh ada yang membuatnya.

Selain itu, MUI juga mengemukakan tiga kitab yang juga menjadi bahan untuk fatwa ini. Sayangnya, hanya menyebutkan tiga nama kitab itu saja, tanpa menyebutkan isi, apalagi juz dan halamannya. Kitab al-Umm, umpamanya, menjelaskan bahwa wanita boleh mengimami perempuan saja; bila ia mengimami perempuan, laki-laki, dan anak-anak, maka yang dinyatakan sah hanya salatnya para perempuan saja.[127] Kitab lain yang disebutkan adalah al-Mughni yang disusun oleh Ibn Qudamah, salah seorang ahli fiqh mazhab Hanbali. Ternyata, kitab ini tidak membahas masalah perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Yang dibahas hanya tata cara bila seorang perempuan menjadi imam bagi perempuan lain.[128]

Dalam fatwa ini, MUI menggunakan metode al-tarjih di antara pendapat-pendapat para fuqaha dengan berbagai argumennya. Hanya saja, MUI tidak mengemukakan pendapat siapa yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Dalam konsep al-Qaradawi, metode yang dilakukan oleh MUI ini adalah ijtihad intiqa`i, yakni mengemukakan beberapa pendapat dan memilih yang terbaik di antara pendapat-pendapat yang ada.

Dalam konsep ijtihad tatbiqi al-Syatibi, ijtihad yang dilakukan adalah tahqiq al-manat al-khas, yakni mencocokkan saja apa yangada dalam kesimpulan ulama yang sudah ada dengan kasus yang terjadi belakangan.



[1] Keputusan Fatwa MUI Nomor : Kep-768/MUI/XII/1997

[2] لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (البقرة : 177)

[3] Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qur¯ubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1985 M/1405 H), Juz 2, h. 237 – 238

[4] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 136)

[5] Muhammad Ibn Jarīr al-°abari, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Qurān, (Kairo: Muassasah al-Risalah, 2000 M/1420 H), Juz 9, h. 312

[6] Muhammad Ibn Jarīr al-°abarī, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Qurān, Juz 9, h. 313

[7] عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (الجن: 26-27)

[8] Muhammad Ibn Jarīr al-°abarī, Jāmi’ a l-Bayān fi Ta`wīl al-Qurān, Juz 23, h. 671

[9] Mahmud Syaltut, Al-Islām 'Aqīdah wa Syarī'ah, (ttp.: Dar al-Qalam, 1966), h. 32. Bandingkan dengan ¢alih ibn Abd al-Aziz ibn Muhammad ibn Ibrahim Āli al-Syaikh, al-Tamhīd li Syarh Kitāb al-Tauhīd, (ttp.: Dar al-Tauhid, 2003 M/1424 H), h. 489

[10] Ini adalah salah satu bagian dari model penunjukan kata dalam ilmu Usul Fiqh. Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa ada tiga macam dalālah: lughawiyyah, ¯abi’iyyah, dan wa«’iyyah. Dalālah wa«’iyyah terbagi lagi menjadi tiga, yakni : dalālah mutābaqah, dalālah tadāmun, dan dalālah iltizām. Dalālah iltizām berarti penunjukannya terhadap sesuatu di luar yang terkandung dalam pernyataan teks. Muhammad ibn Abdillah al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhī¯, (http://www.al-islam.com), Juz 2, h. 177

[11] يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ (الأنبياء : 20)

[12] يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (النحل: 50)

[13] Na¡r ibn Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi, Bahr al-'Ulūm, (http://www.altafsir.com), juz 2, h. 467; bandingkan dengan Muhammad Ibn Jarīr al-°abari, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Qur`ān, Juz 17, h. 220 dan Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qur¯ūbi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur`ān, Juz 10, h. 112

[14] وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ-لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ-يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ(الأنبياء:26-28)

[15] Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qur¯ūbi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur`ān,, Juz 18, h. 428

[16] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, (http://www.altafsir.com), Juz 1, h. 442

[17] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم : 6)

[18] Sahih Muslim, hadis no. 6362

[19] Abū Zakariyā Yahyā ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhāj: Syarh Sahīh Muslim ibn Hajjāj, (Beirut: Dār Ihyā al-Turās al-'Arabi, 1329 H), Juz 15, h. 169

[20] مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ - وَقَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ - فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ (Sahih Muslim, hadis no. 1282)

[21] Abū Zakariyā Yahyā ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhāj: Syarh Sahīh Muslim ibn Hajjāj, Juz 14, h. 9

[22] عن سالم عن أبيه قال : وعد النبي صلى الله عليه و سلم جبريل فراث عليه حتى اشتد على النبي صلى الله عليه و سلم فخرج النبي صلى الله عليه و سلم فلقيه فشكا إليه ما وجد فقال له إنا لا ندخل بيتا فيه صورة ولا كلب (Sahih al-Bukhari, hadis no. 5615)

[23] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalāni, Fath al-Bārī Syarh ¢ahīh al-Bukhāri, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), Juz 10, h. 392

[24] إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيم - ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ - مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِين - وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ - وَلَقَدْ رَآَهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ (التكوير: 19 – 23)

[25] Ibrahim ibn Umar Ibn Hasan al-Rabat Ibn Ali ibn Abi Bakr al-Biqā’i, Na§m al-Durar fi Tanāsub al-Āyat wa al-Suwar, (http://www.altafsir.com), Juz 9, h. 351 - 352

[26] وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ- نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ- عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (الشعراء: 192-194)

[27] Ibrahim ibn Umar Ibn Hasan al-Rabat Ibn Ali ibn Abi Bakr al- Biqā’i, Na§m al-Durar fi Tanāsub al-Āyat wa al-Suwar, Juz 6, h. 94 – 95

[28] بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل : 44)

[29] وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل : 43)

[30] وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (الشورى: 51)؛ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (القدر : 4)

[31] Lihat Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrā, (ttp.: Dar al-Fikr, tth.), Juz 8, 179; dan Muhammad ibn Abdillah Abu Abdillah al-Hākim al-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahīhain, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), juz 2, h. 164;

[32] Secara lengkap, riwayat itu adalah sebagai berikut: عَنْ خَدِيجَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا أَنّهَا قَالَتْ لِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَيْ ابْنَ عَمّ أَتَسْتَطِيعُ أَنّ تُخْبِرَنِي بِصَاحِبِك هَذَا الّذِي يَأْتِيك إذَا جَاءَك ؟ قَالَ نَعَمْ . قَالَتْ فَإِذَا جَاءَك فَأَخْبِرْنِي بِهِ . فَجَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السّلَامُ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِخَدِيجَةَ يَا خَدِيجَةُ هَذَا جِبْرِيلُ قَدْ جَاءَنِي ، قَالَتْ قُمْ يَا ابْنَ عَمّ فَاجْلِسْ عَلَى فَخِذِي الْيُسْرَى ; قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَجَلَسَ عَلَيْهَا ، قَالَتْ هَلْ تَرَاهُ ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَتْ فَتُحَوّلْ فَاجْلِسْ عَلَى فَخِذِي الْيُمْنَى ; قَالَتْ فَتَحَوّلَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَجَلَسَ عَلَى فَخِذِهَا الْيُمْنَى ، فَقَالَتْ هَلْ تَرَاهُ ؟ قَالَ نَعَمْ . قَالَتْ فَتَحَوّلْ فَاجْلِسْ فِي حِجْرِي ، قَالَتْ فَتَحَوّلَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَجَلَسَ فِي حِجْرِهَا . قَالَتْ هَلْ تَرَاهُ ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَتَحَسّرَتْ وَأَلْقَتْ خِمَارَهَا وَرَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ جَالِسٌ فِي حِجْرِهَا ، ثُمّ قَالَتْ لَهُ هَلْ تَرَاهُ ؟ قَالَ لَا ، قَالَتْ يَا ابْنَ عَمّ اُثْبُتْ وَأَبْشِرْ فَوَاَللّهِ إنّهُ لَمَلَكٌ وَمَا هَذَا بِشَيْطَانٍ (Jalāluddīn al-Suyūti, Jāmi’ al-Ahādīs, Juz 39, h. 466; Abul Hasan al-Māwardi, al-Hāwī al-Kabīr, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 14, h. 17; dan Izzuddin ibn al-Asir, al-Kāmil fi al-Tārīkh, juz 1, h. 254; Muhammad Ibn Jarīr al-°abari, Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1407), Juz 1, h. 155; Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-ªahabi, Tārīkh al-Islām wa Wafayāt al-Masyāhīr wa al-A’lām, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1407 H /1987 M), Juz 1, h. 134)

[33] وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا (مريم : 64)

[34] Sahih al-Bukhari, hadis no. 4362, 6901; Sunan al-Tirmizi, hadis no. 3083; Musnad Ahmad, hadis no. 1939 dan 3193.

[35] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Quran, Juz 18, h. 225

[36] إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ (الأنفال: 9)

[37] Muhammad Ibn Jarīr al-°abari, Jāmi’ al-Bayān fī Ta`wīl al-Qurān, Juz 13, h. 409

[38] Dalam penjelasannya, hal luar biasa bisa terjadi melalui tangan seorang nabi dan rasul, disebut mukjizat, sebagai bukti atas kerasulannya; bisa juga melalui tangan seorang wali, disebut karāmah; dan bisa juga terjadi melalui tangan seorang dukun atau ahli sihir, disebut hal syai¯āni. Salih ibn Abd al-Aziz ibn Muhammad ibn Ibrahim Āli al-Syaikh, Syarh al-'Aqīdah al-°ahāwiyyah, (http://www.saaid.net/book/7/1194.zip), Juz 1, h. 679

[39] ijtihad bayāni, yakni ijtihad yang dilakukan untuk menemukan hukum yang dimaksud dalam teks syara’. Hal ini dilakukan dengan mencermati dalil hukum dari al-Quran dan al-sunnah, mengetahui dilalahnya, ‘am atau khasnya, mutlaq muqayyadnya, dan seterusnya. Ijtihad qiyāsi, yakni ijtihad yang dilakukan dengan menemukan illat hukum, baik yang disebut jelas oleh teks atau yang dipahami oleh mujtahid, sehingga dapat menyamakannya dengan suatu masalah yang tidak terdapat dalam teks. Ijtihad isti¡lāhi, yakni ijtihad yang dilakukan untuk mendapatkan kemashlahatan yang didasarkan pada rūh al-tasyrī’, dengan menggunakan kaidah-kaidah umum, seperti mencari mashlahat, meninggalkan mafsadat, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, dan sebagainya. Lihat, Wahbah al-Zuhaili, U¡ūl al-Fiqh al-Islāmi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1426 H/2005 M), Juz 2, h. 329 – 330 dan Sya’ban Muhammad Ismail, U¡ūl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dar al-Kutub al-Jami’i, 1417 H/ 1997 M), Juz 3, h. 253 – 254

[40] Keputusan Fatwa MUI dalam MUNAS II tanggal 26 Mei – 1 Juni 1980 di Jakarta

[41] Keputusan Fatwa MUI dalam MUNAS II tanggal 26 Mei – 1 Juni 1980 di Jakarta, lihat juga, Keputusan Fatwa MUI dalam MUNAS VII tanggal 26 – 29 Juni 2005 di Jakarta

[42] مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (الأحزاب:40)

[43] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, (http://www.altafsir.com), Juz 12, h. 357

[44] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام: 153)

[45] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, Juz 7, h. 21

[46] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (المائدة: 105)

[47] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, Juz 6, h. 179

[48] Sunan al-Tirmizi, hadis no. 2198

[49] Fatwa Majma' al-Fiqh al-Islami al-Dauli No. 4 (2/4) yang dikeluarkan pada muktamar II tanggal 22 – 28 Desember 1985 M/10 – 16 Rabiul Awwal 1406 H di Jeddah. Lihat Majalah al-Majma', Vol. 2, Juz 1, h. 209

[50] عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّث عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 3196 dan Sahih Muslim, hadis no. 3429)

[51] Keputusan No. 4 Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Dauli dalam Muktamar II di Jeddah, Desember 1985. Lihat Majallah al-Majma’ al-Fiqhi al-Islāmi al-Dauli, Tahun II, juz 1, h. 209

[52] Keputusan Fatwa MUI Nomor: 2/MUNAS VII/MUI/6/2005

[53] Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisān al-'Arab, juz 13, h. 362 dan Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Ābadi, al-Qamūs al-Muhī¯, h. 1585

[54] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, h. 1236 – 1237

[55] Salih ibn Fauzan al-Fauzan, I’ānat al-Mustafīd bi Syarh Kitāb al-Tauhīd, (Kairo: Muassasah al-Risalah, 2002), Juz 1, h. 406

[56] Salih ibn Fauzan al-Fauzan, I’ānat al-Mustafīd bi Syarh Kitāb al-Tauhīd, Juz 2, h. 171 – 172

[57] Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisān al-'Arab, juz 9, h. 236

[58] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, h. 919

[59] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, h. 921

[60] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bārī fī Syarh ¢ahīh al-Bukhāri, (http://www.al-islam.com), juz. 16, h. 291

[61] Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj: Syarh Sahih Muslim ibn Hajjaj, Juz 14, h. 223

[62] إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِر ُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء : 48) dan إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء: 116)

[63] حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ (الحج: 31)

[64] Muhammad ibn Mukarran ibn Man§ur, Lisān al-'Arab, juz 10, h. 448

[65] Muhammad ibn Abdillah ibn Ali al-Wuhaibi, Nawāqid al-Īmān al-I’tiqādiyyah wa ¬awabi¯ al-Takfīr ‘inda al-Salaf, Juz 1, h. 400

[66] Muhammad ibn Abdillah ibn Ali al-Wuhaibi, Nawāqid al-Īmān al-I’tiqādiyyah wa ¬awabi¯ al-Takfīr ‘inda al-Salaf, Juz 1, h. 400

[67] قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ (النمل : 65)

[68] وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (الأنعام: 59)

[69] قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 188)

[70] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, juz 7, h. 327

[71] عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (الجن: 26-27)

[72] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, juz 16, h. 101

[73] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf, juz 7, h. 163

[74] إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (لقمان :34)

[75] Dalam salah satu riwayat Ibn Umar bahwa Rasulullah saw menyatakan bahwa kunci alam ghaib ada lima, kemudian membacakan ayat ini. Sahih al-Bukhari, hadis no. 4351

[76] وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (17) وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (الأنعام : 17 – 18)

[77] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib, Juz 6, h. 238

[78] عَنْ صَفِيَّةَ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً (Sahih Muslim, hadis no. 4137)

[79] Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj: Syarh Sahih Muslim ibn Hajjāj, Juz 14, h. 227

[80] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Musnad Ahmad, hadis no. 9171dan al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain li al-Hakim, hadis no. 15)

[81] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), juz 10, h. 217

[82] حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 2121 dan Sahih Muslim, hadis no. 2930)

[83] عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَا فَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, hadis no. 17458)

[84] Khairuddin al-Zarkali, al-I’lam : Qamus Tarajum li Asyhar al-Rijal wa al-Nisa min al-‘Arab wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1980), juz 4, h. 266

[85] Nuruddin Ali ibn Abi Bakr al-Haisami, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawa`id, (Beirut: Dar al-Fikr, 1412), Juz 5, h. 175

[86] عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللَّهُ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ الْمَطَرُ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 981)

[87] Al-Zarkasyi menegaskan betapa pentingnya perhatian terhadap al-munasabah dalam memahami sebuah teks al-Quran. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kaitan satu kata dengan kata yang lain, kalimat dengan yang lain, ayat dengan ayat lain, bahkan satu surat dengan surat lain. Lihat Abu Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhān fi 'Ulūm al-Qurān, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, h. 35. Dengan demikian, sudah seharusnya satu ayat diungkap secara keseluruhan, baru kemudian diberi penjelasan dengan wajh al-istidlāl.

[88] Ibn Hajar al-'Asqalāni, Fath al-Bārī fī Syarh ¢ahīh al-Bukhāri, juz 7, h. 75

[89] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor : 04 tahun 2007 tanggal 3 Oktober 2007

[90] Dalam Rakernas 2007 yang berlangsung dari tanggal 4 sampai 6 November 2007 di antaranya merekomendasikan agar Pemerintah mengoptimalkan fungsi kontrol dan antisipasinya terhadap kecenderungan gerakan yang dapat memperkeruh kehidupan beragama dan mendesak Pemerintah untuk segera mengaktifkan Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupun daerah. Lebih jauh, MUI juga telah menyusun Pedoman Identifikasi aliran sesat, dan menjadi salah satu keputusan Rakernas MUI 2007. Pedoman identifikasi Aliran Sesat terlampir.

[91] Pedoman Identifikasi Aliran Sesat MUI, Keputusan Rakernas 2007 terlampir.

[92] يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 217)

[93] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 3, h. 269 – 271

[94] Muhammad ibn Mukarran ibn Manzur al-Ifrīqi al-Masri, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 3. h. 172

[95] وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء : 115)

[96] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 5, h. 381

[97] قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (آل عمران : 32)

[98] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 4, h. 177

[99] Musnad Ahmad, hadis no. 13322 dan Sunan al-Tirmizi, hadis no. 2198

[100] حَدَّثَنَا عَاصِمٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ (Sahih al-Bukhari, hadis no. 7 dan Sahih Muslim, hadis no. 21)

[101] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (الجمعة : 9)

[102] Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 15, h. 351

[103] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari Al-Qur¯ubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1985), Juz 18, h. 100

[104] عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ (Sahih Muslim, hadis no. 1043)

[105] Abdurrahman ibn Abi Bakr Jalāluddīn al-Suyū¯ī, al-Dībāj 'alā Sahīh Muslim ibn Hajjāj, (Saudi Arabia: Dar Ibn ‘Affan li al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1996), Juz 2, h. 294

[106] أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ (Sahih Muslim, hadis no. 1432)

[107] Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhāj Syarh Sahīh Muslim ibn Hajjāj, (Beirut : Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1392 H), Juz 6, h. 152

[108] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘alā al-Ma©āhib al-Aba’ah, Juz 1, h. 402

[109] Di antaranya lihat di Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth.), Juz 2, h. 470

[110] Sahih al-Bukhari, hadis no. 6744

[111] Keputusan Fatwa MUI tanggal 21 April 2001

[112] فِيهِ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (آل عمران : 97)

[113] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz 2, h. 132

[114] Ibn Qudamah, al-Mughni, (www.al-islam.com), juz 6, h. 262

[115] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Juz 4, h. 147 – 149

[116] Keputusan Fatwa MUI Nomor : 9/MUNAS VII/MUI/13/2005

[117] الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (النساء :34)

[118] Dalam fatwa ini, MUI menerjemahkan kata qawwam dengan arti pemimpin. Terjemahan ini sama dengan yang ada di al-Quran dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Dalam kaitan ini, tampaknya kata pemimpin merupakan penafsiran dari kata qawwam yang dalam makna bahasanya terkadang berarti المحافظة والإصلاح (Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 12, h. 496). Dalam tafsiran al-Razi, kata ini dimaknai sebagai sebutan bagi orang yang banyak menyelesaikan masalah (Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husein al-Taymi al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 5, h. 192). Tampaknya, tarjamah tafsiriyyah dari kata tersebut adalah pemimpin yang memang memiliki tugas untuk menjaga dan memperbaiki.

[119] عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَلاَّدٍ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَالأَوَّلُ أَتَمُّ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا (Sunan Abi Daud, hadis no. 592)

[120] عن جابر بن عبد الله قال : - خطبنا رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال.... ألا لا تؤمن امرأة رجلا ..... (Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, hadis no. 1081)

[121] قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ (Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Sahih Muslim, hadis no. 982 (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah dan Dar al-Jail, tth), Juz 2, h. 27)

[122] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا (Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Sahih Muslim, hadis no. 1013, Juz 2, h. 32)

[123] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَقْطَعُ الصَّلاَةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ (Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Sahih Muslim, hadis no. 1167, Juz 2, h. 59)

[124] Ali Ibn Umar Abu al-Hasan al-Daraqutni, Sunan al-Daraqutni, hadis no. 1 Bab Salat al-Nisa` Jama’atan, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), juz 1, h. 403

[125] Menurut Jumhur ulama, seorang perempuan tidak sah untuk menjadi imam bagi laki-laki, karena dalam urutan saf jamaah saja mereka berada di belakang anak kecil, maka tidak boleh mereka berada di depan anak kecil, apalagi laki-laki. lihat, Badruddin al-Aini al-Hanafi, Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, (http://www.ahlalhadeeth.com), Juz 6, h. 304; bandingkan dengan Muhammad Syams al-Haqq al-Azim Abadi Abu al-Tayyib, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Beirut dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H), Juz 2, h. 211 – 212

[126] قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه أحمد Musnad Ahmad, hadis no. 25472

[127] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, (ttp.: Dar al-Fikr, tth), Juz 1, h. 191; lihat juga Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Muhazzab, (ttp.: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, h. 255

[128] Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahman ibn Hanbal al-Syaibani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405), Juz 2, h. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar